|
SUARA KARYA, 05 Juni 2013
Peristiwa isra' mi'raj yang
dialami Nabi Muhammad SAW merupakan "kado spiritualitas" yang sangat
istimewa. Salah satu keistimewaannya itu terletak pada doktrin shalat. Doktrin
ini bukan semata untuk menguatkan konstruksi relasional antara manusia dengan Tuhannya
(hablumminallah), tetapi juga sesama manusia, lintas etnis, dan bangsa.
Konstruksi yang "diamanatkan" melalui shalat ini disebut doktrin
universalitas. Mengapa demikian?
Dalam shalat,
ucapan (bacaan) salam yang dibaca pada penutup shalat merupakan kosakata yang
menggariskan bahwa setiap muslim yang sedang berelasi atau menahbiskan dirinya
dengan Tuhan, wajib hukumnya untuk terlibat pergulatan realitas kemanusiaan.
Dalam pergulatan ini, peran yang harus dimainkan oleh manusia (muslim) adalah
membumikan kesalehan universal, suatu kesalehan yang bersubstansikan
penyelamatan, pembebasan, pemanusiaan manusia, penyejarahan kedamaian, dan
pencerahan manusia lain.
Disebutkan oleh
Abdul Muiz dalam Tafsir Humanitas Agama
Langit (2009), bahwa kata "salam" yang diucapkan dalam shalat
mengandung makna perintah bagi setiap muslim untuk menyelamatkan dan
membahagiakan sesamanya. Selama orang lain masih menjalani kehidupan dengan
suasana serba takut, terancam, sengsara, dan rentan terluka, maka shalat yang
dijalankannya belumlah memberi makna progresifitas dan humanitas.
Presiden
Amerika Serikat Barrack Obama dalam pidatonya saat berkunjung ke Kampus
Universitas Indonesia menyatakan, "kebebasan
untuk memeluk agama tanpa merasa takut dan dibatasi adalah nilai universal.
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan, bekerja dengan dengan rasa hormat, dan
kebebasan dalam menjalankan kepercayaan tanpa merasa takut dan dibatasi
merupakan nilai-nilai luhur universal. Hal itu harus dimengerti di mana
saja."
Apa yang disampaikan oleh Obama
tersebut sebenarnya sebagai bentuk kampanye penyebaran doktrin keagamaan secara
universalitas, gaya beragama yang tak membenarkan diskriminasi, tak diwarnai
paksaan dan intimidasi, tak mengultuskan pola misoginisme (pembencian), atau
tidak ditopang dan dimediasi oleh agregasi kekerasan. Obama menginginkan
terwujudnya pola relasi antar umat beragama di muka bumi yang saling menjunjung
tinggi perbedaan dan keragaman, serta persaudaraan antar sesama manusia. Obsesi
Obama inilah yang sudah tertuang dalam doktrin Shalat (Mi'raj Nabi).
Itu artinya,
apa disampaikan Obama tersebut sebenarnya bersubstansikan doktrin kesalehan
universal, suatu doktrin yang mengajarkan pada setiap umat di muka bumi ini,
khususnya Indonesia untuk saling menyayangi dan melindungi, meski berbeda
etnis, agama, politik, budaya, dan lainnya. Inilah yang pernah diingatkan oleh
Nabi Muhammad SAW, "manusia terbaik, adalah manusia yang mampu memberikan
manfaat bagi sesamanya".
Dalam paradigma
itu, perbedaan apapun tidak boleh dijadikan sebagai dalih untuk membenarkan
kekerasan, konflik, radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme sebagai opsi
menyelesaikan masalah atau memenuhi berbagai bentuk kepentingan eksklusif.
Perbedaan bukan digunakan sebagai dalih melicinkan dan meloloskan pertumpahan
darah dan pembenaran klaim kebenaran (truth
claims), tetapi dijadikan realitas kesejarahan untuk membangun kebersamaan
dan persaudaraan.
Kata Miqdad
Husen (2007), Islam sangat menghormati perbedaan, karena dalam setiap perbedaan,
tersembunyi kekuatan istimewa yang bisa digunakan sebagai modal membangun
peradaban yang lebih terhormat, konsruksi bangsa yang semakin kuat, atau
kuda-kuda masyarakat yang semakin kokoh. Atau, ketahanan hidup bermasyarakat
yang tidak mudah digoyahkan oleh kekuatan manapun. Dari perbedaan ini,
sebenarnya ada elemen sosial yang bisa dan mampu mengingatkan dan menyelaraskan
kepentingan mengenai tegaknya kebenaran, kejujuran, kesetaraan, dan keadilan.
Pernyataan
tersebut mengisyaratkan, bahwa doktrin Islam sudah menggariskan pentingnya
menghormati perbedaan. Perbedaan merupakan jalan pergulatan manusia untuk
mengonstruksi peradaban dan kebersamaan. Perbedaan bisa membuat setiap orang
yang berseberangan paham bisa beralih dalam bangunan kesatuan dan keharmonisan.
Dalam
perbedaan, setiap individu dituntut saling mencintai. Ini seperti diingatkan
Nabi Muhammad, "tidak disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai
sesamanya (saudaranya) sebagaimana kalian mencintai diri sendiri". Doktrin
universal ini mengajarkan tentang relasi kehidupan yang saling "memberi
hak hidup" dan kedamaian pada orang lain, dan bukan gerakan dan vonis
dehumanisasi.
"Di mana
ada cinta, di situ ada kehidupan", demikian pula ujar reformis India
Mahatma Gandi, yang menunjukkan bahwa cinta itu menentukan corak kehidupan
manusia. Bangunan hidup manusia baik dalam dimensi persaudaraan kerakyatan (ukhuwah istirakiyah), kemanusiaan (ukhuwah insaniyah), maupun kebangsaan (ukhuwah wathoniyah) ditentukan,
disatukan, dan dimaikan oleh dan karena cinta yang bersemi dalam diri manusia.
Cinta menjadi
kekuatan moral (moral force) yang
menggerakan terjadinya pertemuan antar segmen bangsa yang berbeda etnis,
budaya, agama, politik, ekonomi, status sosial, dan aspek-aspek lainnya yang
semula menjadi sekatnya.
Cinta mampu
mencairkan bekunya hubungan antar komponen bangsa yang semula sibuk menganyam
friksi dan menkultuskan faksi-faksinya (golongan-golongannya). Seseorang atau
sekelompok orang yang mengasah pikiran dan gerakannya (aktivitasnya) atas dasar
cinta, maka dunia tak akan rentan bersimbah darah. Mereka akan menjadi penyemai
kedamaian dan kebahagiaan.
Melalui kekuatan moral-psikologis
itu, ada emosi yang bisa diredam, ada gejolak egoisme atau kebencian yang perlu
dikalahkan, ada toleransi yang bisa disuburkan, ada birahi kepentingan duniawi
yang tidak selayaknya dikiblati, dan ada tuntutan-tuntutan bercorak kepuasan
dan kebahagiaan instan yang sepatutnya ditundukkan atau dikalahkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar