Jumat, 07 Juni 2013

Isra’ Mi’Raj dan Cinta Universal

Isra’ Mi’Raj dan Cinta Universal
Siti Marwiyah ;   Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya,
dan Penulis buku Malapraktik Profesi Hukum di Indonesia
SUARA KARYA, 05 Juni 2013


Peristiwa isra' mi'raj yang dialami Nabi Muhammad SAW merupakan "kado spiritualitas" yang sangat istimewa. Salah satu keistimewaannya itu terletak pada doktrin shalat. Doktrin ini bukan semata untuk menguatkan konstruksi relasional antara manusia dengan Tuhannya (hablumminallah), tetapi juga sesama manusia, lintas etnis, dan bangsa. Konstruksi yang "diamanatkan" melalui shalat ini disebut doktrin universalitas. Mengapa demikian?

Dalam shalat, ucapan (bacaan) salam yang dibaca pada penutup shalat merupakan kosakata yang menggariskan bahwa setiap muslim yang sedang berelasi atau menahbiskan dirinya dengan Tuhan, wajib hukumnya untuk terlibat pergulatan realitas kemanusiaan. Dalam pergulatan ini, peran yang harus dimainkan oleh manusia (muslim) adalah membumikan kesalehan universal, suatu kesalehan yang bersubstansikan penyelamatan, pembebasan, pemanusiaan manusia, penyejarahan kedamaian, dan pencerahan manusia lain.

Disebutkan oleh Abdul Muiz dalam Tafsir Humanitas Agama Langit (2009), bahwa kata "salam" yang diucapkan dalam shalat mengandung makna perintah bagi setiap muslim untuk menyelamatkan dan membahagiakan sesamanya. Selama orang lain masih menjalani kehidupan dengan suasana serba takut, terancam, sengsara, dan rentan terluka, maka shalat yang dijalankannya belumlah memberi makna progresifitas dan humanitas.

Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dalam pidatonya saat berkunjung ke Kampus Universitas Indonesia menyatakan, "kebebasan untuk memeluk agama tanpa merasa takut dan dibatasi adalah nilai universal. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan, bekerja dengan dengan rasa hormat, dan kebebasan dalam menjalankan kepercayaan tanpa merasa takut dan dibatasi merupakan nilai-nilai luhur universal. Hal itu harus dimengerti di mana saja."

Apa yang disampaikan oleh Obama tersebut sebenarnya sebagai bentuk kampanye penyebaran doktrin keagamaan secara universalitas, gaya beragama yang tak membenarkan diskriminasi, tak diwarnai paksaan dan intimidasi, tak mengultuskan pola misoginisme (pembencian), atau tidak ditopang dan dimediasi oleh agregasi kekerasan. Obama menginginkan terwujudnya pola relasi antar umat beragama di muka bumi yang saling menjunjung tinggi perbedaan dan keragaman, serta persaudaraan antar sesama manusia. Obsesi Obama inilah yang sudah tertuang dalam doktrin Shalat (Mi'raj Nabi).

Itu artinya, apa disampaikan Obama tersebut sebenarnya bersubstansikan doktrin kesalehan universal, suatu doktrin yang mengajarkan pada setiap umat di muka bumi ini, khususnya Indonesia untuk saling menyayangi dan melindungi, meski berbeda etnis, agama, politik, budaya, dan lainnya. Inilah yang pernah diingatkan oleh Nabi Muhammad SAW, "manusia terbaik, adalah manusia yang mampu memberikan manfaat bagi sesamanya".

Dalam paradigma itu, perbedaan apapun tidak boleh dijadikan sebagai dalih untuk membenarkan kekerasan, konflik, radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme sebagai opsi menyelesaikan masalah atau memenuhi berbagai bentuk kepentingan eksklusif. Perbedaan bukan digunakan sebagai dalih melicinkan dan meloloskan pertumpahan darah dan pembenaran klaim kebenaran (truth claims), tetapi dijadikan realitas kesejarahan untuk membangun kebersamaan dan persaudaraan.

Kata Miqdad Husen (2007), Islam sangat menghormati perbedaan, karena dalam setiap perbedaan, tersembunyi kekuatan istimewa yang bisa digunakan sebagai modal membangun peradaban yang lebih terhormat, konsruksi bangsa yang semakin kuat, atau kuda-kuda masyarakat yang semakin kokoh. Atau, ketahanan hidup bermasyarakat yang tidak mudah digoyahkan oleh kekuatan manapun. Dari perbedaan ini, sebenarnya ada elemen sosial yang bisa dan mampu mengingatkan dan menyelaraskan kepentingan mengenai tegaknya kebenaran, kejujuran, kesetaraan, dan keadilan.

Pernyataan tersebut mengisyaratkan, bahwa doktrin Islam sudah menggariskan pentingnya menghormati perbedaan. Perbedaan merupakan jalan pergulatan manusia untuk mengonstruksi peradaban dan kebersamaan. Perbedaan bisa membuat setiap orang yang berseberangan paham bisa beralih dalam bangunan kesatuan dan keharmonisan.

Dalam perbedaan, setiap individu dituntut saling mencintai. Ini seperti diingatkan Nabi Muhammad, "tidak disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai sesamanya (saudaranya) sebagaimana kalian mencintai diri sendiri". Doktrin universal ini mengajarkan tentang relasi kehidupan yang saling "memberi hak hidup" dan kedamaian pada orang lain, dan bukan gerakan dan vonis dehumanisasi.

"Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan", demikian pula ujar reformis India Mahatma Gandi, yang menunjukkan bahwa cinta itu menentukan corak kehidupan manusia. Bangunan hidup manusia baik dalam dimensi persaudaraan kerakyatan (ukhuwah istirakiyah), kemanusiaan (ukhuwah insaniyah), maupun kebangsaan (ukhuwah wathoniyah) ditentukan, disatukan, dan dimaikan oleh dan karena cinta yang bersemi dalam diri manusia.

Cinta menjadi kekuatan moral (moral force) yang menggerakan terjadinya pertemuan antar segmen bangsa yang berbeda etnis, budaya, agama, politik, ekonomi, status sosial, dan aspek-aspek lainnya yang semula menjadi sekatnya.

Cinta mampu mencairkan bekunya hubungan antar komponen bangsa yang semula sibuk menganyam friksi dan menkultuskan faksi-faksinya (golongan-golongannya). Seseorang atau sekelompok orang yang mengasah pikiran dan gerakannya (aktivitasnya) atas dasar cinta, maka dunia tak akan rentan bersimbah darah. Mereka akan menjadi penyemai kedamaian dan kebahagiaan.

Melalui kekuatan moral-psikologis itu, ada emosi yang bisa diredam, ada gejolak egoisme atau kebencian yang perlu dikalahkan, ada toleransi yang bisa disuburkan, ada birahi kepentingan duniawi yang tidak selayaknya dikiblati, dan ada tuntutan-tuntutan bercorak kepuasan dan kebahagiaan instan yang sepatutnya ditundukkan atau dikalahkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar