|
KOMPAS,
12 Juni 2013
Pada
14 Maret 2013, Bank Dunia meluncurkan publikasi: ”Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in
Indonesia”. Publikasi itu menunjukkan, para guru yang telah memperoleh
sertifikasi dan yang belum ternyata menunjukkan prestasi yang relatif sama.
Program
sertifikasi guru yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
selama beberapa tahun terakhir ternyata tidak memberi dampak perbaikan terhadap
mutu pendidikan nasional. Padahal, penyelenggaraannya telah menguras sekitar
dua pertiga dari total anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen APBN (hal
68). Pada 2010, sebagai contoh, biaya sertifikasi mencapai Rp 110 triliun!
Kesimpulan
Bank Dunia itu diperoleh setelah meneliti sejak 2009 di 240 SD negeri dan 120
SMP di seluruh Indonesia, dengan melibatkan 39.531 siswa. Hasil tes antara
siswa yang diajar guru yang bersertifikasi dan yang tidak untuk mata pelajaran
Matematika, Bahasa Indonesia, serta IPA dan Bahasa Inggris diperbandingkan.
Hasilnya, tidak terdapat pengaruh program sertifikasi guru terhadap hasil
belajar siswa, baik di SD maupun SMP.
Tiga
implikasi
Publikasi
Bank Dunia tersebut bagai tumpukan misteri yang mengingatkan saya pada film
dokumenter An Inconvenient Truth
(2006) yang disutradarai Davis Guggenheim.
Film
ini mengisahkan kerisauan mantan Wapres (AS) Al Gore atas realitas-realitas
berbahaya terhadap pemanasan global yang memerlukan tanggung jawab semua pihak.
Analog dengan film dokumenter itu, publikasi Bank Dunia ini memuat begitu
banyak realitas berbahaya bagi masa depan bangsa yang perlu pembenahan secepatnya.
Bertolak
dari temuan Bank Dunia tersebut, kelihatannya terdapat tiga implikasi penting
yang mendesak dibenahi. Pertama, bagaimana menghilangkan pola formalitas
penyelenggaraan program sertifikasi guru.
Program
ini sesungguhnya tuntutan yang diamanatkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, yang mewajibkan seluruh guru disertifikasi dan diharapkan tuntas
sebelum 2015. Upaya ini semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan
profesional guru, yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan mutu
pendidikan nasional secara keseluruhan.
Sejak
2005, guru-guru telah diseleksi untuk mengikuti program sertifikasi berdasarkan
kualifikasi akademik, senioritas, dan golongan kepangkatan, seperti harus
berpendidikan S-1 dan jumlah jam mengajar 24 jam per minggu. Indikator ini
digunakan untuk memperhatikan kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan
emosional mereka.
Sejak
itu, sekitar 2 juta guru telah disertifikasi, baik melalui penilaian portofolio
pengalaman kerja dan pelatihan yang telah diperoleh ataupun melalui pendidikan
dan latihan profesi guru (PLPG) selama 90 jam. Para guru yang telah lulus
disebut guru bersertifikasi dan berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar
gaji pokok yang diterima setiap bulannya. Pemerintah telah mencanangkan, pada
2015 hanya guru yang bersertifikasi yang diperbolehkan mengajar.
Dengan
target tersebut, penyelenggaraan sertifikasi guru kelihatannya telah
dipersepsikan sebagai proyek besar yang keberhasilannya diukur secara
kuantitatif sesuai target. Akibatnya, proses pelaksanaannya mudah terbawa ke
kebiasaan formalitas birokrasi yang ada.
Kedua,
bagaimana mengaitkan program sertifikasi guru dengan pembenahan mekanisme
pengadaan dan perekrutan calon guru di perguruan tinggi lembaga pendidikan
tenaga kependidikan (LPTK). Sesuai amanat UU, LPTK adalah perguruan tinggi yang
diberi tugas menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia
dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah,
serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan
nonkependidikan. Namun, pasca- konversi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
jadi universitas, perhatian mereka sebagai LPTK tidak lagi terfokus ke
penyiapan guru, tetapi lebih tergoda ke orientasi non-kependidikan.
Akibatnya,
tugas-tugas penyelenggaraan sertifikasi yang dibebankan kepada sejumlah LPTK
tak tertangani maksimal. Bahkan, peran dalam penyiapan calon guru tak lagi
didasarkan atas perencanaan yang lebih sistemis dan komprehensif.
Meski
secara kuantitatif Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah guru
terbanyak di dunia, diukur
dari rasio guru-siswa, tetapi perekrutan mahasiswa
calon guru, terutama di LPTK swasta, seakan tanpa kendali. Studi UNESCO
(UIS-2009) menunjukkan, untuk jenjang SD rasio guru-siswa adalah 1:16,61, yang
berarti seorang guru hanya mengajar 16-17 siswa. Rasio ini jauh lebih rendah
dibandingkan Jepang (18,05), Inggris (18,27), bahkan Singapura (17,44). Secara
internasional, rata-rata di seluruh dunia rasionya adalah 1:27,7 atau seorang
guru dengan 27-28 siswa. Keadaan serupa juga terjadi di jenjang pendidikan
menengah.
Ketiga,
bagaimana menyelenggarakan program sertifikasi guru agar lebih berbasis di
kelas. Selama ini mereka yang mengikuti PLPG kelihatannya tidak dirancang untuk
mengamati kompetensinya mengajar di kelas. Proses sertifikasi guru berjalan
terpisah dengan peningkatan mutu proses belajar-mengajar di kelas. Akibatnya,
penyelenggaraan program sertifikasi guru tersebut tidak berdampak pada
peningkatan mutu secara keseluruhan.
Data
menunjukkan, pada 2011, TIMMS (studi internasional tentang matematika dan IPA)
melaporkan, untuk matematika skor Indonesia 386, tak jauh beda dengan Suriah
(380), Oman (366), dan Ghana (331). Sementara untuk IPA, Indonesia (406) tak
jauh beda dengan Botswana (404) dan Ghana (306). Selanjutnya, studi PISA
(program penilaian siswa internasional untuk matematika, IPA, dan membaca) pun
menunjukkan Indonesia selalu berada pada urutan kelompok terendah di dunia (hal
11).
Fokus
ke PBM di kelas
Saya
teringat ketika membantu UNESCO sebagai konsultan di Asia-Pasifik pada
1993-1994, ketika mengunjungi Manabo yang berjarak sekitar 300 kilometer dari
Manila. Guru-guru di pedesaan sana ternyata akan memperoleh tambahan insentif
jika mereka secara nyata berinovasi meningkatkan mutu proses belajar-mengajar
(PBM) di kelas.
Cara
mengukurnya sederhana. Pengawas atau penilik sekolah cukup mengamati kegiatan
PBM secara berkala; apakah terdapat persiapan yang memadai atau tidak, apakah
ada media belajar sebagai kreasi inovatif guru atau tidak, dan seterusnya.
Pembinaan kesejahteraan dan promosi karier para guru dilakukan dengan
berbasiskan pada kinerja dalam meningkatkan kualitas PBM-nya.
Akhirnya,
meski penyelenggaraan sertifikasi guru telah berdampak positif terhadap
peningkatan kesejahteraan guru, yakni dapat menurunkan jumlah guru yang kerja
rangkap secara drastis dari 33 persen sebelum sertifikasi ke 7 persen sesudah
sertifikasi (hal 73), perubahan apa pun yang dilakukan, kurikulum apa pun yang
diberlakukan, dan kebijakan apa pun yang hendak diambil, jika tak menyentuh
perbaikan proses belajar-mengajar di kelas, hasilnya akan sia-sia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar