Rabu, 12 Juni 2013

Bahaya Gratifikasi dari Atas ke Bawah

Bahaya Gratifikasi dari Atas ke Bawah
Redi Panuju ;   Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi
Pascasarjana Unitomo Surabaya
KORAN SINDO, 12 Juni 2013



Menurut kaum moralis yang optimistis, meskipun ditutup rapat dari seluruh penjuru mata angin, kebenaran akan mencari jalannya sendiri untuk menyatakan keberadaannya. 

Namun jangan lupa, kaum oportunis yang nekat pun punya keyakinan tak kalah cerdasnya: sekuat apa pun benteng sistem dibangun untuk menangkal keburukan, pasti ada celah untuk menyelusup ke dalamnya. Sejak Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 diubah menjadi UU Nomor 20/ 2001, negeri ini telah memasuki babak baru dalam pemberantasan korupsi. Ada semangat untuk membangun sistem penyelenggaraan yang bertanggung jawab (akuntabel), terbuka (transparansi), adil, dan berdaya guna.

 Itulah yang sering disebut good governance. Di samping sistem birokrasi dibenahi sehingga meminimalisasi kebocoran uang negara, sistem penegakan hukum (law inforcement) juga dibuat berlapis. Selain kepolisian, kejaksaan, BPK, dan inspektorat di setiap instansi, kini lembaga yang kemilau dan disegani adalah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Meski KPK dalam pemberantasan korupsi telah menunjukkan taringnya, fakta menunjukkan tindak pidana korupsi masih saja terendus dengan modus yang semakin canggih. 

Itulah bukti bahwa kaum oportunis yang menggunakan korupsi untuk mencuri uang negara tak pernah berhenti. Ada saja celah yang dapat diendus dan diselusupi. Bila dulu korupsi dilakukan dengan menggelembungkan anggaran (mark up), membuat LPJ aspal, membuat kegiatan awu awu (seperti kegiatan bintek yang bukan bintek—bimbingan teknis), dislokasi anggaran, diskon dari kemitraan, dan sejenisnya, maka kini modus seperti itu sudah sangat mudah terendus. 

Aliran dana Rp20 juta dari Achmad Fathanah kepada Ayu Azhari (artis) dalam kasus suap kuota impor daging sapi saja bisa terlacak, apalagi yang nilainya lebih besar. Hal tersebut karena teknologi telah banyak membantu dalam upaya pelacakan informasi Karena itu, dapat dibaca logika kaum oportunis ini (baik di internal penyelenggara negara maupun mitra kerja), yaitu akan menghindari modus bermain main dengan angka-angka teknis yang tertera dalam APBN/APBD. Mereka lebih aman bermain dengan modus gratifikasi. 

Para penyelenggara negara yang berkompeten dan berwewenang menyusun anggaran dan mengeluarkan tak perlu mempersulit diri membuat laporan pertanggung jawaban (LPJ) aspal. Mereka cukup membuat jaringan (sindikat) mengatur siapa yang mendapat pekerjaan atas program yang telah punya nomenklatur di APBN/APBD. Dari sinilah akan terjadi transaksi balas budi, yang sering disebut hadiah, suap, pelicin, bahkan ada yang menyebut fee. 

Kasus Hambalang dan suap impor daging sapi contohnya. Gratifikasi memang lebih nyaman karena para pelakunya bisa berkelit dengan argumen bahwa apa yang dilakukan tidak merugikan uang negara sepeser pun. Tidak ada serupiah pun uang APBN/APBD yang disalahgunakan. Mungkin para oportunis ini lupa bahwa semua bentuk pemberian yang berkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki masuk dalam kategori korupsi yang disebut gratifikasi itu. 

Bahkan dalam Pasal 12 B UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/ 2001 telah dirinci yang masuk gratifikasi di dalamnya adalah pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lain. Kelak item fasilitas lainnya mungkin akan ditambah ”gratifikasi seks”. 

Legitimasi Kekuasaan 

Dari beberapa kasus korupsi yang sedang ditangani KPK, ada fakta mencolok tentang keterlibatan partai politik (parpol). Modus korupsi ini sempat menciptakan kesan seolah-olah parpol sengaja menempatkan sejumlah elite di instansi tertentu sebagai makelar proyek. Pertanyaan, mengapa parpol berbuat seperti itu? 

Di luar jawaban yang bersifat moralis sehingga pelakunya disebut sebagai oknum, sebetulnya fenomena ini tak lepas dari fakta bahwa parpol di Indonesia tidak memiliki sumber pendanaan memadai untuk mengelola dan menjalankan parpol sebagai mesin politik. Untuk membesarkan parpol hingga mendapat dukungan rakyat banyak, tak dapat dipungkiri dibutuhkan dana sangat besar. 

Karena alasan itulah, parpol harus pandaipandai membuat sumbersumber dana siluman dengan makelaran proyek tersebut (yang berujung pada gratifikasi). Masalah yang jarang disorot dari perilaku gratifikasi itu adalah ada serangan balik yang menjadi gratifikasi lain. Bila dana siluman diperoleh melalui fee dari penerima proyek, sebagian besar hasilnya ternyata juga digunakan untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan sehingga uang itu mengalir dari atas ke bawah. Modusnya berlapis lapis.

Pertama, dari elite parpol ke tim sukses untuk membuat program- program yang populis sehingga timbul kelompok-kelompok mulai dari yayasan, LSM, lembaga profesi, dan sebagainya, yang menjadi ujung tombak untuk menjaga legitimasi di akar rumput. Kedua, kelompok masyarakat menyodorkan usulan dalam bentuk proposal-proposal untuk mendapatkan bantuan hibah dan lainnya. 

Lantaran proyek-proyek yang nilainya di bawah Rp100 juta bisa dilakukan melalui mekanisme penunjukan, ada kecenderungan memecah proyek- proyek besar itu menjadi bagian-bagian proyek yang nilainya kecil. Ujung-ujungnya untuk kepentingan gratifikasi ke bawah (menjaga legitimasi). Meski menganut sistem presidensial, faktanya pemerintahan Indonesia lebih merupakan kabinet rekonsiliasi sehingga terjadi bagi-bagi kekuasaan (share of power) atas partai-partai besar. 

PKS, misalnya menguasai Kementerian Komunikasi dan Informasi, serta Kementerian Pertanian; PKB menguasai Kemenakertrans dan Kementerian Pemberdayaan Daerah Tertinggal; Partai Demokrat menongkrongi Kemendagri, Kemenpora, ISDM, UMKM; Golkar menguasai Kemensos, Kelautan; PPP menguasai Kemenag, dan seterusnya. Coba bayangkan bila masing-masing kementerian ini lebih memprioritaskan kelompok atau golongannya. 

Bukankah apa yang disebut ”kepentingan rakyat” menjadi tereduksi menjadi ”kepentingan partai”? Barangkali tidak ada uang negara yang diselewengkan, tetapi hal ini menjauhkan bangsa ini menjauh dari sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar