|
KOMPAS,
12 Juni 2013
Terbitnya
nota kesepahaman delapan menteri tanggal 13 Mei 2011 tentang Percepatan
Kepemilikan Akta Kelahiran dalam rangka Perlindungan Anak merupakan langkah
awal pemenuhan hak dasar bagi setiap warga negara.
Namun,
masalah di lapangan adalah mahalnya biaya bagi mereka yang pencatatan
kelahirannya terlambat melebihi satu tahun. Sebab, pengurusannya harus melalui
penetapan pengadilan dengan biaya ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Hal ini
jelas bertentangan dengan Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, yang jelas-jelas menyatakan bahwa pembuatan
akta kelahiran tidak dikenai biaya.
Morat-maritnya
pencatatan kelahiran di republik ini, di samping masalah penetapan pengadilan,
tidak lain adalah karena diterapkannya stelsel aktif bagi penduduk dalam
pemilikan akta kelahiran (lihat Penjelasan UU No 23/2006). Padahal, stelsel
aktif justru seharusnya dikenakan kepada negara atau pemerintah sebagai
tanggung jawab dalam menjamin, melindungi, dan memenuhi hak konstitusional atas
identitas, termasuk hak atas kewarganegaraan, nama, dan hubungan kerabat.
Saat
ini, terdapat sekitar 44,09 persen (35,88 juta) dari 88,4 juta jiwa anak
berusia 0-17 tahun (dari 237,64 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia) tidak
memiliki akta kelahiran (Susenas 2010,
BPS). Akibat tak dimilikinya akta kelahiran ini, banyak anak yang tak dapat
mengenyam pendidikan, ataupun stigma sebagai ”anak haram jadah atau anak hasil
perselingkuhan” karena banyak anak dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
Sementara
dampak buruk bagi negara adalah ketidakmampuan membuat perencanaan pembangunan
dengan baik, seperti penyediaan sekolah, puskesmas, lahan permukiman, dan
pelayanan sosial lainnya. Lebih mengerikan lagi adalah terjadinya kemerosotan
pendidikan (karena banyak anak tidak bersekolah), perkawinan di bawah umur,
tindak kekerasan terhadap anak, perdagangan anak, adopsi ilegal, dan
sebagainya.
Sebagaimana
disadari, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas beribu-ribu
pulau dan wilayah daratan—terutama di luar Jawa—dalam kondisi berhutan dan berawa
sehingga transportasi dan komunikasi masih sangat sulit dan terbatas. Alhasil,
untuk membuat akta kelahiran, butuh waktu beberapa hari perjalanan menuju kota
kabupaten, dengan biaya sangat besar. Kondisi ini menjadikan akta kelahiran
sebagai kebutuhan mewah dan asing bagi mereka yang tinggal di pedalaman dan
pulau-pulau terpencil.
Sebuah
terobosan
Guna
mengatasi mahalnya biaya penetapan pengadilan dalam pencatatan kelahiran yang
terlambat satu tahun, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran No 06 Tanggal
06 September 2012. Surat edaran (SE) kepada ketua pengadilan negeri itu
memerintahkan untuk melakukan sidang keliling secara berkala, berkoordinasi
dengan dinas kependudukan dan catatan sipil setempat.
Seperti
dituturkan oleh Hakim Agung/Ketua Muda Perdata MA Suwardi, dalam pertemuan
dengan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) yang dimotori Slamet Effendy
Yusuf, ”MA sangat mendukung program
percepatan kepemilikan akta kelahiran, tetapi tahun 2013 ini terbentur
persoalan anggaran untuk sidang keliling. Oleh karena itu, diharapkan dapat
diatasi tahun 2014 sehingga SE MA tersebut dapat dilaksanakan dengan efektif.”
Lebih
lanjut dikatakan, ”Komponen biaya pada
pengadilan negeri dapat ditekan apabila sidang dilakukan secara kolektif,
terutama pada komponen biaya pemanggilan. Sebab, untuk sidang kolektif, cukup
membayar satu kali panggilan untuk sejumlah pemohon, baik di dalam maupun di
luar gedung pengadilan. Adapun bagi pemohon yang secara ekonomi tidak mampu,
biaya penetapan pengadilan dapat dibebaskan dengan melampirkan keterangan tidak
mampu dari lurah/kepala desa.”
SE
MA ini ditindaklanjuti pula oleh Menteri Dalam Negeri melalui SE No
472.11/3647/SJ tanggal 19 September 2012. Surat kepada para gubernur dan
bupati/wali kota itu menginstruksikan supaya penetapan pencatatan kelahiran
yang melampaui batas waktu satu tahun dilaksanakan secara kolektif dan dibiayai
dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Oleh karena itu, diperlukan
dorongan kepada para bupati/wali kota dan ketua pengadilan negeri agar mau dan
konsisten melaksanakan SE MA dan SE Mendagri itu.
IKI
yang di awal berdirinya untuk mengawal pelaksanaan UU Kewarganegaraan dan UU
Administrasi Kependudukan cukup agresif menyosialisasikan Nota Kesepahaman
delapan Menteri, SE MA, dan SE Mendagri ke daerah-daerah. Di antaranya dengan
membuat nota kesepahaman dengan sejumlah bupati/wali kota dan ketua pengadilan
negeri setempat.
Langkah
yang dilakukan IKI ini cukup efektif. Terbukti, setelah dilakukan
penandatanganan nota kesepahaman antara IKI dan bupati/wali kota dan/atau ketua
pengadilan negeri, seperti di Kota Tebing Tinggi, Kota Batam, dan Kabupaten
Bangka (Sungailiat), sudah ribuan orang terjaring dan terproses pencatatan akta
kelahirannya.
Kita
semua sepakat bahwa UUD 1945 menjamin setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan. Juga mendapatkepastian hukum yang adil,
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, serta berhak atas suatu nama sebagai
identitas diri dan status kewarganegaraan.
Oleh
karena itu, apabila pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono ini serius,
penerbitan akta kelahiran harus gratis, tanpa adanya penetapan pengadilan.
Lebih dari itu, negara wajib ”menjemput bola” melalui rumah sakit, puskesmas,
dan sekolah-sekolah. UU yang masih bertentangan dengan semangat ini perlu
dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar