|
SUARA KARYA, 08 Juni 2013
Pancasila sebagai ideologi negara
belakangan ini tampak kian luntur penghayatannya di kalangan warga Indonesia.
Apalagi, sesudah mata pelajaran Pancasila selama hampir satu dekade dihapuskan
dalam pendidikan dasar maupun tinggi, dan digantikan semata oleh Pendidikan
Kewarganegaraan (Pkn).
Pengamalan nilai-nilai Pancasila
pun seakan-akan hanya manis di bibir karena senjangnya dimensi ajaran dan
praktik dari ideologi tersebut, terbukti dari kian banyaknya masalah yang
menghantam negeri ini: korupsi, konflik horizontal, dan lain sebagainya.
Alhasil, Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang mengawang-awang, tidak
membumi, dan kurang konkret.
Padahal, nilai-nilai Pancasila
sejatinya mampu menjadi pendasaran kuat untuk merumuskan satu metode pendidikan
ampuh guna membangun kualitas SDM Indonesia yang unggul. Dan, siapa sangka
nilai-nilai Pancasila sebenarnya sudah pernah diolah menjadi satu cetak biru
(blue print) pendidikan bernama Sekolah Rakyat Pancasila sejak 1950-an. Inilah
satu gagasan revolusioner yang teronggok mengenaskan di pojok sejarah dan
menunggu direvitalisasi.
Sekolah Rakyat Pancasila (SRP)
sebagai satu konsep pendidikan digagas oleh Sutedjo Bradjanegara, Ketua Badan
Kongres Pendidikan Indonesia pada 1950-an. Menurut Bradjanegara dalam dua
bukunya, Djalan Baru untuk Memperbaharui Pendidikan dan Pengadjaran Sekolah
Rakyat Pantjasila dan Sedjarah Pendidikan Indonesia (dalam Negara Minus Nurani,
Penerbit Kompas, 2009), SRP bercita-cita membangun satu masyarakat yang
bersifat nasional, demokratis, berperikemanusiaan, dan ber-Ketuhanan untuk
mewujudkan keadilan sosial. Tujuan pendidikan dan pengajaran, membentuk manusia
susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab atas
kesejahteraan masyarakat di Tanah Air.
Untuk itu, SRP kemudian
menyaripatikan metode pendidikannya menjadi dua prinsip. Pertama, pengajaran harus
diberikan menurut kodrat anak-anak. Maksudnya, sekolah tidak boleh menerapkan
aturan sempit yang terlalu keras karena hal demikian akan mematikan kreativitas
anak. Kedua, sekolah harus berhubungan
rapat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Sekolah menjadi bagian dari
masyarakat untuk menjadi agen perubahan masyarakat, bukannya menjadi alat
kekuasaan atau alat mempertajam elitisme dan fanatisme. Maka, prinsip kedua SRP
ini meniscayakan alam sekitar menjadi dasar pengajaran pada pendidikan sekolah
paling dasar. Guru harus tahu betul keadaan sekitar sekolah, sehingga guru
sekaligus sekolah dapat mengajarkan ilmu yang ada hubungannya dengan
masyarakat; mampu memperkaya pengetahuan siswa lewat perbandingan dengan
kondisi di lingkungan lain; dan bisa menjaga agar pengaruh lingkungan buruk
tidak menular kepada anak.
Konsep SRP pun mensyaratkan para
gurunya untuk menguasai sejarah pendidikan. Yaitu, pengetahuan tentang konsep
pendidikan warisan filsafat Yunani, Romawi, Israel, Zaman Abad Pertengahan
Eropa, Zaman Renaissance, Humanisme, realisme dan rasionalisme selain juga
mengenal ahli-ahli pendidikan seperti Dr Montessori dan Frobel. Tak lupa pula
konsep-konsep pendidikan yang digali dari nilai-nilai bangsa sendiri seperti
pemikiran Ki Hajar Dewantara. Bayangkan betapa majunya konsep era 1950-an ini
yang mampu menggabungkan nilai Barat dan Timur.Tidak berhenti pada tataran
teoretis dan filosofis, SRP bisa dikembangkan secara lebih konkret untuk
memudahkan pelaksanaan di kelas.
Pertama, isi pelajaran harus
diambil dari kebudayaan bangsa yang menumbuhkan jiwa anak ditambah isi budaya
asing yang dapat memperkaya budaya sendiri. Contoh, kisah Harry Potter atau Chronicles of Narnia yang menakjubkan
dan memberikan nilai-nilai kesatriaan bisa disandingkan dengan kisah Calon Arang yang bertemakan serupa: wizardry alias dunia sihir. Atau,
permainan Angry Birds bisa diimbangi
dengan dolanan serupa - ketapel - yang intinya sama-sama melatih akurasi,
presisi, dan ketelitian.
Kedua, sekolah harus lebih
memperbanyak porsi belajar lewat praktik dan penyelidikan seraya mengurangi
porsi belajar verbal. Di sini, murid diasah kreativitasnya dan aspek yang
kurang praktis dari satu ilmu tidak perlu menjadi terlalu dominan. Lebih
konkret lagi, murid diwajibkan mengikuti kegiatan pramuka (kepanduan) dan
mempelajari keterampilan seperti bela diri, pertanian, berkebun, beternak, dan
menenun. Hal ini tentu mensyaratkan sekolah memiliki lapangan dan sejumlah
hewan serta ragam tanaman. Langkah ini diharapkan akan membuat anak lebih
mandiri, percaya diri, mampu menjaga diri dan lingkungan sekitar, bertanggung
jawab, dan mampu mengembangkan benih pemikiran awal untuk menciptakan lapangan
pekerjaan kelak.
Ketiga, murid di sekolah seyogianya
diberikan pelajaran sosiologi untuk mengasah naluri dan empati
kemasyarakatannya serta filsafat dan etika. Tak kurang Sutedjo Brajanagara
sendiri sempat mengemukakan hal ini untuk meningkatkan nalar dan kesadaran
kritis siswa yang akan berguna mengasah daya asertifnya - kemampuan
mengekspresikan kepentingan diri secara bertanggung jawab tanpa takut
menyinggung perasaan orang lain - dalam kehidupan pergaulan yang lebih luas di
masyarakat.
Akhirnya, konsep SRP jelas
merupakan satu cetak biru potensial untuk melahirkan manusia-manusia Indonesia
berkarakter yang sangat dibutuhkan di era ketika negara ini dilanda begitu
banyak masalah. Tinggal, bagaimana para stakeholders pendidikan bangsa ini bisa
menghimpun komitmen bersama untuk merealisasikan secara institusional satu
metode pedagogis yang begitu visioner melampaui zamannya. Satu metode yang jauh
mendahului sejumlah konsep sekolah-sekolah mahal yang konon, berkurikulum "progresif, termodern, dan
internasional." Semoga terwujud
suatu saat! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar