|
SUARA KARYA, 08 Juni 2013
Pendidikan inklusi hingga kini masih dianggap asing di
kalangan masyarakat. Banyak cerita sering kita dengar tentang
penolakan-penolakan terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk masuk ke
sekolah-sekolah reguler karena ketidaksiapan sekolah dan masyarakat/orangtua
siswa lainnya. Hal ini menunjukkan masih kurangnya informasi dan sosialisasi
yang mengakibatkan penolakan masyarakat terhadap kekhususannya tersebut. Juga,
karena minimnya jumlah sekolah reguler yang bersedia menampung para ABK.
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi
dan mengintegrasikan siswa reguler serta siswa penyandang disabilitas dalam
program yang sama, baik dalam mengikuti pendidikan maupun beradaptasi dengan
lingkungannya. Dasarnya adalah UUD 1945, UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas, dan UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, serta Permendiknas
Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Anak yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Program sekolah inklusi secara formal dideklarasikan sejak
11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler
untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak, termasuk anak dengan
disabilitas. Model pendidikan inklusif ini pun diyakini dapat menjadi salah satu
kebijakan dalam implementasi konsep Education
For All (EFA) di mana Indonesia telah mendeklarasikan akan mencapai EFA
tahun 2015.
Kenyataannya, program ini masih menjadi momok bagi sekolah,
guru dan juga orangtua siswa, baik orangtua dari siswa disabilitas maupun
nondisabilitas. Banyaknya sekolah yang tidak siap dan masih banyaknya penolakan
tersebut seakan menambah ketakutan orangtua ABK untuk 'mengeluarkan' anaknya ke
dunia luar, menjaga anaknya dari kemungkinan tindak diskriminasi yang dapat
menambah beban psikologis anak maupun keluarganya. Dhus, pilihan Sekolah Luar
Biasa (SLB) masih dirasakan menjadi sebuah solusi yang paling tepat bagi
anak-anak ABK.
Padahal, ketika ABK bersekolah di SLB, mereka akan seperti
'katak dalam tempurung'. Selamanya hanya berkutat di dalam dunia kekhususannya,
berteman dengan sebatas teman-temannya yang juga bernasib sama. Seperti yang
dituliskan oleh Ramadhani Ray bahwa sistem pendidikan SLB telah membangun
tembok eksklusivisme bagi anak dengan disabilitas terhadap lingkungan pergaulan
sosial. Akibatnya, dalam interaksi sosial, kelompok penyandang disabilitas
menjadi kelompok yang termarginalkan di masyarakat, karena mereka merasa asing
dengan kehadiran penyandang disabilitas. Pun demikian dengan kaum disabilitas
sendiri, mereka akan merasa bahwa dirinya tidak menjadi bagian yang integral
dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintah berharap agar pemerintah daerah
memperluas akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Salah satunya
dengan memperbanyak sekolah-sekolah inklusi di daerah masing-masing. Maka,
dukungan dan apresiasi yang besar harus disampaikan kepada Pemerintah Kota
Yogyakarta atas dimulainya pengembangan program percontohan pendidikan inklusi
di tingkat ASEAN oleh UNESCO yang selanjutnya akan menjadi model percontohan
untuk dikembangkan di kota/kabupaten lain di Indonesia. Pendidikan inklusi ini
telah dijalankan pada saat ini di Kota Yogyakarta dengan 33 sekolah, terdiri
atas 2 TK, 19 SD, 3 SMA, dan 4 SMK dengan jumlah siswa inklusi mencapai 288
siswa. (SK, 8/03/2013)
Menyelenggarakan sekolah inklusi adalah sebuah pekerjaan
besar. Bukan sekedar dukungan dari pemerintah atas segala fasilitas yang harus
dimiliki oleh sekolah, namun juga upaya besar guru sebagai ujung tombak
pelaksana pembelajaran. Guru yang akan membawa perubahan itu, karena dia adalah
kuncinya. Keterlibatan (involvement)
atau mengikutsertakan (engage) adalah
dua hal yang harus mendasari seorang guru dalam memberikan pelayanan terbaik
kepada siswa.
Berangkat dari situlah, guru mengenal siswanya untuk menjadi
mengerti apa yang dibutuhkan siswa. Bukan sekedar hubungan formal antara guru
dan murid, namun mereka bisa menjadi seperti sahabat. Sehingga, dapat
menumbuhkan keberanian siswa untuk mau berbagi dan berempati, sesederhana apa pun
ide dan wujudnya. Karena harus dipahami bahwa membaurkan siswa disabilitas pada
lingkungan normal bukan semata untuk kepentingan kaum mereka saja. Namun,
kondisi ini akan melatih siswa nondisabilitas sehingga mereka dapat menghargai
perbedaan, meningkatkan toleransi, memahami kebutuhan temannya yang menyandang
disabilitas dan melahirkan sikap empati yang tinggi.
Ketakukan acapkali terjadi kepada siswa non-abilitas
terhadap siswa abilitas. Perbedaan secara psikis ataupun fisik itu merupakan
sebuah hal asing bagi mereka. Pemahaman dan penerimaan kehadiran siswa ABK
dalam lingkungan normal bisa dikatakan merupakan titik equilibrium di mana
sejak itulah semua siswa dapat melebur menjadi satu sosial masyarakat yang
utuh, bahwa di sana ada banyak sekali perbedaan yang satu sama lain harus mau
dan mampu menerimanya.
Inilah keistimewaan pendidikan inklusi. Di dalamnya tidak
hanya melatih siswa untuk cerdas dalam aspek akademis semata, tetapi juga
cerdas secara sosial dan emosional. Temuan Paul Stoltz tahun 1997 tentang
ketangguhan pribadi (adversity quotient)
sebagai prediktor baru dalam melihat kesuksesan, melengkapi IQ, EQ, SQ yang
lebih dulu populer jelas-jelas mendapatkan tempat di sekolah inklusi. Proses
pendidikan yang dijiwai dengan keempat prediktor ini, pada 10-15 tahun
mendatang tentu akan memberikan pribadi-pribadi yang pintar secara kognitif,
cerdas secara emosional dan tangguh menghadapi setiap tantangan. Namun,
keberhasilan ini tentu mendapat dukungan masyarakat dan keluarga sebagai wujud
keutuhan trilogi pendidikan kita. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar