Senin, 10 Juni 2013

Pengganda Kemunafikan Politisi

Pengganda Kemunafikan Politisi
Ansel Alaman ;    Pengajar Unika Atma Jaya Jakarta
MEDIA INDONESIA, 08 Juni 2013


SETOR muka telah menjadi fenomena politik yang laris di kalangan politisi. Orang yang senang setor muka akan selalu hadir di setiap peristiwa yang diselenggarakan partai atau ormas saat pimpinan mereka hadir. Orang seperti ini bangga jika selalu dilihat ketua atau pimpinannya dan tidak peduli kehadirannya tidak membawa manfaat apa pun bagi orang lain dan partai.

Secara psikopolitik, perilaku ini adalah sebentuk imitasi diri seorang politikus kepada pimpinan atau patronnya. Tidak seluruhnya salah, tetapi jika itu menjadi style (gaya), ini adalah awal bencana munculnya kader-kader konformis yang selalu `membebek' alias manut kepada patron tanpa sikap kritis. Perilaku itu bisa mengkhianati kesepakatan dan membunuh derajat kemandirian seorang kader dan partai ke depan. Sebab, yang diutamakan hanya ketaatan kepada pribadi, bukan bangsa dan negara melalui pengabdian partai/ormas. Bisa jadi perilaku seperti ini dipandang sebagian kalangan sebagai `kader loyal dan disiplin', tetapi senyatanya hanya topeng politik.

Topeng ini ibarat `jenggot' yang mengakar ke atas (patron) demi survival politiknya dan mereka tidak jarang menindas bawahan. Kader jenggotan pasti mengejar imbalan pujian dan hadiah jabatan/ kedudukan oleh atasan sehingga mereka suka laporan ABS (asal bapak senang). Mungkin karena patron terlalu kuat sehingga menyebabkan kader berlomba mengabdi ketaatan sebagai `biaya' ketergantungan dan melahirkan kader-kader hipokrit atau munafik. Persoalannya, bagaimana menekannya?

Akar budaya?

Sastrawan Indonesia ternama, almarhum Mochtar Lubis, pernah menulis buku berjudul Manusia Indonesia (Lubis, 2001). Ia menyebut hipokrisi atau kemunafikan sebagai salah satu ciri paling menonjol dari orang Indonesia.

Apakah perilaku munafik sudah membudaya atau terlindung dalam karakter budaya kita? Secara etimologis (Kamus Besar Bahasa Indonesia), munafik sebagai perilaku pura-pura percaya atau setia pada agama atau lainnya, tetapi sebenarnya hatinya tidak. Munafik ada lah mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatan atau lain kata dari ucapan, dan sering disebut `orang bermuka dua'.

Mochtar Lubis menyebut ciri-ciri orang hipokrit seperti suka memaki maki koruptor, padahal dia sendiri diam-diam melakukan korupsi. Ciri lainnya, senang menelanjangi kesalahan orang lain, padahal dia juga melakukan hal yang sama bahkan lebih parah. Orang munafik suka menggosip keburukan seperti skandal seks (atau sekarang gratifikasi seks) yang nyatanya ia juga melakukan itu. Seorang hipokrit senang menjual `dagangan bersambut', yakni mengampanyekan buah pikiran orang lain yang diklaim sebagai pikirannya sendiri.

Dari hal itu, hipotesis bisa ditarik bahwa akar hipokrisi atau kemunafikan adalah perilaku tidak jujur, suka berbohong, menipu untuk sekadar menguatkan posisi tawar (bargaining position), hilang rasa malu, dan rasa salah Apalagi, di era budaya media sosial, setiap ha ri (khusus perkotaan) di satu sisi manusia membantu mengefektifkan kadar interaksi antarindividu, tetapi di sisi lain manusia berperilaku taken for granted dan melahirkan sikap cuek, masa bodoh, dan tak peduli.

Kemunafikan seakan berkejar-kejaran dengan tebaran info dan isu di media sosial. Maka jika seorang tokoh, misalnya, dibenci atau dipersalahkan di media sosial, orang ramai-ramai melalui Facebook, Twitter, blog, e-mail, dan SMS mempersalahkan bahkan mencaci-maki tokoh yang sama. Sebaliknya jika seorang dipuji di satu media, yang lain berlomba memuji padahal mereka tidak tahu alasan dan motivasi orang itu.

Dalam kasus seperti ini, harus diakui bahwa ada spirit universalisme untuk membela kejujuran dan kebenaran. Namun, di lain pihak bisa menyuburkan kemunafi menyuburkan kemunafikan, sikap konformis, asal bicara, asal setor muka, dan lainnya tanpa peduli kualitas kehadiran dan keterlibatan politik sebagai syarat tertib partisipasi politik seperti disampaikan Samuel P Huntington (No Easy Choice Political Participation in Developing Countries, 1994).

Bersamaan dengan itu, kemunafikan berkaitan juga dengan mekanisme pembelaan diri seseorang atau suatu faksi partai yang berakar pada sikap keangkuhan diri, seperti diurai David Runciman dalam Political Hypocrisy: The Mask Of Power, From Hobbes to Orwel and Beyond (Runciman, 2010). Runciman mengutip Hobbes yang menyatakan bahwa kemunafikan sebagai `ketidakadilan ganda' yang sering disamakan dengan kesombongan diri atau kebodohan ganda. Dalam bukunya Behemoth dan De Cive, Hobbes membenci kemunafikan karena melawan keadilan. Kemunafikan baginya sebagai `ketidakadilan ganda' karena dua alasan, yakni dosa an-sich dan usaha menutupi diri atas kebenaran.

Runciman meyakini dampak kemunafikan akan menggoyahkan akar moralitas dan pada akhirnya orang merasa biasa-biasa kalau saling menipu, berbohong, memanipulasi, mencuri bahkan korupsi. Selain Hobbes, Runciman menghadirkan perilaku antikemunafikan, semisal John Adams yang memperlawankan kemunafikan (dan penipuan) dengan kejujuran. Adams menyatakan, `...adalah orang yang tidak gentar dan tidak takut akan konsekuensi dari tuntutan pendapatnya yang tegas... Ia adalah orang yang asing bagi penipuan'.

Hanya orang jujur, tegas, berani, dan siap menanggung risiko bisa tegas menyampaikan kebenaran dan mengkritik kebobrokan yang diciptakan kemunafikan. Kenyataan bahwa orang kritis, berani, dan jujur seperti itu, justru sering dimusuhi bahkan dikucilkan dalam politik. Mungkin benar bahwa `orang jujur tidak ada tempatnya dalam politik'. Pertanyaannya, benarkah dan bagaimana solusi psikopolitik?

Aktor rasional

Tidak mudah memang mendapatkan solusi yang tepat. Sebab, setiap orang berbeda baik motivasi, perilaku maupun tujuan dalam peran politik. David Patrick Houghton (dalam John T Ishiyama, Marijke Breuning, 21st Century Political Science, 2013) misalnya, menyatakan seluk-beluk anomali psikopolitik termasuk hipokrisi tidak lepas dari kepentingan ekonomi atau psikologi. Dalam hal manusia sebagai makhluk ekonomikus, misalnya, Houghton berharap agar seorang politikus menjadi aktor rasional yang membuat keputusan bagi kebijakan publik dengan menimbang bahkan menekan biaya politik dan memilih tindakan alternatif untuk kesejahteraan rakyat.

Sementara itu, sebagai makhluk psikologikus, manusia adalah aktor rasional yang membuat keputusan berdasarkan kajian dan informasi sekalipun sering tidak sempurna dan tidak menggunakan jalan pintas kognitif untuk mencapai tujuan. Dengan dua sisi tampilan politikus menurut Houghton ini, kita disadarkan bahwa keputusan psikologis dan ekonomis harus mendukung pematangan, integritas, dan konsistensi diri.

Secara psikopolitik, pematangan diri, integritas, dan konsistensi adalah kekuatan mengubah/transformasi sosial. Sebab, setiap politikus harus menjadi agen perubahan (agent of change) di tengah perilaku yang menunjukkan gejala anomi, alienasi, dan bahkan kehilangan nilai dalam menapaki keras-lembutnya politik.

Perilaku anomi dan alienasi bisa potensial merusak politik nilai. Sebab, anomi (kondisi kehilangan tuntunan nilai budaya) dan alienasi (keadaan terasing/ terisolasi) menyuburkan sikap munafik, berbohong, menipu, dan korupsi yang akhirnya membunuh demokrasi menjadi oligarki bahkan otoriterisme.


Karena itulah, seperti kata F Milton Yinger (Handbook of Political Psychology, 1973), `Anomie is a state of society in which norms have lost their power to regulate behavior'. Jika kita kehilangan norma yang menjadi pegangan hidup, politik tidak lagi terarah ke perbaikan kesejahteraan rakyat, tetapi terjadi pemiskinan yang dilegalkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar