|
MEDIA INDONESIA, 08 Juni 2013
SETOR muka telah menjadi fenomena
politik yang laris di kalangan politisi. Orang yang senang setor muka akan
selalu hadir di setiap peristiwa yang diselenggarakan partai atau ormas saat
pimpinan mereka hadir. Orang seperti ini bangga jika selalu dilihat ketua atau
pimpinannya dan tidak peduli kehadirannya tidak membawa manfaat apa pun bagi
orang lain dan partai.
Secara psikopolitik, perilaku ini adalah sebentuk imitasi
diri seorang politikus kepada pimpinan atau patronnya. Tidak seluruhnya salah,
tetapi jika itu menjadi style (gaya),
ini adalah awal bencana munculnya kader-kader konformis yang selalu `membebek'
alias manut kepada patron tanpa sikap kritis. Perilaku itu bisa mengkhianati
kesepakatan dan membunuh derajat kemandirian seorang kader dan partai ke depan.
Sebab, yang diutamakan hanya ketaatan kepada pribadi, bukan bangsa dan negara
melalui pengabdian partai/ormas. Bisa jadi perilaku seperti ini dipandang
sebagian kalangan sebagai `kader loyal dan disiplin', tetapi senyatanya hanya
topeng politik.
Topeng ini ibarat `jenggot' yang mengakar ke atas (patron)
demi survival politiknya dan mereka
tidak jarang menindas bawahan. Kader jenggotan pasti mengejar imbalan pujian
dan hadiah jabatan/ kedudukan oleh atasan sehingga mereka suka laporan ABS
(asal bapak senang). Mungkin karena patron terlalu kuat sehingga menyebabkan
kader berlomba mengabdi ketaatan sebagai `biaya' ketergantungan dan melahirkan
kader-kader hipokrit atau munafik. Persoalannya, bagaimana menekannya?
Akar budaya?
Sastrawan Indonesia ternama, almarhum Mochtar Lubis, pernah
menulis buku berjudul Manusia Indonesia (Lubis, 2001). Ia menyebut hipokrisi
atau kemunafikan sebagai salah satu ciri paling menonjol dari orang Indonesia.
Apakah perilaku munafik sudah membudaya atau terlindung
dalam karakter budaya kita? Secara etimologis (Kamus Besar Bahasa Indonesia),
munafik sebagai perilaku pura-pura percaya atau setia pada agama atau lainnya,
tetapi sebenarnya hatinya tidak. Munafik ada lah mengatakan sesuatu yang tidak
sesuai dengan perbuatan atau lain kata dari ucapan, dan sering disebut `orang
bermuka dua'.
Mochtar Lubis menyebut ciri-ciri orang hipokrit seperti
suka memaki maki koruptor, padahal dia sendiri diam-diam melakukan korupsi.
Ciri lainnya, senang menelanjangi kesalahan orang lain, padahal dia juga
melakukan hal yang sama bahkan lebih parah. Orang munafik suka menggosip
keburukan seperti skandal seks (atau sekarang gratifikasi seks) yang nyatanya
ia juga melakukan itu. Seorang hipokrit senang menjual `dagangan bersambut',
yakni mengampanyekan buah pikiran orang lain yang diklaim sebagai pikirannya sendiri.
Dari hal itu, hipotesis bisa ditarik bahwa akar hipokrisi
atau kemunafikan adalah perilaku tidak jujur, suka berbohong, menipu untuk
sekadar menguatkan posisi tawar (bargaining
position), hilang rasa malu, dan rasa salah Apalagi, di era budaya media sosial,
setiap ha ri (khusus perkotaan) di satu sisi manusia membantu mengefektifkan
kadar interaksi antarindividu, tetapi di sisi lain manusia berperilaku taken for granted dan melahirkan sikap
cuek, masa bodoh, dan tak peduli.
Kemunafikan seakan berkejar-kejaran dengan tebaran info dan
isu di media sosial. Maka jika seorang tokoh, misalnya, dibenci atau
dipersalahkan di media sosial, orang ramai-ramai melalui Facebook, Twitter,
blog, e-mail, dan SMS mempersalahkan bahkan mencaci-maki tokoh yang sama. Sebaliknya
jika seorang dipuji di satu media, yang lain berlomba memuji padahal mereka
tidak tahu alasan dan motivasi orang itu.
Dalam kasus seperti ini, harus diakui bahwa ada spirit
universalisme untuk membela kejujuran dan kebenaran. Namun, di lain pihak bisa
menyuburkan kemunafi menyuburkan kemunafikan, sikap konformis, asal bicara,
asal setor muka, dan lainnya tanpa peduli kualitas kehadiran dan keterlibatan
politik sebagai syarat tertib partisipasi politik seperti disampaikan Samuel P
Huntington (No Easy Choice Political
Participation in Developing Countries, 1994).
Bersamaan dengan itu, kemunafikan berkaitan juga dengan
mekanisme pembelaan diri seseorang atau suatu faksi partai yang berakar pada
sikap keangkuhan diri, seperti diurai David Runciman dalam Political Hypocrisy: The Mask Of Power, From Hobbes to Orwel and Beyond
(Runciman, 2010). Runciman mengutip Hobbes yang menyatakan bahwa kemunafikan
sebagai `ketidakadilan ganda' yang sering disamakan dengan kesombongan diri
atau kebodohan ganda. Dalam bukunya Behemoth dan De Cive, Hobbes membenci
kemunafikan karena melawan keadilan. Kemunafikan baginya sebagai `ketidakadilan
ganda' karena dua alasan, yakni dosa an-sich
dan usaha menutupi diri atas kebenaran.
Runciman meyakini dampak kemunafikan akan menggoyahkan akar
moralitas dan pada akhirnya orang merasa biasa-biasa kalau saling menipu,
berbohong, memanipulasi, mencuri bahkan korupsi. Selain Hobbes, Runciman
menghadirkan perilaku antikemunafikan, semisal John Adams yang memperlawankan
kemunafikan (dan penipuan) dengan kejujuran. Adams menyatakan, `...adalah orang yang tidak gentar dan tidak
takut akan konsekuensi dari tuntutan pendapatnya yang tegas... Ia adalah orang
yang asing bagi penipuan'.
Hanya orang jujur, tegas, berani, dan siap menanggung
risiko bisa tegas menyampaikan kebenaran dan mengkritik kebobrokan yang
diciptakan kemunafikan. Kenyataan bahwa orang kritis, berani, dan jujur seperti
itu, justru sering dimusuhi bahkan dikucilkan dalam politik. Mungkin benar
bahwa `orang jujur tidak ada tempatnya dalam politik'. Pertanyaannya, benarkah
dan bagaimana solusi psikopolitik?
Aktor rasional
Tidak mudah memang mendapatkan solusi yang tepat. Sebab,
setiap orang berbeda baik motivasi, perilaku maupun tujuan dalam peran politik.
David Patrick Houghton (dalam John T
Ishiyama, Marijke Breuning, 21st
Century Political Science, 2013) misalnya, menyatakan seluk-beluk anomali
psikopolitik termasuk hipokrisi tidak lepas dari kepentingan ekonomi atau
psikologi. Dalam hal manusia sebagai makhluk ekonomikus, misalnya, Houghton
berharap agar seorang politikus menjadi aktor rasional yang membuat keputusan
bagi kebijakan publik dengan menimbang bahkan menekan biaya politik dan memilih
tindakan alternatif untuk kesejahteraan rakyat.
Sementara itu, sebagai makhluk psikologikus, manusia adalah
aktor rasional yang membuat keputusan berdasarkan kajian dan informasi
sekalipun sering tidak sempurna dan tidak menggunakan jalan pintas kognitif
untuk mencapai tujuan. Dengan dua sisi tampilan politikus menurut Houghton ini,
kita disadarkan bahwa keputusan psikologis dan ekonomis harus mendukung
pematangan, integritas, dan konsistensi diri.
Secara psikopolitik, pematangan diri, integritas, dan
konsistensi adalah kekuatan mengubah/transformasi sosial. Sebab, setiap
politikus harus menjadi agen perubahan (agent
of change) di tengah perilaku yang menunjukkan gejala anomi, alienasi, dan
bahkan kehilangan nilai dalam menapaki keras-lembutnya politik.
Perilaku anomi dan alienasi bisa potensial merusak politik
nilai. Sebab, anomi (kondisi kehilangan tuntunan nilai budaya) dan alienasi
(keadaan terasing/ terisolasi) menyuburkan sikap munafik, berbohong, menipu,
dan korupsi yang akhirnya membunuh demokrasi menjadi oligarki bahkan
otoriterisme.
Karena itulah, seperti kata F Milton Yinger (Handbook of Political Psychology, 1973),
`Anomie is a state of society in which
norms have lost their power to regulate behavior'. Jika kita kehilangan
norma yang menjadi pegangan hidup, politik tidak lagi terarah ke perbaikan
kesejahteraan rakyat, tetapi terjadi pemiskinan yang dilegalkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar