|
SINAR
HARAPAN, 12 Juni 2013
Pulau
Bali sudah mulai dikenal sejak awal abad ke-20, berkat buku karya Miguel
Cavarubias, yang terbit pada 1937. Judulnya, The Island of Bali.
Duo-sejoli, Covarubias dan Walter Spies (pelukis), berjasa besar dalam
pengembangan pariwisata di Bali.
Mereka
telah membangun image Bali yang spesifik dan mampu mengundang minat wisatawan
untuk berkunjung. Atas jasa-jasanya, kemudian Bali dikenal dengan puja-puji
sebagai the island of God, the thousand
of tamples, the last paradise of the world, visit Bali before you are die,
dan lain-lain.
Gelombang
wisatawan mulai bertubi-tubi, sejak awal l970-an, yang diawali dengan
beroperasinya Hotel Bali Beach di
Sanur. Sejak saat itu, kedatangan investor dan wisatawan ke Bali sudah sangat
sulit dikendalikan. Nilai investasi dan jumlah kedatangan wisatawan ke Bali
bahkan dijadikan ukuran sukses-tidaknya sebuah pemerintahan.
Apa
yang kini terjadi di Bali? Banyak kegelisahan sosial, sebagai dampak dari
kapitalisme pengembangan kepariwisataan di Bali. Ketua Bali Tourism Board (BTB), Ida Bagus Wijaya menyatakan, perkembangan
pariwisata di Bali akhir-akhir ini telah menjadi pariwisata yang kapitalistis.
Wisatawan
yang datang ke Bali memang masih meningkat, namun para wisatawan itu cenderung
dikuasai kapitalis. Sementara itu, peneliti di FE Unud, Prof Suyana Utama,
membenarkan jumlah wisatawan ke Bali masih meningkat. Namun, persentase
peningkatannya mulai menurun.
Dalam
bahasa ekonomi disebut dengan deminishing
return. Sementara itu, lama-tinggal wisatawan di Bali sudah jauh menurun.
Sepuluh tahun lalu, lama tinggal wisatawan di Bali rata-rata dua minggu. Namun,
saat ini lama tinggalnya hanya 2-3 hari.
Gejala
yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa wisatawan memang mulai enggan datang
ke Bali. Mulai banyak keluhan wisatawan, yang menyatakan Bali sudah mulai
banyak berubah. Hal itu memang sebuah kenyataan.
Pemandangan
sawah sudah mulai langka, gedung-gedung tinggi mulai bertebaran, gedung yang
memakai arsitektur Bali mulai lenyap, macet total sudah mulai sering terjadi,
kejahatan (pembunuhan, perampokan, pencurian) yang menimpa turis sudah semakin
sering terjadi, HIV/AIDS merajalela, intrusi air laut sudah meleleh ke
mana-mana, sempadan pantai sudah mulai banyak dijarah, sempadan sungai dan
jurang juga dijarah, dan berbagai ketidaknikmatan lainnya mulai bermunculan.
Semua
hal ini terjadi karena daya dukung Bali sudah melampaui ambang batas. Tim Sceto
Prancis sudah sejak lama (l985) menyatakan bahwa Bali hanya perlu 24.000 kamar
hotel internasional.
Namun,
saat ini jumlah hotel bertaraf internasional di Bali sudah mencapai 80.000
kamar. Bahkan, kini pembangunan hotel (city
hotel) semakin merajalela. Tampak tidak ada usaha pengaturan dari pemda,
misalnya mengadakan moratorium. Hal ini mungkin karena pemda masih silau dengan
besaran PAD, APBD, dan PDRB.
Pariwisata-kapitalis
menyebabkan usaha-usaha kecil mati. Banyak toko kesenian, pasar seni, dan
seniman kecil di kampung, dan lain-lain yang mati suri, karena dikalahkan pasar
oleh-oleh kaum kapitalis. Secara makro, hal ini juga dibuktikan dengan semakin
timpangnya pendapatan masyarakat di Bali. Ketimpangan pendapatan penduduk
adalah salah satu ciri dari penerapan konsep kapitalisme.
Sementara
itu, pemerintah semakin tergila-gila untuk melayani kaum kapitalis dengan
membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kepentingan pariwisata.
Pembangunan jalan dan lain-lain telah memaksa nilai sawah semakin tinggi.
Kemudian
nilai pajak (PBB) semakin meninggi, dan akhirnya petani tidak bisa membayar
pajak, karena pendapatannya yang menurun atau stagnan. Terpaksa petani harus
menjual lahan sawahnya karena tidak tahan terhadap intervensi pemerintah dan
investor. Kondisi lahan sawah yang semakin menyusut, menyebabkan wajah Bali
semakin bopeng, subak semakin hilang, dan budaya Bali semakin pudar.
Dengan
kondisi seperti itu, apakah masih relevan untuk berkunjung dan berwisata ke Bali?
Kalau masih mengasihani Bali, tampaknya Anda tidak perlu datang ke Bali, agar
Bali tidak semakin rusak dan terjerembab. Silakan datang berwisata ke Makassar
(Sulawesi), Lombok, Sumbawa, dan Flores.
Di
pulau-pulau itu pasti masih lebih asri dan orisinal. Kedatangan wisatawan ke
pulau-pulau itu (beyond Bali), akan
lebih mendorong pemerataan pembangunan dan pemerataan pendapatan di Indonesia.
Untuk itu modal yang akan digunakan untuk rencana pembangunan bandara di Bali
Utara (Buleleng), sebaiknya dialihkan ke Flores.
Di
sana masih ada objek wisata Danau Tiga Warna, Pulau Komodo, musim memburu paus,
budaya sosial dengan latar belakang agama Katolik, rumah bekas tahanan Bung
Karno, dan lain-lain.
Pemerataan
pembangunan di Indonesia sangat penting, untuk mencegah kasus-kasus
pemberontakan separatis yang pernah terjadi di awal kemerdekaan, dan masih
terjadi hingga kini. Sudah banyak wacana yang ngiri terhadap pembangunan
yang berlebihan di Jawa dan Bali.
Kalau
pembangunan lebih difokuskan ke luar Jawa dan Bali, migrasi ke Bali akan sangat
berkurang. Mantan Gubernur Bali Ida Bagus Oka mengatakan migrasi yang datang ke
Bali adalah embrio dari kejahatan yang terjadi di Bali. Untuk itu, mari kita
setop pembangunan fisik di Bali yang lebih menguntungkan kaum kapitalis, dan
kemudian setop/kendalikan kedatangan kaum wisatawan ke Bali.
Wisatawan
ke Bali perlu fokus hanya pada wisatawan yang mencintai kebudayaan. Tidak perlu
banyak, namun lama-tinggalnya harus panjang, tinggal di pedesaan, dan
menguntungkan pendapatan masyarakat desa. Tampaknya hanya dengan cara ini,
eksistensi di Bali akan berlanjut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar