|
IndoPROGRESS,
12 Juni 2013
SEORANG pejabat terkemuka di Republik kita baru saja
meninggal dunia. Kepergiannya langsung disambut oleh ratusan pesan pendek,
ucapan belasungkawa, liputan yang ekstensif dari media massa dan barisan
karangan bunga. Perlu dicatat, saya tidak sedang mempermasalahkan ucapan
belasungkawanya, yang merupakan bagian dari hak dan kewajiban kita sebagai
manusia. Yang saya persoalkan lebih pada glorifikasi atas pejabat tersebut.
Belum lama ini juga, di tengah-tengah kebingungan para
elit Indonesia atas ‘krisis kepemimpinan’ di antara mereka, beberapa figur
pejabat publik dengan ‘reputasi internasional,’ yang memiliki ‘integritas’ dan
‘profesionalisme’ digadang-gadang sebagai ‘figur alternatif’ untuk pemilu
presiden 2014 mendatang. Berbagai tokoh alternatif ini, terlepas dari berbagai
perbedaan mereka, memiliki satu kesamaan: para pendukungnya selain datang dari
kelompok elit predatoris dan kelas menengah reaksioner, atau gabungan dari
keduanya.
Di saat hiruk-pikuk dan gegap-gempita ucapan
belasungkawa, transaksi politik dan proses saling dukung mendukung, serta
manuver-manuver politik menjelang ajang pemilu, kita menyaksikan betapa semakin
langkanya pemberitaan mengenai rakyat miskin yang meninggal karena kelaparan,
buruh yang mengalami ketidakadilan kerja, kaum tani yang dirampas haknya, hingga
kelompok minoritas keagamaan yang terusir dari rumah ibadah dan kampungnya
sendiri. Tuduhlah saya sebagai seorang romantik, namun saya pikir kita patut
kesal terhadap keadaan ini. Karena itu selama koran, televisi dan media masih
melaporkan pertumbuhan dan bukannya kesenjangan ekonomi, naik-turunnya harga
saham dan bukannya harga-harga kebutuhan pokok, upacara dan penghargaan para
pejabat dan bukannya pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik warga biasa dan
menganggap kemiskinan serta pelanggaran HAM sebagai statistik belaka, maka kita
patut kesal – dan karenanya kita, rakyat jelata, perlu menulis sejarah kita
sendiri.
Fenomena glorifikasi elit, usianya jauh melampaui umur
Republik. Juga bukan cerita eksklusif Indonesia semata. Dalam berbagai narasi
tentang perang dari zaman Kekaisaran Romawi hingga invasi Iraq, sejarah pada
dasarnya adalah cerita yang didominasi oleh para elit. Sejarah dan politik
bercerita tentang ‘orang-orang besar,’ para tokoh yang menggerakkan roda zaman
dan perubahan. Rakyat jelata dan orang-orang biasa hanyalah catatan kaki, atau
mungkin lebih parah lagi, referensi yang tak terpakai dalam proses penulisan
sejarah. Parahnya lagi, kultus individu dan mesianisme merebak terus.
Penyakit ini juga menjangkiti semua kelompok: Stalin
mengkhianati Revolusi Bolshevik; Partai Komunis Cina mempromosikan
Neoliberalisme di China; Revolusi Iran menghasilkan rezim yang represif; dan
berbagai gerakan pembebasan nasional menghasilkan negara-negara poskolonial
dengan berbagai macam masalah yang tak kunjung usai.
Agar kita tidak terlalu lama mengernyitkan dahi dan
mengelus dada, mari kita mencari petunjuk ke dunia lain: seni dan sastra.
Seni dan sastra bisa menjadi sumber inspirasi bagi
perjuangan dan kritik terhadap mereka yang berkuasa. Namun, ia tak melulu
berbicara mengenai hal-hal yang ‘berat,’ seperti politik dan partai. Justru,
seni dan sastra terkadang banyak berbicara mengenai keindahan dan kejenakaan
dari hal-hal yang bersifat keseharian – hal-hal yang kemudian menjadi pendorong
pergerakan dan pengingat akan pentingnya perjuangan.
Tak
percaya? Coba simak kisah Alberto ‘Mial’ Granado dan Ernesto ‘Fuser’ Guevara
dalam kisah The Motorcycle Diaries. Ini
adalah catatan harian Fuser, kemudian diangkat menjadi
film, yang berkisah tentang petualangan dua anak muda nekat ‘menaklukkan’
jalanan benua Amerika Latin dengan mengendarai motor. Melalui petualangan
itu, Fuser – yang kemudian lebih dikenal sebagai ‘Che’ (‘kawan’ dalam Bahasa
Spanyol dialek Argentina) Guevara – dan Mial, mendulang banyak sekali inspirasi
dari pertemuan dengan ‘orang-orang biasa’ dari berbagai negara dan karya-karya
sastra yang mengangkat kehidupan orang-orang biasa tersebut. Dalam buku
hariannya itu, Che bercerita bagaiamana ia kerapkali meluangkan waktu untuk
membaca puisi-puisi karya Federico Garcia Lorca atau Pablo Neruda. Di versi
layar lebarnya, Che digambarkan sering melantunkan barisan-barisan puisi,
kemudian Mial atau orang yang kebetulan mereka tumpangi kendaraannya, akan
menebak-nebak: Garcia Lorca? Neruda?
Kebetulan, dua penyair berbahasa Spanyol itu memiliki
kesamaan dalam kegemaran mereka mengangkat cerita dan kisah sederhana tentang
alam, tradisi, dan kehidupan rakyat jelata.
Dari
negeri sendiri, coba simak syair dan puisi dari Wiji Thukul, seorang
intelektual organik kelas pekerja Indonesia. Thukul dikenang karena
orisinalitas dan militansinya, yang terpatri dalam frase dan ungkapan seperti ‘hanya ada satu kata, lawan!’ atau ‘aku pengin meledak sekaligus jadi peluru’. Namun,
orang lupa dengan sisi Wiji Thukul yang lain. Dalam pengantarnya dalam salah
satu buku kumpulan puisi Wiji Thukul, Mencari Tanah Lapang, Arief
Budiman mengungkapkan bahwa Wiji ‘Bukan mau menjadi pahlawan kaum miskin di
dunia ini. Dia cuma mau bercerita tentang nasibnya yang tidak kunjung bertambah
baik.’ Berangkat dari keinginan yang sederhana ini, ‘tiba-tiba Wiji Thukul
menjadi penyair nasional…juga internasional. Padahal Wiji Thukul cuma ingin
menulis puisi kampung.’
Dalam dunia seni lukis, ada juga Affandi. Pelukis yang
sering dilabeli sebagai bagian dari aliran ekspresionisme itu, suatu label yang
seringkali ia pertanyakan, sering mengangkat tema-tema sederhana, seperti para
pengemis, orang-orang tak berumah, atau terkadang dirinya sendiri.
Kembali ke perbincangan kita sebelumnya soal sejarah.
Dalam pandangan saya, para seniman tersebut adalah pengingat: perubahan tidak
selalu berasal dari hal-hal ‘besar’ dan ‘berat.’ Ia tidak selalu identik dengan
sejumlah tangan yang mengepal di udara, atau suara-suara lantang yang
menyanyikan lagu-lagu mars perjuangan. Terkadang, ia berangkat dari hal-hal
yang sederhana, seperti menyapa dan belajar dari banyak orang biasa, dari
mereka yang terpinggirkan dan dianggap ‘tidak tahu apa-apa’ oleh paradigma
developmentalis ala teori modernisasi dan ambivalensi kelas berpunya dan kelas
menengah.
Oleh
karena itu, sejarah tidak musti melulu bercerita tentang ‘orang-orang besar’
yang mengubah dunia. Ia juga bisa bercerita tentang para buruh dan tani, kaum
budak, masyarakat asli dan berbagai kaum minoritas lainnya yang terpinggirkan
dalam sejarah. E.P. Thompson, sejarawan Marxis terkemuka asal Inggris,
misalnya, dalam magnum opus-nya, The Making of the English Working Class, membahas
tentang kelas bukan hanya sebagai kategori sosial, namun juga sebagai proses dan kesamaan pengalaman yang
kemudian membentuk suatu identitas kelas buruh di Inggris. Thompson
mengingatkan kita bahwa kelas buruh bukanlah sebuah kategori statistik atau
abstraksi teoretik belaka, melainkan sebuah entitas sosial yang hadir dan
tumbuh karena suatu proses sejarah. Ada agency atau
peranan kelas buruh itu sendiri di sana.
Dalam
kajian-kajian tentang kaum petani, James C. Scott dan Benedict Kerkvliet juga
menunjukkan bagaimana kaum tani, di tengah-tengah proses eksploitasi yang
dilakukan oleh institusi negara dan pasar, rupa-rupanya mampu melakukan
perlawanan, meskipun secara kecil-kecilan dan simbolik, melalui apa yang
disebut sebagai everyday forms of resistance atau
perlawanan keseharian, seperti tindakan mengemplang pajak,
mengurangi jumlah dan kualias setoran hasil panen wajib, dan lain sebagainya.
Beberapa kajian antropologis, seperti yang diungkapkan oleh antropolog radikal
David Graeber dalam rekaman kuliahnya, juga menunjukkan bagaimana
praktek-praktek politik di beberapa kelompok masyarakat adat membuka peluang
bagi bentuk-bentuk praktek politik yang lebih demokratis, deliberatif dan
egaliter – seperti proses rapat dan pengambilan keputusan yang meskipun memakan
waktu lama, namun memastikan bahwa setiap anggota komunitas mendapat kesempatan
untuk menyuarakan pendapat dan berkontribusi.
Namun, ada pertanyaan penting yang terlewatkan di sini:
berangkat dari cerita tentang perubahan dan perlawanan yang bersifat lokal dan
partikular, tidakkah kita melewatkan ‘tujuan utama’ kita untuk melakukan
transformasi sosial yang lebih besar? Menurut saya, ini pertanyaan yang cukup
mengena. Gugusan perjuangan yang bersifat lokal harus bertransformasi menuju
perjuangan yang bertujuan dan berskala lebih besar. Tetapi, dalam hemat saya,
beberapa hal perlu diperhatikan di sini.
Pertama adalah tantangan dalam melewati dan melampaui
logika negara. Sejarah menunjukkan, seringkali perebutan institusi negara oleh
gerakan rakyat tidaklah cukup. Dari berbagai kajian mengenai negara, saya pikir
buku James C. Scottt, Seeing Like a State, adalah
pengingat yang baik tentang bagaimana perebutan institusi negara oleh
kaum High Modernists atau ‘Modernis Tinggi,’ mereka
yang percaya akan proses pembentukan negara (state formation) dan
pembangunan yang bersifat top-down, dengan
segala variasinya, pada akhirnya justru akan melemahkan dan bahkan melumpuhkan
gerakan rakyat itu sendiri. Scott kemudian berkesimpulan bahwa proses-proses
politik membutuhkan penghargaan akan metis atau
pengetahuan yang bersifat lokal – tentunya tanpa terjebak oleh ‘idealisasi’ dan
pandangan yang esensialis atas apa-apa yang disebut sebagai pengetahuan lokal
tersebut.
Kedua, perlawanan dan narasi yang bersifat lokal,
particular, dan keseharian sesungguhnya bisa ditempatkan dalam narasi sejarah
yang bersifat lebih besar dan universal. Tiap-tiap tempat dan daerah punya
‘hukum’ dan konteksnya sendiri, namun bukan berarti kita tidak bisa mengambil
abstraksi dan refleksi dari gugusan perlawanan lokal tersebut. Perlawanan dan
narasi ‘kecil-kecilan’ ini sesungguhnya merupakan bagian dan kesinambungan dari
apa-apa yang dilakukan oleh kaum Jacquaries di
Perancis, levellers dan chartists di Inggris, dan petani penggarap serta
masyarakat adat mulai dari zaman Yunani Kuno hingga di berbagai belahan Dunia
Ketiga.
Tentunya, perlawanan juga adalah proses dan praktek
pembelajaran. Kita musti berhati-hati agar ia tidak terjebak menjadi semacam
‘ratu-adil-isme’ atau romantisme ala anak muda yang baru belajar. Untuk
mengujinya, tentu tidak bisa hanya sekedar bergelut di ranah produksi pemikiran
atau diskusi wacana-wacana terbaru. Karenanya politik menjadi keniscayaan dan
proses yang senantiasa dialektis.
Dalam
kaitannya dengan hal tersebut, Walter Benjamin mengingatkan bahwa selain
optimisme akan masa depan yang lebih baik, kita juga perlu mengaitkan ‘yang
sekarang’ (the present) dengan ‘yang lalu’ (the past). Kenangan akan kekalahan dan terkubur dalam
narasi sejarah juga akan mendorong kita melangkah lebih jauh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar