|
MEDIA
INDONESIA, 17 Juni 2013
REFLEKSI mengenai ke mana arah
pendidikan sejauh ini dibawa dan hendak menuju menjadi sangat penting untuk
dikritisi. Pendidikan merupakan aspek penting bangsa. Bukan saja pendidikan
menjadi wahana bagi penyadaran esensi, kesejatian, harga diri dan hak asasi,
tetapi pendidikan juga menjadi kekuatan perubahan sebuah bangsa untuk merdeka
lepas dari belenggu penjajahan. Tanpa pendidikan, sulit dipastikan bangsa ini
sadar akan harga diri, yang selama lebih dari setengah abad dirampas penjajah.
Kesadaran itulah, yang mendorong para founding fathers berusaha mendidik bangsa dengan berbagai cara. Ada
yang melalui pesantren, sekolah rakyat, sekolah Nahdlatul Ulama, Sekolah
Muhammadiyah, Taman Siswa, dan sebagainya. Para founding fathers seperti Ki Hadjar Dewantara, Raden Ajeng Sartika,
KH Hasyim As'ary, KH Ahmad Dahlan, dan sebagainya juga memperjuangkan
kesetaraan pendidikan bagi rakyat Indonesia.
Pendidikan harus dinikmati seluruh rakyat tanpa pandang
bulu, tanpa membedakan suku, bangsa, bahasa, status ekonomi/sosial, dan
sebagainya. Buah dari perjuangan itu adalah kewajiban negara untuk mencerdaskan
seluruh rakyat, seperti tertuang dalam Pasal 31 ayat 4 UUD 1945.
Dalam pasal tersebut, juga ditegaskan bahwa anggaran
penyelenggaraan pendidikan nasional minimal sebesar 20%, yang diambilkan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ataupun Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Dengan begitu, tidak ada alasan bagi negara untuk tidak
mencerdaskan rakyatnya. Sekali lagi, tugas konstitusi negara adalah mencerdaskan
rakyatnya! Pertanyaannya kemudian adalah, apakah saat ini pemerintah telah
mencerdaskan rakyatnya?
Problem pelik
Jika kita cermati, pemerintah belum serius melaksanakan
amanat konstitusi. Benar, aneka kebijakan pendidikan dibuat seolah-olah hendak
mencerdaskan rakyat. Namun, kenyataannya kebijakan pendidikan itu justru
merampas hak asasi rakyat. Kebijakan pendidikan terkadang justru berpihak
kepada golongan elite, pemilik modal, dan mereka yang memiliki status sosial
tinggi. Lebih ironis lagi, kebijakan itu tidak jarang menciptakan tatanan
feodal-feodal baru.
Kebijakan sekolah bertaraf internasional (SBI) misalnya,
justru menimbulkan kesenjangan yang menganga. Hanya kalangan berduit yang bisa
menikmati sekolah bermutu internasional. Meski kebijakan itu sudah dimentahkan
Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi bukan tidak mungkin akan muncul kebijakan
serupa selama pemerintah sebagai pemegang kebijakan berkeyakinan bahwa
pendidikan bermutu hanya bisa diwujudkan dengan modal dan biaya mahal. Bukankah
sekolah-sekolah penganut pendapat ini sudah menjamur di negeri ini? Di level
perguruan tinggi (PT) kasus serupa juga terjadi: komersialisasi pendidikan
semakin nyata.
Dari sisi angka partisipasi sekolah (APS) di Indonesia
masih terbilang rendah. Data Kemendiknas (2011) menyebut angka partisipasi
kasar (APK) tingkat SMP baru 70%. Adapun APK untuk tingkat SMU baru berkisar
60%. Jika mengacu data Kemendiknas (2012), dari 3,7 juta lulusan SMP, yang
melanjutkan ke SMA/SMK hanya sekitar 2,2 juta. Itu artinya ada lebih dari
setengah juta lulusan SMP yang terlempar ke jalan. Kondisi lebih parah mungkin
terjadi di daerah tertentu. Di Sulawesi Selatan, misalnya, APK tingkat SMA dan
sekolah baru berkisar 53%. Ini berarti, dari dua anak berusia 16-18 tahun, ada
satu anak yang tidak bersekolah.
Angka partisipasi untuk perguruan tinggi lebih rendah lagi,
yakni 18,7%. Jumlah mahasiswa di Indonesia baru berkisar 4,8 juta orang.
Padahal, jumlah anak usia belajar di perguruan tinggi berkisar 25 juta orang. Dengan
demikian, ada puluhan juta pemuda Indonesia yang terpaksa menjadi tenaga kerja
murah atau pengangguran.
Belum lagi persoalan infrastruktur: bangunan sekolah,
fasilitas belajar, sarana transportasi sekolah, dan lain-lain. Data teranyar
yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) setahun lalu menyebutkan, jumlah
sekolah rusak di Indonesia mencapai lebih dari 140 ribu bangunan.
Yang menyita perhatian masyarakat baru-baru ini adalah
karutmarut sistem evaluasi pendidikan dalam bentuk ujian nasional (UN). Tahun
2013 merupakan potret buram kegagalan pelaksanaan UN, dari keterlambatan
pelaksanaan, kualitas hingga aroma korupsi yang kental pada tender pencetakan.
Belum esensi UN yang sejatinya hanya menindas anak didik. Saya berkali-kali
mengingatkan Kemendikbud (sejak namanya Kemendiknas), bahwa UN itu tidak lebih
monster mengerikan yang selalu menyiksa anak didik (Agus Wibowo, 2008). UN diakui banyak pihak justru menindas,
memenjara, dan merampas hak anak didik sehingga membuat mereka tersudut dalam
pilihan sulit.
Belajar dari UN 2013, Mendikbud Mohammad Nuh, tidak cukup
hanya dengan meminta maaf. Benar meminta maaf itu tindakan kesatria yang tinggi
nilainya. Itu patut diteladani para pemangku pendidikan-bahkan para elite di
negeri ini.
Namun, permintaan maaf itu jauh lebih tepat jika dibarengi dengan aksi nyata
merumuskan format evaluasi pendidikan--yang lebih manusiawi ketimbang UN.
Terkait dengan hal itu, sudah banyak usulan seperti evaluasi model portofolio
atau rekam jejak anak didik selama mengikuti pendidikan (Ahmad Baedowi, 2013).
Model evaluasi portofolio menurut penulis jauh lebih adil
karena melibatkan aspek proses yang dilalui anak didik, bukan sekadar ending
pendidikan. Proses adalah aspek penting pendidikan. Dalam proses pendidikan
itulah siswa dilatih sabar, tekun, dan tidak pantang menyerah. Dalam proses
terjadi dinamika yang unik dan menarik, karena proses pendewasaan terbentuk.
Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita kurang menghargai proses. Mereka
terlalu lelah jika harus berproses sehingga lebih memilih jalan instan atau
menerabas.
Ada lagi usulan agar UN diganti dengan penilaian yang
diserahkan kepada tiap-tiap guru di sekolah, penilaian yang melibatkan aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik, penilaian berbasis kualitatif, dan
sebagainya. Berbagai usulan format penilaian pendidikan itu, kesemuanya
bertujuan membebaskan anak didik dari siksaan psikologis akibat UN. Mestinya,
Mendikbud meresponsnya secara bijak, bukan berkukuh memperta hankan UN yang
cacat bawaan sejak lahir.
Pemimpin berani
Terkait dengan karut-marut pelaksanaan UN 2013, Kemendikbud
dalam waktu dekat akan menggelar konvensi nasional pendidikan. Mereka yang
diundang dalam konvensi itu adalah para guru yang tergabung dalam organisasi
profesi guru, pengamat pendidikan, dan internal Kemendikbud. Menurut Mendikbud,
Mohammad Nuh (2013), konvensi ini dimaksudkan untuk mencari titik temu
menyangkut berbagai pandangan mengenai UN, U UU Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas), dan berbagai masalah pendidikan lainnya. Melalui konvensi nasional
ini juga diharapkan terjadi kesepakatan dalam sejumlah isu-isu nasional
pendidikan sehingga ke depannya tidak akan ada lagi pro-kontra berkepanjangan
mengenai isu-isu tersebut di dunia pendidikan.
Langkah mengadakan konvensi nasional pendidikan, patut
disambut positif. Apalagi, jika dalam konvensi itu nanti bisa dirumuskan model
evaluasi pengganti UN, upaya menghapus berbagai bentuk komersialisasi, dan arah
pendidikan bangsa ke depan. Namun, jika tidak ada keberanian dari pemerintah
melalui Mendikbud beserta jajarannya untuk melaksanakan hasil-hasil yang
dicapai, konvensi tidak ada gunanya.
Nasib konvensi setali tiga uang dengan rembuk pendidikan
nasional (rembuknas) yang belum lama ini dilaksanakan. Singkatnya, Mendikbud
harus berani mengambil langkah `radikal' demi memperbaiki pendidikan, khususnya
dalam meletakkan fondasi pendidikan bangsa yang lebih baik di akhir
kepemimpinannya.
Pendidikan kita, butuh pemimpin yang berani. Bukan hanya
berani melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang memihak rakyat, melainkan
berani berseberangan dengan arus mayoritas pemodal demi mencerdaskan anak
bangsa. Selain itu, sebagaimana Ki Hadjar Dewantara, Mendikbud ke depan harus
berani Ing Ngarso Sun Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Ajaran Ki Hadjar itu mengandung tiga hal penting, yang secara ringkas berupa
aspek keteladanan, aspek inspirasi, dan aspek motivasi/ dorongan.
Aspek keteladanan jika di tafsirkan secara bebas artinya
Mendikbud harus memberi keteladanan utama, tidak plinplan, tegas berkaitan
dengan arah pendidikan bangsa, dan memberikan teladan untuk berkarakter mulia.
Keteladanan menjadi penting direvitalisasi mengingat aspek itu kian luntur.
Kian hari yang dipertontonkan adalah keteladanan minus pekerti dan jauh dari
susila sehingga output pendidikan kian destruktif. Apa pun model manajemen
pendidikan yang diterapkan jika minus keteladanan, jangan diharapkan
keberhasilannya.
Aspek inspirasi, bahwa Mendikbud harus senantiasa
menginspirasi atau sumber inspirasi. Ia harus menjadi sumber inspirasi
bawahannya hingga ke level para guru dan anak didik. Inspirasi inilah yang akan
menghidupkembangkan pendidikan bangsa. Tanpa inspirasi yang dibarengi
imajinasi, dunia pendidikan akan kering. Sementara itu, insan pendidikan
laksana robot-robot yang digerakkan motoriknya.
Aspek motivasi/dorongan bahwa Mendikbud seyogianya tidak
pernah lelah memotivasi bawahannya hingga ke level para guru. Motivasi dan
dorongan ini menjadi penting ketika pendidikan kita dihempas cobaan yang
dahsyat. Ketika Mendikbud nanti mampu menjadi motivator ulung, dunia pendidikan
akan tumbuh dinamis, sedangkan output-nya akan menjadi generasi dengan semangat
dan mental baja.
Akhirnya, melalui momentum Hardiknas tahun ini, harus ada
langkah berani dari pemerintah melalui Mendikbud beserta jajarannya. Karut-marut
pendidikan bangsa hanya bisa diatasi dengan keberanian dari pemimpin. Dalam hal
ini, keberanian pemerintah melalui Mendikbud menentukan arah pendidikan bangsa.
Mau tetap membodohi dan menindas rakyat dengan aneka kebijakan yang tidak
prorakyat, atau melaksanakan amanat para bapak bangsa dengan mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang mencerdaskan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar