|
MEDIA
INDONESIA, 17 Juni 2013
MENARIK untuk mengandaikan apa
kira-kira ja waban anak-anak kita kalau mereka ditanya tentang makna kebangsaan
dan cinta tanah air. Masih adakah rasa cinta dan kebanggaan hati anak-anak kita
terhadap Indonesia? Di tengah porakporandanya sistem dan tata kelola
pemerintahan pusat dan daerah akibat kesalahan dalam mempraktikkan konsep
desentralisasi, rasa kebangsaan dan kebanggaan akan Indonesia kian menipis.
Banyak contoh kebijakan yang dibuat pusat tak bisa berjalan. Sama halnya
kebijakan daerah melalui peraturan daerah tak jarang overlapping dengan
kebijakan pusat.
Selain itu, rasa keindonesiaan juga semakin menipis jika
indikatornya ialah kesamaan pandangan tentang bangunan proses pendidikan. Isu
pendidikan lebih banyak ditarik menjadi isu politik yang hanya menarik
ditawarkan ketika kampanye, tetapi gagal ditarik sebagai isu besar dan
fundamental yang harus ditangani secara komprehensif, apalagi sebagai basis dan
sandaran moral kehidupan berbangsa dan bernegara.
Minim konsensus
Beberapa hasil riset di beberapa negara menunjukkan, jika persoalan
pendidikan dikemas dalam balutan politik secara serampangan, hasilnya adalah
tumbuhnya situasi yang tidak seimbang dan tidak konsisten menyangkut relasi di
antara sesama politisi. Terlebih lagi politisi dengan birokrasi serta birokrasi
dengan masyarakat luas, terutama tentang ke mana sebenarnya pendidikan akan
diarahkan. Meskipun dalam delapan tahun terakhir ini kita banyak menghasilkan
peraturan dan perundangan mengenai pendidikan, dalam praktiknya terjadi banyak overlapping dan kesalahan dalam implementasi
program-program pendidikan (Gary K
Clabaugh dan Edward G Rozycki, 2006).
Problem masih banyaknya partai politik peserta pemilu tahun
ini pasti akan mengganggu banyak rencana kebijakan, apalagi jika partai politik
tidak memiliki platform yang jelas tentang roadmap pendidikan Indonesia ke
depan.
Karena itu, dibutuhkan konsensus antara birokrasi,
masyarakat, dan partai politik dalam bingkai dialog secara terbuka untuk
mencermati dan membuat rancangan program pembaruan pendidikan ke depan. Kebutuhan
akan konsensus akan menjadikan skema dan rencana pembangunan pendidikan
Indonesia menjadi lebih terang dan jelas. Begitu konsensus terjadi, seluruh
partai pendukung capres/cawapres tak akan lagi berhitung dari partai mana
kelak, misalnya menteri pendidikan berasal.
Salah satu agenda yang cukup penting untuk dipetakan dalam
konsensus ialah dualisme pendidikan umum dan agama, yang meskipun peraturan dan
perundang-undangannya telah ada, dalam praktiknya tak cukup serius ditangani.
Hal itu berimplikasi pada pembagian peran yang terkadang tidak adil antara
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama.
Jika konsensus soal kehidupan beragama dan aspek-aspek
sosial, budaya, dan ekonomi kita telah jelas dalam rumusan Pancasila, tidak
demikian dengan arah implementasi pendidikan. Kedua kementerian itu masih
dibelenggu posisi mereka di hadapan undang-undang tentang otonomi daerah; yang
satu telah didesentralisasi, satunya lagi masih berporos sentralistis. Hal itu
cukup mengganggu para pengelola pendidikan di tingkat daerah karena tak jarang
dengan posisi tersebut, banyak pemerintah daerah berlaku diskriminatif terhadap
peserta didik tertentu.
Titik tolak konsensus soal pendidikan bisa dilakukan
berdasarkan besarnya persoalan (breadth
of consensus) atau berdasarkan kedalaman (depth) atau keseriusan sebuah persoalan (Debra Viadero, 1986). Dalam konteks Indonesia, kedua pendekatan
tersebut bisa digunakan karena secara luas di Indonesia saat ini terdapat
begitu banyak partai politik yang katanya peduli terhadap persoalan pendidikan,
tetapi dari aspek kedalaman tak banyak partai politik melakukan kajian tentang
masalah-masalah fundamental pendidikan yang berbasis ruang belajar dan hubungan
sekolah dengan masyarakat (orangtua).
Di sisi lain, terbelahnya tanggung
jawab program pendidikan di dua kementerian mengindikasikan adanya kedalaman
masalah pendidikan di daerah, tetapi secara luas hal itu tidak memperoleh
perhatian (concern) dari partai
politik. Jika dengan demokrasi kita belajar mengenai cara untuk menghargai
keragaman, soal kasus pengembangan pendidikan keragaman tersebut harus dapat
diminimalkan berdasarkan komitmen dan konsensus bersama.
Melacak isu dan mengembangkan pendekatan merupakan bagian
penting dari sebuah konsensus. Konsensus dalam bidang pendidikan sangat
diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectation)
masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya, dengan tidak lupa memberi mereka
peran (task) untuk terlibat secara
langsung dalam memecahkan masalah tersebut.
Apa yang menjadi janji-janji para politikus dan birokrat
dalam menangani isu tersebut dapat dievaluasi dan dimonitor secara bersama.
Tinggal tugas dan peran para politikus, birokrat, dan masyarakat terutama LSM
untuk menunjukkan sumber daya (resource)
yang memungkinkan sebuah isu dapat diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow, 1979). Dengan cara
tersebut, mungkin pemilihan presiden ke depan akan memiliki nilai tambah karena
mereka akan menghargai peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Aspek lain dari konsensus yang juga penting ialah
menyepakati model evaluasi berkesinambungan yang tidak terputus meski menteri
pendidikan dan menteri agama datang silih berganti. Dalam perspektif manajemen
pendidikan Fenwick W English (2002),
salah satu titik lemah sistem pendidikan suatu negara ialah rendahnya perhatian
dan riset serta pendanaan bagi proses pemikiran berkelanjutan (continuous assessment) yang komprehensif
dan bertanggung jawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar