|
REPUBLIKA, 07 Juni 2013
Telah
tampak kerusakan di darat dan laut karena perbuatan tangan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum:41)". Lima belas abad
lalu, melalui Firman-Nya dalam Alquran, Allah telah mengingatkan manusia tentang
bahaya kerusakan lingkungan. Padahal, saat itu belum terbayangkan oleh manusia,
apa yang dimaksud kerusakan lingkungan tersebut.
Peringatan
surah ar-Rum ini --pinjam kata-kata Robert N Bella-- menunjukkan bukti bahwa
apa yang tercantum dalam Kitab Suci itu melampaui zamannya. Peringatan akan
datangnya kerusakan lingkungan itu baru terasakan sejak Revolusi Industri di
Eropa, 11 abad setelah Alquran menyebutkannya. Dan anehnya, sampai hari ini,
masih banyak manusia yang terus merusak lingkungan.
Saat ini,
jumlah penduduk dunia mencapai tujuh miliar jiwa, dan pada 2050 diperkirakan
mencapai sembilan miliar orang. Dengan jumlah sebesar itu, berapa kebutuhan
sandang pangan, energi, air, dan sumber daya alam (SDA) lain yang harus
tersedia? Kita tahu, satu-satunya tempat di jagad raya yang bisa mendukung dan
cocok bagi kehidupan manusia adalah bumi. Namun, aktivitas manusia telah
mengurangi kemampuan planet kecil ini untuk menyuplai kebutuhan hidup
manusia.
Robert
Allen dalam buku klasiknya (1982), How to
Save The World, mengungkapkan bahwa 1/4 populasi manusia di planet bumi
mengonsumsi 3/4 SDA. Sedangkan separuh dari jumlah populasi tinggal di rumah
yang tidak layak, kurang sanitasi, dan air bersih. Ini semua menggambarkan
bahwa sebagian besar manusia hidup sangat menderita.
Allen
menggambarkan betapa dahsyatnya bumi kehilangan tanah yang subur. Dalam 20
tahun terakhir, 1/3 dari luas tanah yang subur di permukaan bumi telah lenyap.
Tiap tahun, misalnya, di Kolombia 400 juta ton tanah subur lenyap akibat
deforestasi dan manajemen pembangunan wilayah yang keliru. Sedangkan di
India, dengan penyebab yang sama, tiap tahun 600 juta ton tanah subur hilang.
Bahkan, di Amerika Serikat (AS) 10-15 persen tanah yang subur rusak tiap tahun.
Bagaimana di Indonesia? Walhi mencatat sejak era reformasi, 1,5 juta hektare
hutan --yang notabene merupakan tanah yang subur dan mendukung kelangsungan
lahan pertanian dan fungsi hidro-orologis wilayah di sekitarnya-- hancur.
Deforestasi
itu demikian massif, sehingga menimbulkan longsor dan banjir besar tiap tahun
di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua dengan korban ribuan jiwa.
Gambaran tersebut belum termasuk deforestasi di pulau-pulau kecil yang sulit
terpantau pemerintah, pengamat, dan pemerhati lingkungan. Di Maluku, sudah
puluhan pulau kecil rusak akibat deforestasi. Sementara itu, padang pasir terus
bertambah luas dengan kecepatan enam juta ha per tahun, atau dua kali luas
Belgia. Saat ini, catat Allen, ada 20 juta kilometer persegi areal tanah
--hampir sama dengan dua kali luas Kanada-- sedang berada dalam kondisi `ambang'
menjadi padang pasir. Artinya, tak lama lagi, wilayah seluas dua kali Indonesia
akan menjadi padang pasir.
Sementara
itu, pemanasan suhu bumi, membuat salju abadi di kutub dan puncak gunung
Himalaya, mulai mencair. Intergovernmental
Panel for Climate Change (IPCC, 2007) melaporkan bahwa dampak pemanasan
global ternyata lebih buruk dari yang diperkirakan. Kantor berita AFP 10
Desember 2012 memberitakan bahwa dampak pemanasan global ternyata sangat luas,
meliputi kekacauan iklim, peningkatan paras laut, banjir, pemusnahan
biodiversitas, dan munculnya badai-badai raksasa yang mematikan.
Di satu
belahan dunia, misalnya, iklim panas makin menyengat, sementara di bagian dunia
yang lain, iklim dingin sangat dahsyat, sampai 40 derajat Celsius di bawah nol.
Ini pengalaman luar biasa. Di Cina dan Eropa, misalnya, iklim dingin yang
ekstrem telah membunuh ribuan orang. Sementara itu, badai dahsyat telah
menerjang wilayah Amerika, Cina, Filipina, dan Jepang yang menimbulkan korban
ribuan jiwa.
Pada Mei
2013 ini saja, AS diterjang badai dahsyat dua kali di Oklahoma. Puluhan jiwa
melayang dan ribuan rumah, perkantoran, industri, fasilitas umum hancur. Sampai
hari ini badai-badai dahsyat masih terus mengancam wilayah pantai Pasifik
seperti Jepang, Filipina, dan Cina.
Melihat
fakta dahsyatnya bencana alam akibat kerusakan lingkungan tersebut, kini
manusia saatnya berpikir secara mendalam disertai renungan nurani:
mengapa semua ini terjadi? Mungkin ada orang yang berpikir: sejauh ini bumi
masih bisa menyediakan kebutuhan sandang dan pangan untuk manusia. Tapi,
faktanya?
Kelaparan
masih terjadi di mana-mana. Kemiskinan, tulis Allen, masih mendera 75
persen umat manusia. Apa artinya? Ada ketidakadilan dalam distribusi pangan dan
sumber daya. Seperempat orang-orang kaya telah menyerobot tiga per empat dari
kekayaan bumi. Mengapa semua ini terjadi? Jawabnya: keserakahan. Mahatma Gandhi menyatakan, sumber daya bumi
mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi tidak cukup untuk memenuhi
keserakahan nya. Dan pemenuhan keserakahan itu ironisnya dibungkus dengan
istilah "pembangunan".
Lima
belas abad lalu, Alquran telah mengungkapkan ironi kehidupan manusia yang
merusak lingkungan tersebut. "Dan bila dikatakan kepada mereka, janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab, sesungguhnya kami orang
yang mengadakan perbaikan. Mereka sesungguhnya sedang membuat kerusakan, tapi
mereka tidak sadar (Al-Baqarah 11-12)".
Dari
perspektif inilah, kita melihat pentingnya revitalisasi iman untuk mengatasi
kerusakan lingkungan. Revitalisasi iman ini amat urgen, karena --mengutip EF
Schumacher dalam bukunya `Small is
Beautiful'-- manusia dalam hidupnya tidak hanya butuh roti (nasi), tapi
juga butuh sabda Ilahi. Alquran 15 abad lalu telah mengingatkan kita semua
untuk menjaga dan memelihara lingkungan hidup agar kontinuitas kehidupan tetap
berlangsung dengan indah dan nyaman. "Janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memper- baikinya (QS al-A'raf
85)". ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar