|
REPUBLIKA, 07 Juni 2013
Isra' Mi'raj adalah ritus simbolis. Ketika kita ingin memaknainya dalam konteks
kekinian, maka dia adalah sebuah metafor dengan berbagai tafsiran. Di antara
tafsir metaforis itu, misalnya, Isra Mi'raj merupakan perlambang bahwa Nabi
Muhammad mau turun ke bumi setelah mencecap kenikmatan bertemu Tuhan di suatu
tempat yang melampaui batas langit, Sidrah al-Muntaha. Perlambang itu memberi
pesan bahwa seorang pemimpin, setinggi apa pun gelar atau jabatannya, semestinya
mau turun ke bawah dan kembali ke kubangan lumpur dunia.
Nabi Muhammad adalah teladan yang baik, bukan bagi kaum
Muslimin saja, melainkan juga seluruh umat manusia. Ia memimpin tidak dengan
memanfaatkan hak istimewanya (privilise) sebagai Nabi. Banyak diceritakan
dalam kitab-kitab Maulid, bahwa Nabi sering menjahit sendiri pakaian dan
sandalnya, menggembala sendiri, dan hidup di rumah yang sederhana. Sikap
hidup semacam ini juga ditiru oleh para sahabatnya. Umar hanya punya beberapa
lembar pakaian. Utsman yang kaya, saat menjadi khalifah ternyata bajunya tidak
sepi dari tambalan-tambalan.
Maka jika ada pemimpin Islam masa kini yang memakai jam
tangan, mobil, dan rumah dengan harga ratusan
juta, sekalipun dengan dalil `kepantasan'
sebagai seorang pejabat, hal itu telah menyelisihi sikap hidup Nabi dan para
sahabat.
Nabi adalah pemimpin yang juga `manusia' dan merakyat. Maka, kita baca dalam
tarikh-tarikh, Nabi yang berdarah kena panah kala Perang Uhud. Nabi juga
berdarah saat dilempari batu oleh Kaum Thaif (yang kemudian Nabi malah mendoakan
anak cucu mereka). Juga Nabi yang ikut menggali parit saat perang Khandaq,
sementara ia sangat lapar sehingga batu digunakan untuk mengganjal perutnya.
Nabi sangat `manusia'. Justru dengan sisi kemanusiaan Nabi
itulah kita bisa meneladaninya. Ini satu pelajaran dari Isra Mi'raj yang
bergelimang dengan berbagai hal irasional dan keajaiban (kemukjizatan).
Pemahaman terbaliknya (dalam bahasa epistemologi fikih, mafhum mukhalafah): bagaimana manusia bisa meneladani Nabi jika
yang diton- jolkan adalah sisi mukjizatnya (tentang burak, tentang ruh dan
jasad sekaligus yang menembus langit, tentang bertemu para nabi lainnya, dan
seterusnya)?
Sisi kemanusiaan itulah justru kemukjizatan Nabi. Dan
memang, hal ini yang kerap terlupakan dalam kesadaran manusia, sebab orang
kerap tertipu dengan kebiasaan, kelaziman. Padahal, Nabi justru mencontohkan
sebaliknya, demikian pula ayat-ayat-Nya yang kerap memerintahkan manusia untuk
memperhatikan alam semesta dan dirinya sendiri.
Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari mukjizat-mukjizat
itu? Bukankah kita manusia yang tak bisa meniru mereka? Bukankah kita tak
mungkin seperti Nabi Muhammad yang bisa naik ke langit ke tujuh? Bagi saya,
mukjizat adalah tentang fenomena bahwa manusia bisa menembus (keter)batas(an)
fisiknya.
Yang paling penting dari mukjizat adalah bahwa manusia bisa mampu melakukan `transendensi':
melampaui sesuatu yang jasmani, menuju yang rohani, dari yang materi, ke
spiritualitas.
Agama-agama semitik (Abahamic) menyatakan
bahwa manusia diciptakan mengikuti citra Tuhan. Dalam Alquran, misalnya,
disebutkan bahwa Tuhan mengembuskan "ruh"-Nya ke dalam ma nusia. Ada
unsur ilahiah dalam diri manusia. Unsur inilah yang bisa dicapai manusia untuk
bisa menembus fakultas mentalnya, memunculkan mukjizat bagi dirinya sendiri.
Mukjizat tidak harus berarti hal-hal fantastis sebagaimana
dalam film-film semacam Superman dan Spiderman. Seorang tukang becak yang
bekerja tak kenal lelah demi anaknya agar bisa menyabet gelar di universitas
adalah mukjizat. Seorang pemuda yang mampu bertahan menjadi baik di
lingkungan yang mendukungnya untuk berbuat tak baik adalah mukjizat.
Sebab, orang-orang itu telah mampu melampaui fakultas
mental manusia yang bernama `kelaziman'. Kuli bangunan lazim memiliki anak yang
tak berpendidikan tinggi, tapi jadi `ajaib' jika anaknya menjadi orang
berprestasi di universitas. Kita kerap terpukau pada kemukjizatan gigantis para
Nabi, tapi kadang lupa dengan mukjizat-mukjizat kecil yang bertebaran di
sekitar kita.
Nabi Muhammad adalah yang men- contohkan itu. Jika ia mau,
maka bisa saja Gunung Akhsyabin akan langsung dihantamkan ke penduduk Thaif
yang menganiayanya. Tapi, Nabi tidak demikian. Ia tetap berjalan selaras dengan
hukum alam: bahwa dengan usaha keras, maka hasil akan terasa manis. Mukjizat
Nabi ada dalam kemanusiaannya. Yang susah adalah bagaimana melewati batas fisik
itu. Maka, ajaran yang dibawa Nabi dalam kisah Isra Mi'raj adalah shalat.
Shalat adalah media transendensi. Shalat adalah laku interupsi spiritual.
Shalat adalah media agar seorang Muslim melakukan `penjarakan' terhadap
realitas yang sering bikin penat.
Tapi, shalat bukan ritus untuk selalu bernikmat dalam
`penjarakan' itu. Setelah shalat, seorang Muslim harus kembali ke masyarakat.
Sebagaimana puisi Muhammad Iqbal: "Aku
katakan, Tidak! Di bumi masih ada angkara dan aniaya." ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar