|
MEDIA INDONESIA, 07 Juni 2013
LEMBARAN sejarah Indonesia
mencatat lengsernya Presiden Soeharto setelah memerintah lebih dari 31 tahun
tidak terlepas dari pengaruh keputusan 14 menteri bidang ekonomi, keuangan, dan
industri (ekuin) yang menyatakan tidak bersedia bergabung dalam kabinet baru.
Ginanjar Kartasasmita (GK), menko ekuin waktu itu, tak pelak dituding menjadi
penggerak sikap yang akhirnya menutup babak pemerintahan Orde Baru. Tanggapan
GK tentang hal itu terungkap dalam buku Managing
Indonesia's Transformation, An Oral History (2013) terbitan World Scientific Publishing Co Pte Ltd
yang diluncurkan akhir minggu lalu di Jakarta.
GK dikenal sebagai tokoh yang selalu ada dalam lingkaran
kekuasaan Soeharto. Kesetiaan dan kepatuhannya pada pimpinan Orde Baru dan kebijaksanaan politik maupun
ekonominya tidak diragukan. Karena itu, sikapnya pada ujung masa Orde Baru itu
tidak terduga. Dalam forum peluncuran bukunya, dia menyatakan, “Loyalitas jangan mengorbankan kepentingan
yang lebih besar.“ Sebuah pernyataan yang mencoba menjelaskannya.
Bagi GK, kalimat sederhana itu tentunya mengandung beban
berat secara batiniah, baik bagi masa lalu yang ditinggalkannya maupun masa
depan yang belum menentu. Namun, itulah bagian dari tuntutan transformasi.
Sebab sikap politik yang maju-mundur, seperti tari Poco-Poco (meminjam istilah Christianto Wibisono) hanya akan
menambah keruwetan; sementara faktanya sistem sosial politik waktu itu
dirasakan oleh sebagian orang tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman yang
meyakini asas demokrasi sebagai ciri masyarakat modern.
Bahwa persoalannya amat kontroversial sampai sekarang bisa
kita mengerti mengingat suatu pemerintahan selalu memiliki sisi pahit maupun
manisnya. Maka, tiap diskusi mengenai hal itu masih saja membangkitkan sikap
emosional; lebih-lebih sekarang, ketika reformasi belum menemukan pijakan yang
mantap dan belum menimbulkan rasa nyaman bagi seluruh rakyat. Tuntutan
perubahan terus bergulir, sedangkan konsep perubahannya masih perlu perumusan
dan sosialisasi.
Membangun
masyarakat modern
Apa sebenarnya batasan untuk konsep masyarakat modern? Alex
Inkeles (1920-2010), profesor sosiologi, selama hampir seperempat abad di
Universitas Harvard dan diakui kepeloporannya dalam pemikiran tentang
modernisasi, pernah menyatakan bahwa mengusahakan tercapainya taraf penghidupan
yang layak bagi segenap rakyat merupakan tujuan pokok pembangunan ekonomi.
Namun, kemajuan bangsa tidak bisa diukur hanya dari GNP (gross national product) per kapita rakyatnya semata.
Pembangunan juga mencakup ide mendewasakan kehidupan politik,
seperti tecermin dalam proses pemerintahan yang stabil dan tertib, yang
berlandaskan kemauan rakyat banyak. Juga menyangkut pendidikan yang menyeluruh
bagi rakyat, pengembangan seni budaya, sarana komunikasi dan penyuburan segala
bentuk rekreasi. Artinya, ide pembangunan demokrasi mensyaratkan perubahan pada
sikap dan perilaku manusia, suatu transformasi yang disebut modernisasi.
Yang kita alami sekarang, kita kelihatan sering kebingungan
dalam menanggapi modernisasi, termasuk dalam usaha pembangunannya. Masalahnya,
pertama-tama kita harus mengubah pikiran dan perasaan yang telah kita kenal
puluhan tahun; atau bahkan ratusan tahun yang dikenal nenek moyang kita. Selain
itu, bersikap modern sering ditafsirkan sebagai bersikap Barat karena banyak
konsep modern dipelopori oleh bangsa-bangsa Barat. Banyak yang dianggap tidak
sesuai dengan budaya serta keyakinan agama sebagian besar masyarakat kita.
Mungkin paparan itu menjelaskan mengapa tidak
selesai-selesainya proses transformasi kita. Selain itu, di samping kaum
idealis yang jujur dan tekun, banyak pecundang yang mengail di air keruh, yang
mengakibatkan semaraknya korupsi dan berbagai bentuk penyelewengan lain;
demikian rupa sehingga partai-partai politik sebagai pilar-pilar demokrasi pun
terkontaminasi dan kehilangan kepercayaan rakyat.
Singkat kata, sekalipun lingkungan eksternal menunjukkan
terjadi perkembangan modernisasi, secara internal kita masih jauh dari sikap
modern karena nilai-nilai, perasaan, maupun sikap kita masih tradisional kalau
bukan kolot.
Perguruan tinggi
dan transformasi
Tidak ada perumusan tentang manusia modern yang bisa
disetujui semua pihak. Tetapi menurut Inkeles, yang mencirikan manusia modern ialah kesediaannya
membuka diri terhadap pengalaman baru, inovasi, dan perubahan. Orang modern
memiliki orientasi lebih demokratis karena dia menyadari keragaman sikap dan
pendapat yang ada di lingkungannya. Dia tidak bersikap otokratis dan hierarkis.
Lalu, apa atau siapa yang dapat kita andalkan memotori
transformasi? Tentunya pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Apakah perguruan
tinggi kita sanggup menghasilkan para lulusannya untuk kepentingan modernisasi?
Indonesia termasuk salah satu negara berkembang yang
memproduksi tamatan universitas secara massal. Sistem pendidikan yang demikian
tidak mungkin membekali lulusannya dengan pendidikan bermutu tinggi yang
memadai untuk modernisasi. Alasannya, jumlah pendidik bermutu yang tersedia
tidak mencukupi, begitu pula sarananya.
Kondisi ekonomi maupun politik tidak mendukung moral para
mahasiswa untuk cinta belajar dan motivasi profesional. Yang lebih kita
sesalkan, kecurigaan politisi terhadap kampus sebagai sumber sikap menentang
pemerintah tidak menolong keadaan.
Di Asia,
Malaysia dan India terkenal sebagai pengelola pendidikan tinggi dengan mutu
paling baik. Dalam forum ASEAN, itu akan banyak berpengaruh terhadap posisi
Malaysia vis-a-vis Indonesia di masa
mendatang, lebih-lebih ditinjau dari sisi ekonomi. Yang patut kita cemaskan,
nantinya di kawasan ini kita hanya menang dalam jumlah lulusan perguruan
tinggi, tetapi dalam modernisasi kita ketinggalan; fakta yang tidak membantu
kelancaran mengatur transformasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar