|
KOMPAS,
18 Juni 2013
Meski Indonesia bukan negara sejahtera (welfare state), jenis dan kuantitas
subsidi yang dialokasikan pemerintah bagi masyarakat tak bisa dibilang kecil.
Nilai subsidi 2012 mencapai Rp 346,4 triliun atau 34,33 persen dari belanja
pemerintah pusat. Tak kurang dari 61,17 persen dari total subsidi dialokasikan
untuk BBM (Rp 211,9 triliun) dan 27,30 persen untuk listrik (Rp 94,6 triliun).
Subsidi pangan, pupuk, benih, kredit program, dan lain-lain hanya Rp 39,9
triliun atau 11,53 persen dari total subsidi. Subsidi idealnya disalurkan
langsung dan hanya diberikan kepada kelompok sasaran. Salah satu kelompok
sasaran tentu saja masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin. Tingkat
kemiskinan per September 2012 mencapai 11,66 persen atau sekitar 28,6 juta
orang dengan tingkat garis kemiskinan Rp 280.000/orang/bulan (BPS). Dengan
total subsidi Rp 346,4 triliun dan subsidi disalurkan tepat sasaran, idealnya
tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan itu.
Marilah kita melakukan hitungan sederhana.
Jika dilakukan penyaluran subsidi langsung kepada 28,6 juta rakyat miskin
sebesar Rp 100.000/orang/bulan, total biaya subsidi per tahun hanya Rp 34,32
triliun. Jika angka ini dilipatduakan, total subsidi yang diperlukan Rp 68,64
triliun per tahun. Jika kita ingin menghilangkan angka kemiskinan caranya
mudah, salurkan Rp 281.000/orang/bulan kepada 28,6 juta rakyat miskin sehingga
tidak akan ada lagi orang di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.
Strategi terakhir ini hanya perlu Rp 96,44 triliun per tahun atau 45,51 persen
dari subsidi BBM atau 27,84 dari total subsidi 2012!!
Lalu, mengapa jumlah orang miskin masih 28,4
juta, sementara total subsidi 2012 mencapai Rp 346,4 triliun dan meningkat jadi
Rp 358,2 triliun di APBN Perubahan 2013? Jawabannya mudah: karena sebagian
besar subsidi yang disalurkan salah sasaran. Proporsi subsidi BBM Rp 211,9
triliun (61,17 persen), tetapi sebagian besar dinikmati para pemilik kendaraan
bermotor yang notabene bukan orang miskin. Ketika subsidi dikenakan pada harga
barang, dan barang bisa diakses bebas, maka semakin tinggi seseorang
mengonsumsi barang itu, semakin tinggi subsidi yang dinikmatinya.
Siapa menikmati?
Data Kementerian ESDM menunjukkan, proporsi
BBM bersubsidi dinikmati oleh: 1) pemilik mobil (53 persen) dibandingkan
pemilik motor (47 persen); 2) masyarakat di Jawa dan Bali (59 persen); dan 3)
angkutan darat (89 persen). Tercatat 25 persen rumah tangga berpenghasilan
tertinggi menikmati 77 persen subsidi BBM dibandingkan 25 persen rumah tangga
berpenghasilan terendah yang hanya menikmati 15 persen subsidi BBM (Kementerian
Keuangan, 2012).
Penggunaan BBM bersubsidi bersifat konsumsi
yang terkompensasi (compensated
consumption). Berapa pun konsumsi BBM bersubsidi, tak peduli oleh siapa dan
untuk keperluan apa, pemerintah pasti menyubsidinya. Semakin banyak mengonsumsi
BBM bersubsidi, semakin besar subsidi yang Anda nikmati. Dengan demikian,
apakah rasional bagi seseorang untuk menurunkan konsumsi BBM bersubsidi?
Bayangkan jika Anda punya kartu kredit yang pagu kreditnya tanpa batas. Lalu
berikan kartu kredit kepada seorang remaja yang dibebaskan pergi ke mal mana
pun dan membeli apa pun, dan Anda akan membayarkan semua tagihannya.
Permasalahan kian kompleks ketika alokasi
subsidi BBM selalu membengkak setiap tahun. Beberapa faktor yang meningkatkan
subsidi BBM: 1) peningkatan aktivitas ekonomi akibat pertumbuhan ekonomi; 2)
kenaikan harga minyak dunia; 3) penguatan nilai tukar mata uang asing; 4)
pengalihan konsumsi dari Pertamax ke Premium; 5) peningkatan aktivitas pasar
gelap untuk keperluan industri; dan 6) penyelundupan BBM bersubsidi ke negara
lain/pihak asing. Dari keenam faktor, lima faktor terakhir adalah faktor
eksogen yang tak dapat dipengaruhi pemerintah sama sekali. Artinya, tanpa
perubahan kebijakan terhadap subsidi BBM, beban subsidi BBM semakin sulit
dikendalikan pemerintah. Konsekuensinya, perekonomian Indonesia semakin rentan,
sulit dikendalikan pemerintah, tetapi semakin dikendalikan oleh pasar
internasional, pola konsumsi BBM bersubsidi, perilaku pelaku di pasar gelap dan
penyelundup BBM bersubsidi.
Konsekuensi berdiam diri
Peningkatan beban subsidi BBM terhadap
keuangan negara setiap tahun dapat digambarkan sebagai ”bom waktu yang terus
tumbuh dan siap meledak kapan saja”. Konsekuensinya, berdiam diri atau
ragu-ragu mengambil kebijakan bukanlah strategi optimal mengingat beban subsidi
BBM terhadap APBN dan kerentanan ekonomi akan meningkat sejalan waktu.
Setiap upaya mempertahankan subsidi BBM dapat
dimaknai sebagai upaya melanggengkan subsidi untuk masyarakat berpenghasilan
menengah ke atas, menguntungkan para pelaku pasar gelap dan penyelundup BBM
bersubsidi, dengan dalih melindungi masyarakat miskin. Jika subsidi BBM
dipertahankan, lalu bagaimana nasib masyarakat yang tak punya kendaraan
bermotor, yang notabene masyarakat miskin? Berbeda dengan sebagian besar negara
di dunia, terdapat anomali penyaluran subsidi di Indonesia. Alih-alih subsidi
disalurkan ke rakyat miskin, fakta menunjukkan subsidi BBM justru dinikmati
masyarakat berpendapatan menengah ke atas, para pelaku pasar gelap dan
penyelundup BBM bersubsidi. Bahkan, koruptor pun, yang notabene berpendapatan
menengah ke atas, ”disubsidi” para pembayar pajak yang budiman
Hasil estimasi peneliti P2EB FEB UGM
menunjukkan, berdasarkan putusan MA 2001-2012, biaya eksplisit korupsi Rp
168,19 triliun, sementara nilai hukuman finansial hanya Rp 15,09 triliun (harga
konstan 2012). Dengan demikian, selisih kedua nilai ini, Rp 153,1 triliun,
harus ditanggung masyarakat. Dengan kata lain, di negeri ini koruptor disubsidi
masyarakat. Lengkap sudah penderitaan rakyat, terutama yang berpenghasilan
rendah, karena subsidi yang jadi hak mereka justru dinikmati si kaya. Setiap
upaya realokasi subsidi agar lebih tepat tersalur kepada si miskin selalu
dihalangi dengan dalih melindungi si miskin. Setiap upaya mempertahankan
subsidi BBM akan menciptakan defisit APBN dan tekanan pada neraca pembayaran.
Hal ini harus ditutup melalui pajak, utang dalam negeri, dan utang luar negeri.
Pajak tidak hanya terbatas pajak pendapatan, tapi juga pajak pertambahan nilai
yang dibayar setiap individu yang membeli barang dan jasa yang dihasilkan
sektor formal. Utang dalam dan luar negeri sebagian besar akan ditanggung
anak-cucu. Akankah kita jadi orangtua yang justru disubsidi anak-cucu dan
mewariskan semua beban kepada mereka? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar