|
KOMPAS,
18 Juni 2013
Melemahnya nilai tukar rupiah melebihi Rp
10.000 per dollar AS bukan pertanda krisis ekonomi.
Gejolak pasar keuangan belakangan ini memang
mengkhawatirkan. Seiring membaliknya dana-dana asing di pasar modal akibat
membaiknya perekonomian Amerika, indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat
anjlok lebih dari 10 persen dan harga-harga surat berharga negara juga turun
melebihi 5 persen.
Seiring membaliknya modal asing tersebut,
permintaan terhadap dollar AS pun meningkat. Akibatnya, Bank Indonesia terpaksa
melepas dollar untuk menahan agar pelemahan rupiah tak terlalu tajam. Cadangan
devisa BI turun sekitar 2 miliar dollar AS ke kisaran 105 miliar dollar AS pada
Mei dan awal Juni ini.
Di saat nilai tukar rupiah mendekati Rp
10.000 per dollar AS, timbul sejumlah kenangan buruk krisis ekonomi masa lalu.
Tak jarang kita mendengar obrolan di warung bahwa sesekalinya rupiah menyentuh
Rp 10.000 sudah pasti akan terbang menuju Rp 11.000, kemudian Rp 13.000 per
dollar AS! Oleh karena itu, rupiah di bawah Rp 10.000 menjadi harga mati.
Beredarnya pandangan ini dapat dimengerti dan bukan tak berdasar. Krisis akibat
jatuhnya nilai rupiah pernah terjadi pada 1998, 2005, dan 2008 sehingga melekat
betul di ingatan masyarakat.
Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar
AS memang penting karena beberapa hal. Pertama, kegiatan perdagangan
internasional dibayar dengan dollar AS sehingga ada anggapan berbagai harga
barang impor dalam rupiah bisa menjadi lebih mahal. Bila harga-harga barang
semakin mahal, daya beli tergerus, dan rakyat semakin miskin. Kedua, hampir 90
persen dari utang luar negeri pemerintah dan swasta berdenominasi dollar AS.
Ini berarti, nilai utang pemerintah dan sejumlah perusahaan bisa meningkat
nilainya dalam rupiah. Hal ini mempertajam risiko gagal bayar utang korporasi
sehingga perbankan urung mengucurkan kredit baru yang lagi-lagi berujung
krisis.
Namun, penting bagi kita melihat dari
perspektif lebih luas. Ingat, sejak 2011 rupiah sudah melemah lebih dari 15
persen. Anehnya, harga barang-barang impor masih relatif stabil, margin laba
perusahaan masih terjaga, dan pertumbuhan ekonomi masih bisa bertahan 6 persen.
Sekeranjang mata uang
Mengapa bisa demikian? Sebenarnya yang lebih
penting kita perhatikan bukan hanya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS,
melainkan juga terhadap sejumlah mata uang lain (yen, yuan, dollar Singapura,
bah) milik negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Mari ambil contoh
pengaruh mata uang dua negara mitra dagang utama kita: China dan Jepang.
Ternyata selama setahun terakhir nilai tukar rupiah bukannya melemah, melainkan
menguat hampir 20 persen terhadap yen! Ini berarti, walaupun rupiah melemah
terhadap dollar AS, kemampuan kita mengimpor berbagai komponen otomotif serta
mesin-mesin dari Jepang tetap meningkat.
Terhadap yuan, rupiah melemah sekitar 6
persen sejak tahun lalu. Namun, setelah diteliti lagi, harga-harga barang yang
kita impor, seperti elektronik, besi, dan tekstil turun sekitar 2-4 persen
karena pabrik-pabrik di sana kelebihan kapasitas. Alhasil, kemampuan impor kita
terhadap barang China pun masih tinggi.
Dari contoh itu jelas bahwa yang memengaruhi
arus perdagangan dan harga barang impor bukan nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS semata, melainkan nilai tukar rupiah secara rata-rata dengan negara
mitra dagang lain. Inilah yang kita sebut sebagai nilai tukar ”riil”. Bagi
perekonomian Indonesia, perlu diingat bahwa tekanan nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS sekarang ini merupakan masalah struktural akibat besarnya impor yang
melebihi ekspor (defisit neraca perdagangan). Kenaikan harga bensin bulan depan
mungkin akan sedikit membantu menurunkan impor minyak. Namun, obat tradisional
dari penyakit defisit perdagangan adalah pelemahan nilai tukar riil. Pelemahan
nilai tukar riil akan membantu menurunkan impor meski belum tentu memperbaiki
ekspor.
Ironisnya, sejak awal tahun hingga sekarang,
rupiah terus dijaga oleh bank sentral agar tak menembus angka keramat Rp
10.000. Kebijakan ini justru membuat nilai tukar riil malah menguat sehingga
berpotensi mempertajam ketidakseimbangan arus perdagangan. Situasi demikian
bisa jadi bom waktu. Kebijakan anti Rp 10.000 malah bisa memperburuk sentimen
pasar karena dianggap tak kredibel. Investor berpikir cadangan devisa BI akan
terus tergerus ke tingkat yang berbahaya. Seharusnya bank sentral memberikan
ruang penyesuaian lebih besar untuk nilai tukar rupiah terhadap dollar AS agar
pelemahan nilai tukar secara riil bisa terjadi. Tak perlu takut rupiah
menyentuh Rp 10.000 asalkan pelemahannya dikawal dan disosialisasikan dengan
baik.
Bagaimana dengan utang luar negeri? Memang,
hampir 90 persen utang luar negeri kita dalam dollar AS. Namun, di luar
beberapa sektor padat modal seperti pertambangan, telekomunikasi, dan
penerbangan, tingkat utang luar negeri perusahaan Indonesia secara umum masih
cukup terkendali, rata-rata di bawah 10 persen dari nilai aset. Hasil uji stres
BI mengungkapkan, modal perbankan dan tingkat kredit macet tak akan melebihi
batas meski rupiah terdepresiasi signifikan. Mungkin perlu ditekankan lagi
kredibilitas otoritas moneter sebagai penjaga stabilitas dinilai dari
kesinambungan kebijakan, bukan dari kemahiran mempertahankan level psikologis
tertentu. Nilai tukar Rp 10.000 bukan harga mati. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar