Senin, 03 Juni 2013

Harga BBM, Demokrasi dan Restorasi Tata Kelola Migas


Harga BBM, Demokrasi dan Restorasi
Tata Kelola Migas
Kurtubi  ;   Alumnus Colorado School of Mines (CSM) Denver, Ecole Nationale Superieure du Petrole et des Moteurs (ENSPM) Paris, Pengajar Pascasarjana FEUI
MEDIA INDONESIA, 03 Juni 2013

HAMPIR semua orang dapat memaklumi bahwa mengurangi subsidi BBM secara cepat dan efektif ialah dengan menaikkan harga BBM. Yang dibutuhkan yaitu kemampuan pemerintah untuk menjelaskan secara jujur kepada rakyat bahwa dana penghematan subsidi bahan bakar minyak (BBM) akan dikembalikan kepada mereka dalam bentuk pembangunan infrastruktur agar tercipta lebih banyak lagi kesempatan kerja. Opsi menaikkan harga jauh lebih bagus bila dibandingkan dengan opsi membatasi/menjatah BBM untuk rakyat. Pembatasan pemakaian BBM, di samping implementasi di lapangan ribet dan akan menimbulkan masalah baru seperti moral hazard, akan mengurangi gerak kegiatan ekonomi rakyat.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah terkesan enggan menaikkan harga BBM meski banyak pihak telah mendorong dan ada momen-momen yang dinilai tepat untuk menaikkan harga BBM di saat inflasi sangat rendah bahkan terjadi deflasi. Selain itu, kewenangan untuk menaikkan harga BBM sudah sepenuhnya di tangan pemerintah, tidak perlu berkonsultasi dengan DPR.

Namun sayang sekali, ternyata momen-momen tersebut berlalu begitu saja. Pemerintah tetap ‘keukeuh’ tidak mau menaikkan harga BBM. ‘Keengganan’ pemerintah menaikkan harga BBM lebih merupakan ‘strategi’ ulur-ulur waktu hingga menjelang Pemilu 2014. Saat ini pemilu sudah pada tahapan ketika KPU akan mengumumkan daftar calon tetap (DCT) dari setiap parpol peserta pemilu.

Pemerintah lewat RAPBN-P 2013 yang diajukan ke DPR beberapa hari yang lalu memutuskan akan menaikkan harga BBM yang disertai dengan paket program kompensasi yang nilainya sekitar Rp30 triliun, termasuk paket bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang akan dibagikan dalam bentuk cash/tunai kepada rakyat miskin yang akan menderita karena harga BBM dinaikkan. Tak ayal lagi, dana kompensasi BLSM yang akan dibagikan menjelang Pemilu 2014 ini akan dapat merusak sistem demokrasi karena uang negara dipakai untuk memberikan keuntungan bagi partai tertentu.

Kalau pemerintah tulus untuk menolong rakyat miskin, langkah yang ditempuh guna mengurangi besaran subsidi BBM yang terus membengkak ialah dengan konsisten melaksanakan kebijakan energi yang benar dan baku, yakni pengurangan pemakaian BBM melaprogram diversifikasi khususnya dengan konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG). Itu tentu dilakukan dengan mempercepat pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan. Bukankah program konversi BBM ke BBG sudah dicanangkan sejak bertahun-tahun yang lalu?

Pasalnya, harga BBG jauh lebih murah meskipun tidak disubsidi bila dibandingkan dengan harga BBM. Contoh, saat ini BBG yang dibayar Trans-Jakarta Rp3.100/liter setara premium (lsp). Terlebih apabila liquefied natural gas (LNG) yang dijual murah ke Fujian sebagiannya saja dapat dialihkan untuk keperluan konversi ke BBG, harga jual BBG menjadi cuma sekitar Rp2.000/lsp. Selain lebih ramah lingkungan, BBG tidak perlu impor karena produksi dan cadangan gas dalam negeri relatif melimpah. Itu akan menyehatkan neraca perdagangan migas yang saat ini sudah mengalami defisit sangat besar. 

Konversi ke BBG pasti secara otomatis akan menurunkan subsidi BBM secara drastis tanpa menyengsarakan rakyat. Memang harus diakui, cara tersebut akan menutup peluang uang negara dipakai untuk `menolong' partai tertentu dalam pemilu lewat mekanisme kompensasi. Karena itu, program konversi tersebut tidak pernah ditangani secara serius.

Padahal, menaikkan harga BBM yang akan mendorong inflasi ke level 7,7% menjelang bulan puasa dan Lebaran pasti akan sangat membebani rakyat. Kalangan dunia usaha, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), usaha informal, dan sebagainya, akan menghadapi kesulitan seperti kenaikan biaya produksi dan tingkat suku bunga yang akan naik di samping tuntutan penaikan upah buruh. Hal itu disebabkan kaum buruh dengan susah payah telah berhasil menuntut penaikan upah, tetapi karena penaikan harga BBM itu daya beli mereka dipastikan akan menurun dan kesejahteraan mereka pun kembali ke level sebelum penaikan upah minimum regional (UMR).

Program konversi ke BBG sangatlah penting mengingat saat ini Indonesia sudah mengalami defisit perdagangan migas yang sangat besar. BBG tidak perlu impor, sedangkan BBM harus impor. Saat ini impor migas jauh lebih besar daripada ekspor. Hal itu terjadi karena pemerintah selama ini salah urus dalam mengelola kekayaan migas nasional, dengan tetap mempertahankan UU Migas No 22/2001 meskipun sebenarnya UU itu sudah terbukti melanggar konstitusi karena sejak 2004 sudah 17 Pasal dicabut MK.

Itulah satu-satunya UU yang sudah begitu banyak pasalnya tidak berlaku, tetapi masih tetap dipertahankan. Mestinya, sewaktu MK mencabut pasal-pasal yang terkait dengan BP Migas, pemerintah segera mengeluarkan perppu untuk mencabut UU Migas No 22/2001 karena selain bertentangan dengan konstitusi, UU itu terbukti sangat merugikan negara secara finansial dan menimbulkan ketidakpastian.

Bahkan menurut survei dari Fraser Institute Canada (2012), UU Migas tersebut telah menyebabkan tata kelola migas di Indonesia menjadi paling buruk di Asia Oceania, lebih buruk daripada Malaysia, Filipina, Brunei, PNG, Australia, Selandia Baru, dan bahkan lebih buruk daripada Timor Leste.

Penyebab buruknya tata kelola migas di Indonesia ialah UU Migas No 22/2001, terutama karena sistem tata kelola yang menjadi lebih birokratis dengan munculnya lembaga baru (BP Migas/SKK Migas) dan pencabutan asas `lex specialis' melalui Pasal 31 UU Migas sehingga perusahaan yang masih pada tahap eksplorasi dikenai berbagai macam pajak dan pungutan. Akibatnya, sejak adanya UU Migas itu, investasi eksplorasi anjlok yang diikuti langkanya penemuan cadangan baru yang bermuara pada produksi minyak yang terus turun.

Sayang sekali, sejak 2005 hingga saat ini pemerintah menyiasati Pasal 31 UU Migas dengan mengeluarkan peraturan menteri keuangan (PMK) yang membebaskan pajak semasa eksplorasi. Jelas, PMK bukanlah solusi karena statusnya lebih rendah daripada UU sehingga solusi PMK itu tidak pernah akan efektif. Bahkan di kemudian hari terbuka risiko perusahaan minyak yang tidak bayar pajak semasa eksplorasi saat ini bisa didakwa mengemplang pajak karena melanggar Pasal 31 UU Migas No 22/2001.

Pada 2004, pada saat awal pemerin tahan SBY, produksi minyak masih sekitar 1,2 juta bbls/hari. Pada Mei 2013, produksi hanya sekitar 835 ribu bbls/hari sehingga target APBN 2013 sebesar 900 ribu bbls/hari harus diturunkan menjadi 840 ribu bbls/hari.

Di sisi hilir, UU Migas telah memindahkan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan BBM rakyat dari yang semula di tangan Pertamina, kini ada di tangan pemerintah. Pertamina diposisikan hanya sebagai salah satu operator yang ditunjuk pemerintah (melalui BPH Migas) dalam memenuhi kebutuhan BBM nasional.

Akibatnya Pertamina yang kini berstatus sebagai PT (persero) yang oleh UU diwajibkan cari untung sebesarbesarnya menjadi enggan membangun kilang BBM mengingat margin investasi di kilang BBM relatif sangat kecil, jauh di bawah margin usaha hulu. Padahal sebelum UU Migas, Pertamina pernah merencanakan pembangunan banyak kilang BBM tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk tujuan ekspor (kilang Exor: export oriented refinery).

Akibatnya, sejak UU Migas, tidak ada tambahan kapasitas kilang BBM, padahal konsumsi BBM terus meningkat dan berdampak pada meningkatnya impor BBM nasional yang berujung pada defisit migas yang terus membengkak dan nilai rupiah yang terus melemah.

Menaikkan harga BBM yang diikuti dengan program kompensasi secara massal menjelang pemilu saat ini sebaiknya dihindari. Di samping dapat mengkhianati demokrasi, mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya. Ujungnya rakyat jua yang akan menderita.

Dalam jangka pendek, sebenarnya penyehatan fiskal dapat dilakukan dengan cara mengefisienkan pengeluaran dan mendorong potensi penerimaan APBN. Di bidang migas, upaya nego penjualan gas Tangguh yang dijual dengan harga sangat murah ke Fujian supaya dipercepat. Tujuan nego agar formula harga jual mengikuti pola harga jual LNG Badak ke Jepang. Di situ ada potensi tambahan penerimaan negara sekitar Rp30 triliun/tahun.

Bila perlu, dengan menghentikan pengapalan dan mempersiapkan ahli-ahli hukum untuk menghadapi kemungkinan China membawa kasus itu ke Arbitrase Internasional. Sebaiknya itu didahului dengan pembentukan tim independen guna menginvestigasi kemungkinan adanya pelanggaran hukum di dalam proses penunjukan, proses pembangunan/pembiayaan kilang LNG Tangguh, dan proses jual beli dengan pihak China.

Terlebih dalam pembangunan LNG Tangguh Train 3 saat ini, misalnya, pemerintah malah menyetujui dan mendorong kontraktor minyak asing (BP) untuk menggunakan cadangan gas Tangguh yang ada di perut bumi sebagai agunan dalam memperoleh pembiayaan. Itu jelas melanggar konstitusi karena aset yang berupa cadangan migas yang masih tersimpan di perut bumi adalah 100% milik negara. Migas baru menjadi milik kontraktor setelah diproduksikan, dibagi, dan secara fisik sudah berada di titik serah.

Langkah jangka pendek lainnya untuk menyehatkan fiskal ialah dengan melakukan efi siensi impor minyak mentah dan BBM yang nilainya sekitar US$45 miliar/tahun.

Efisiensi impor dilakukan dengan menghapus pembelian melewati pihak ketiga (trader/broker) di Singapura meski penunjukannya lewat ‘proses tender’. Sebaiknya pembelian dilakukan dengan kontrak langsung dengan produsen di luar negeri. Trader/broker bukan penghasil, melainkan perantara yang akan mengutip keuntungan dari penjualan minyak (yang mereka beli dari produsen atau dari sesama broker) ke Pertamina.

Langkah efisiensi itu juga perlu dilakukan agar minyak mentah impor (dan minyak mentah dalam negeri yang berasal dari kontraktor asing) yang dimasak di kilang Pertamina tidak ‘overprice’ yang telah menyebabkan BBM yang dihasilkan kilang Pertamina menjadi ‘lebih mahal’ daripada BBM impor sehingga PT Pertamina saat ini cenderung lebih senang impor BBM daripada membangun kilang BBM.

Model tata kelola seperti itu, di samping merugikan rakyat, memperlemah ketahanan energi nasional. Dalam jangka panjang, harus ada perubahan dan restorasi tata kelola migas nasional dengan menyu sun kembali UU Migas yang sesuai dengan konstitusi, yang menjamin kedaulatan negara atas kekayaan migasnya serta membuka terobosan bagi pemanfaatan aset negara berupa cadangan migas nasional untuk melunasi utang negara dan sebagai sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur secara masif guna mempercepat tercapainya pertumbuhan ekonomi ‘double digit’. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar