Selasa, 18 Juni 2013

Cuci Piring BBM ala SBY

Cuci Piring BBM ala SBY
Taufik Lamade ;   Wartawan Jawa Pos
JAWA POS, 18 Juni 2013


TAK ada kenaikan BBM yang tidak ditandai oleh gejolak. Demonstrasi penolakan muncul di mana-mana. Tak jarang, demo berakhir dengan kekerasan fisik. Biaya sosial yang harus kita bayar sangat mahal. 

Biaya ekonomi yang ditanggung rakyat pun tak kalah mencekik. Baru isu atau sekadar wacana adanya kenaikan BBM subsidi (atau rencana penghematan subsidi BBM), langsung membuat harga di pasar bergolak. Itulah sebabnya, bila pemerintah maju mundur dalam mengambil kebijakan menaikkan BBM, yang tercekik adalah ibu rumah tangga yang saban hari ke pasar. Mereka bisa tersiksa karena selalu menemukan harga baru. 

Di sisi lain, istana berteriak dengan jumlah subsidi BBM yang semakin membengkak. Tahun ini nilainya mencapai Rp 193 triliun (APBN 2013). Subsidi itu bakal terus membengkak karena semakin besarnya tingkat konsumsi. Adapun total subsidi energi (termasuk untuk listrik) mencapai Rp 309,9 triliun. Ini jelas sangat mengganggu postur APBN yang senilai Rp 1.500 triliun. 

Nilai subsidi BBM sangat besar. Jembatan Selat Sunda yang panjangnya sekitar 29 kilometer bila dibangun bakal menghabiskan sekitar Rp 100 triliun. Padahal, jembatan itu sangat penting umtuk menggenjot keseimbangan ekonomi Jawa dan Sumatera. Tol trans Jawa yang sudah terbengkalai bertahun-tahun itu saja, totalnya juga sekitar Rp 100 triliun. Jembatan Suramadu hanya menghabiskan sekitar Rp 6 triliun, bahkan jembatan tol di atas laut di Bali nilainya hanya Rp 2,4 triliun. Semua proyek serupa itu diharapkan berjalan lancar bila BBM tak disubsidi. 

Besarnya subsidi BBM disebabkan secara keekonomian harga BBM premium yang kita beli sehari-hari sekitar Rp 9.500-10.000 per liter (bergantung pada fluktuasi harga minyak dunia). Sementara harga yang kita bayar Rp 4.500. Ini berarti pemerintah paling tidak menyubsidi Rp 5.000 per liter setiap para pemilik mobil membeli premium. Memang aneh, mereka yang kuat membeli mobil malah diberi minum BBM subsidi oleh negara. 

Secara alur ekonomi, subsidi harus dipangkas. Itu benar dan tak terbantahkan. Subsidi yang sangat besar itu seharusnya bisa menjadi belanja modal pembangunan infrastruktur serta peningkatan pelayanan kesehatan atau pendidikan. Cuma yang harus kita cermati, kebijakan kenaikan BBM sering diwarnai aroma politik. Pilpres atau pileg sering menjadi palang rintang dalam kebijakan itu. 

Pemerintah SBY-Boediono saat ini mengaku sangat berat menanggung subsidi yang semakin liar dan tak terkendali. Seharusnya tak perlu pusing bila tidak melakukan politik tarik ulur. Pada tahun terakhir periode pertama pemerintahannya SBY sempat menerapkan policy yang membingungkan. Pada 24 Mei 2008, BBM (bensin premium) yang saat itu berharga Rp 4.500 dinaikkan menjadi Rp 6.000. Lantas 1 Desember 2008 harganya diturunkan menjadi Rp 5.500, dan dua pekan kemudian, 15 Desember 2008, diturunkan menjadi Rp 5.000. Lantas 15 Januari 2009, tepatnya tiga bulan menjelang pemilihan umum dan lima bulan menjelang pemilihan presiden 2009, SBY mengembalikan harga BBM ke angka Rp 4.500. 

Sulit dikatakan bahwa kebijakan ini tak ada hubungannya dengan momentum pileg dan pilpres. Sebab, langkah SBY itu telah membuatnya meraih keuntungan politik yang sangat signifikan untuk mengantarkannya kembali menang. 

Di sisi lain, harga BBM Rp 6.000 yang dianulir itu telah dibayar dengan biaya sosial yang tinggi. Artinya, saat harga BBM naik, demo dan protes muncul di mana-mana. Polisi sudah bekerja keras meredamnya. Tapi, harga yang sudah melewati "ujian sosial" itu malah ditarik kembali oleh SBY. 

Kini, politik BBM menjelang Pemilu 2009 itu membuat kita tersiksa secara ekonomi. Coba, seandainya harga Rp 6.000 itu tetap dipertahankan hingga sekarang, subsidi yang dikeluarkan tidak sebesar ini. Dengan demikian, kita bisa membangun infrastruktur besar. Coba kita asumsikan selisih harga Rp 1.500 dikalikan dengan kuota BBM subsidi mencapai 45 juta kiloliter selama 2013. Berapa triliun yang seharusnya bisa dihemat. Apalagi, itu sejak awal 2009 (kebijakan BBM kembali diturunkan menjadi Rp 4.500). 

SBY sendiri juga pernah "cuci piring" rezim sebelumnya akibat harga BBM terlalu rendah dibanding harga pasar. Pada awal pemerintahan SBY-JK, saat bulan madu di istana, mereka justru menaikkan harga BBM secara ekstrem. Pada tahun pertamanya itu, 2005, mereka menaikkan harga BBM dua kali. Pertama, harga BBM peninggalan Mega Rp 1.810 dinaikkan menjadi Rp 2.400. Lantas masih pada tahun itu yang sama harganya naik menjadi Rp 4.500. 

Kenaikan di awal era SBY yang lebih 100 persen (akumulatif dua kenaikan) itu adalah yang terbesar selama ini. SBY-JK terpaksa kerja keras mencuci piring karena sejak 2003 pemerintah Mega berusaha tidak menaikkan harga BBM. Tentu pemerintahan Mega memilih memberikan subsidi daripada harus membayar biaya politik besar menghadapi Pemilu 2004. Toh, Mega ternyata tetap kalah di pilpres. SBY yang menjadi pemegang tongkat estafet menangung risiko yang terpaksa mencuci piring besar-besaran itu. 

Kini SBY sangat getol ingin menaikkan harga BBM. Bagi SBY yang sudah tak maju lagi, lapang saja membuat kebijakan tidak populis, untuk menaikkan harga BBM. Tentu, sudah tak ada lagi kebijakan menurunkan BBM seperti menjelang Pilpres 2009. Tapi, kebijakan ini akan membuat penggantinya tak perlu segera "cuci piring" di awal masa jabatan meski harga BBM belum menjumpai titik keekonomian. Itu kalau SBY tidak menurunkan lagi harga BBM menjelang pileg dan Pilpres 2014, demi Demokrat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar