|
KORAN
TEMPO, 18 Juni 2013
Kalimat-kalimat pendek dalam Twitter hakikatnya seperti
sumbu pendek mercon. Ia dengan mudah meledak di kepala pembacanya. Bayangkan,
sebuah kalimat atau dua kalimat memaksa pengicau untuk menyampaikan pesan
dengan jelas, ringkas, dan bernas dalam 140 karakter. Tidak semua orang mampu
melakukannya. Sebagian malah memanfaatkan keringkasan susunan bahasa Inggris
untuk meluahkan gagasan agar tidak disalahpahami. Kalau penggunaan bahasa asing
dimanfaatkan sepenuhnya, tentu pengikut (follower)
bisa belajar isi dan bahasa sekaligus. Namun apabila campur-aduk, ia tak lebih
dari kegenitan pengicaunya.
Ujaran pendek di Twitter yang sering dipertikaikan terkait
dengan isu politik dan agama. Tak jarang kicauan itu adalah luahan kegeraman
dari pemilik akun. Ia tak lebih dari katup tekanan, sehingga bahasa yang dipakai
meletup-letup. Malangnya, banyak orang bersembunyi di balik akun anonim untuk
menyembunyikan dirinya dan menyerang orang yang tak disuka. Mungkin tuduhan itu
berdasar, tapi jelas orang terkait tak mempunyai nyali. Tentu saja, akun gelap
paling tersohor, @TrioMacan2000, adalah contoh yang paling benderang bahwa
banyak di antara kita yang tak berani untuk menunjukkan dirinya. Boleh jadi
yang bersangkutan mengalami kompleks inferiotas.
Menariknya, survei yang dilakukan oleh Hendro Prasetyo,
dari Lembaga Survei Indikator, menunjukkan bahwa persentase pengguna
microblogging tersebut yang ingin mencari isu politik sebanyak 15 persen,
sedangkan hiburan 16 persen. Burhanuddin Muhtadi, analis politik, menanggapi
survei ini bukan sebagai kemelekan politik pengguna, melainkan sebatas minat
terhadap isu politik. Tentu saja kegemaran orang pada hiburan bisa dilihat dari
akun Twitter Agnes Monica. Dara yang baru meluncurkan parfum ala Lady Gada ini
merupakan pemilik akun dengan pengikut terbanyak di Indonesia, yaitu 7.746.229.
Bagaimanapun, para pesohor Twitter lebih mudah menarik
banyak pengikut. Mereka berasal dari pelbagai profesi dan latar belakang,
seperti artis, penyanyi, pereka mode, novelis, wartawan, dan budayawan. Namun
sebagian pesohor mengunci akun seraya membatasi pengikutnya. Berbeda dengan
politikus, yang memang memerlukan banyak konstituen, mereka membuka diri bagi
orang lain untuk mengikuti akunnya. Meski demikian, tak banyak politikus yang
bersedia berkomunikasi dengan pengikutnya secara mendalam. Mereka lebih memilih
berceloteh sesama kawan sendiri, malah kadang lebih sering berbicara sepak bola
daripada apa yang dilakukannya sebagai wakil rakyat. Malangnya, wakil rakyat
hanya memberdayakan staf ahlinya untuk hanya mengicau-ulang dukungan pengikut.
Ironis!
Pengukuran bilangan pengikut tentu menjadi penanda bagi
popularitas, tapi tidak dengan sendirinya menggambarkan intensitas hubungan
dengan pengikutnya. Tak ayal, pengikutnya menagih sebutan (mention), sebagaimana sering terjadi pada akun Dahlan Iskan. Meskipun
terkesan asal jawab, Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) ini secara
tersirat mengajak pengagumnya untuk tak terlalu serius dengan media sosial ini.
Prinsip hidupnya adalah bekerja, bekerja, dan bekerja. Sebenarnya, kalau
pengikut mantan wartawan majalah Tempo ini ingin lebih dekat dengan Pak Dahlan,
ia bisa membaca tulisannya saban Minggu di Jawa Pos dan Jurnal Nasional dalam
kolom Manufacturing Hope.
Tentu saja akun yang paling heboh di jagat media sosial ini
adalah akun Twitter Susilo Bambang Yudhoyono. Selain diiringi dengan
peluncuran, akun ini mengundang penasaran banyak orang. Bisa ditebak, banyak tweeps yang menyoal kesediaan orang
nomor satu bermain-main di ranah yang menjadi ajang pelepasan kegeraman.
Setelah dua tahun berpikir keras, akhirnya pembina Partai Demokrat ini
mengambil risiko untuk dihujat, dipuji, dan disoal oleh orang ramai. Seperti
diramalkan, banyak orang yang menghamburkan cercaan, meskipun tak sedikit juga
yang memberikan pujian. Dengan pengikut 2.318.830, SBY masih berada jauh di
bawah pesohor Agnes Monica. Belum lagi, sejauh ini SBY masih berkicau sebanyak
490, yang tak semuanya berasal dari benaknya (tak bertanda *SBY). Sayangnya,
RI-1 ini lebih banyak menulis kicauan normatif, bukan ide yang bernas.
Tafsir kicauan
Hakikatnya, memahami kicauan Twitter sama dengan mengerti
sebuah aforisme, seperti cetusan Nietzche atau puisi Jepang Haiku.
Kalimat-kalimat pendek yang diungkapkan dalam keduanya memaksa pembaca
mengerutkan dahi. Betapapun dalam teks mengandaikan kandungan makna, ia tidak
serta-merta bisa dipahami oleh pembaca. Mungkin pembaca menggenggam pemahaman
dalam pembacaan pertama, tapi hakikatnya "maksud" tak bisa diraih
seperti arti "asal". Secara otomatis, pemaknaan terhadap kicauan
beraneka ragam. Memang, dalam tradisi filsafat hermeneutik, tafsir itu bersifat
produktif. Ada ketegangan antara penulis dan pembaca, termasuk masa lalu dan
masa kini.
Ketidaksertamertaan ini disebabkan oleh perbedaan pandangan
dunia penulis dengan pembaca, serta ada jarak yang memisahkan, seperti latar
belakang. Bayangkan aforisme Nietzsche "Tuhan
telah mati", yang akan mengusik pembaca umum. Padahal konsep Tuhan
Nietzche dan kebanyakan orang tak sama. Kalau pembela dan penentang filsuf
Jerman ini berseteru dalam bumi Twitter, kita tak bisa menahan tawa karena
sejak mula konsep teologi keduanya tak sama. Akhirnya, perang Twitter muncul
akibat komunikasi "bertukar tangkap
dalam lepas", seperti diandaikan oleh penyajak Chairil Anwar.
Mengingat penelitian Lembaga Survei Indikator (Maret 2013)
terhadap 1.200 responden, hanya 8,9 persen yang mengakses Internet, dan tentu
saja tak semua pada masa yang sama memakai Twitter, media sosial ini tentu
belum mampu untuk mendorong aktivisme digital. Namun, kehadiran politikus,
aktivis, dan petinggi negara yang bermain-main di sini akan memudahkan khalayak
mendapatkan informasi dari tangan pertama. Sejauh ini, belum ada survei adakah
sebuah perubahan dipicu oleh Twitter, meskipun fenomena Prita melalui Facebook
pernah mengguncang publik. Sepertinya, jalan masih panjang untuk mewujudkan
aktivisme digital. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar