Selasa, 18 Juni 2013

Mendorong Twitter Memicu Aktivisme

Mendorong Twitter Memicu Aktivisme
Ahmad Sahidah ;   Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
KORAN TEMPO, 18 Juni 2013


Kalimat-kalimat pendek dalam Twitter hakikatnya seperti sumbu pendek mercon. Ia dengan mudah meledak di kepala pembacanya. Bayangkan, sebuah kalimat atau dua kalimat memaksa pengicau untuk menyampaikan pesan dengan jelas, ringkas, dan bernas dalam 140 karakter. Tidak semua orang mampu melakukannya. Sebagian malah memanfaatkan keringkasan susunan bahasa Inggris untuk meluahkan gagasan agar tidak disalahpahami. Kalau penggunaan bahasa asing dimanfaatkan sepenuhnya, tentu pengikut (follower) bisa belajar isi dan bahasa sekaligus. Namun apabila campur-aduk, ia tak lebih dari kegenitan pengicaunya. 
Ujaran pendek di Twitter yang sering dipertikaikan terkait dengan isu politik dan agama. Tak jarang kicauan itu adalah luahan kegeraman dari pemilik akun. Ia tak lebih dari katup tekanan, sehingga bahasa yang dipakai meletup-letup. Malangnya, banyak orang bersembunyi di balik akun anonim untuk menyembunyikan dirinya dan menyerang orang yang tak disuka. Mungkin tuduhan itu berdasar, tapi jelas orang terkait tak mempunyai nyali. Tentu saja, akun gelap paling tersohor, @TrioMacan2000, adalah contoh yang paling benderang bahwa banyak di antara kita yang tak berani untuk menunjukkan dirinya. Boleh jadi yang bersangkutan mengalami kompleks inferiotas. 
Menariknya, survei yang dilakukan oleh Hendro Prasetyo, dari Lembaga Survei Indikator, menunjukkan bahwa persentase pengguna microblogging tersebut yang ingin mencari isu politik sebanyak 15 persen, sedangkan hiburan 16 persen. Burhanuddin Muhtadi, analis politik, menanggapi survei ini bukan sebagai kemelekan politik pengguna, melainkan sebatas minat terhadap isu politik. Tentu saja kegemaran orang pada hiburan bisa dilihat dari akun Twitter Agnes Monica. Dara yang baru meluncurkan parfum ala Lady Gada ini merupakan pemilik akun dengan pengikut terbanyak di Indonesia, yaitu 7.746.229.
Bagaimanapun, para pesohor Twitter lebih mudah menarik banyak pengikut. Mereka berasal dari pelbagai profesi dan latar belakang, seperti artis, penyanyi, pereka mode, novelis, wartawan, dan budayawan. Namun sebagian pesohor mengunci akun seraya membatasi pengikutnya. Berbeda dengan politikus, yang memang memerlukan banyak konstituen, mereka membuka diri bagi orang lain untuk mengikuti akunnya. Meski demikian, tak banyak politikus yang bersedia berkomunikasi dengan pengikutnya secara mendalam. Mereka lebih memilih berceloteh sesama kawan sendiri, malah kadang lebih sering berbicara sepak bola daripada apa yang dilakukannya sebagai wakil rakyat. Malangnya, wakil rakyat hanya memberdayakan staf ahlinya untuk hanya mengicau-ulang dukungan pengikut. Ironis!
Pengukuran bilangan pengikut tentu menjadi penanda bagi popularitas, tapi tidak dengan sendirinya menggambarkan intensitas hubungan dengan pengikutnya. Tak ayal, pengikutnya menagih sebutan (mention), sebagaimana sering terjadi pada akun Dahlan Iskan. Meskipun terkesan asal jawab, Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) ini secara tersirat mengajak pengagumnya untuk tak terlalu serius dengan media sosial ini. Prinsip hidupnya adalah bekerja, bekerja, dan bekerja. Sebenarnya, kalau pengikut mantan wartawan majalah Tempo ini ingin lebih dekat dengan Pak Dahlan, ia bisa membaca tulisannya saban Minggu di Jawa Pos dan Jurnal Nasional dalam kolom Manufacturing Hope.
Tentu saja akun yang paling heboh di jagat media sosial ini adalah akun Twitter Susilo Bambang Yudhoyono. Selain diiringi dengan peluncuran, akun ini mengundang penasaran banyak orang. Bisa ditebak, banyak tweeps yang menyoal kesediaan orang nomor satu bermain-main di ranah yang menjadi ajang pelepasan kegeraman. Setelah dua tahun berpikir keras, akhirnya pembina Partai Demokrat ini mengambil risiko untuk dihujat, dipuji, dan disoal oleh orang ramai. Seperti diramalkan, banyak orang yang menghamburkan cercaan, meskipun tak sedikit juga yang memberikan pujian. Dengan pengikut 2.318.830, SBY masih berada jauh di bawah pesohor Agnes Monica. Belum lagi, sejauh ini SBY masih berkicau sebanyak 490, yang tak semuanya berasal dari benaknya (tak bertanda *SBY). Sayangnya, RI-1 ini lebih banyak menulis kicauan normatif, bukan ide yang bernas.
Tafsir kicauan
Hakikatnya, memahami kicauan Twitter sama dengan mengerti sebuah aforisme, seperti cetusan Nietzche atau puisi Jepang Haiku. Kalimat-kalimat pendek yang diungkapkan dalam keduanya memaksa pembaca mengerutkan dahi. Betapapun dalam teks mengandaikan kandungan makna, ia tidak serta-merta bisa dipahami oleh pembaca. Mungkin pembaca menggenggam pemahaman dalam pembacaan pertama, tapi hakikatnya "maksud" tak bisa diraih seperti arti "asal". Secara otomatis, pemaknaan terhadap kicauan beraneka ragam. Memang, dalam tradisi filsafat hermeneutik, tafsir itu bersifat produktif. Ada ketegangan antara penulis dan pembaca, termasuk masa lalu dan masa kini.
Ketidaksertamertaan ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dunia penulis dengan pembaca, serta ada jarak yang memisahkan, seperti latar belakang. Bayangkan aforisme Nietzsche "Tuhan telah mati", yang akan mengusik pembaca umum. Padahal konsep Tuhan Nietzche dan kebanyakan orang tak sama. Kalau pembela dan penentang filsuf Jerman ini berseteru dalam bumi Twitter, kita tak bisa menahan tawa karena sejak mula konsep teologi keduanya tak sama. Akhirnya, perang Twitter muncul akibat komunikasi "bertukar tangkap dalam lepas", seperti diandaikan oleh penyajak Chairil Anwar.
Mengingat penelitian Lembaga Survei Indikator (Maret 2013) terhadap 1.200 responden, hanya 8,9 persen yang mengakses Internet, dan tentu saja tak semua pada masa yang sama memakai Twitter, media sosial ini tentu belum mampu untuk mendorong aktivisme digital. Namun, kehadiran politikus, aktivis, dan petinggi negara yang bermain-main di sini akan memudahkan khalayak mendapatkan informasi dari tangan pertama. Sejauh ini, belum ada survei adakah sebuah perubahan dipicu oleh Twitter, meskipun fenomena Prita melalui Facebook pernah mengguncang publik. Sepertinya, jalan masih panjang untuk mewujudkan aktivisme digital.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar