|
KOMPAS, 08 Juni 2013
Hiruk-pikuk, perdebatan, diskusi, dan perang
wacana tentang Kurikulum 2013 tampaknya harus berakhir dengan antiklimaks.
Tepat kata pujangga besar Romawi, Horatius, ”Parturient
montes, nascetur mus ridiculus.” Gunung-gunung mengeluh sakit karena
bersalin, yang lahir hanyalah tikus kecil!
Ide besar tentang desain kurikulum terbaik di
dunia, seperti yang selama ini digembar-gemborkan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Muhammad Nuh, begitu disahkan oleh DPR ternyata hanya menjadi ide
kecil. Porsi pelaksanaannya juga kecil, diperuntukkan hanya bagi sebagian kecil
sekolah yang selama ini telah dianggap baik dan maju, seperti bekas sekolah
rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah berakreditasi A.
Itu pun hanya di sekolah-sekolah di kota
tingkat provinsi. Kita seperti ingin menarik lokomotif pendidikan nasional
dengan lokomotif seekor tikus kecil!
Kesadaran baru
Tak salah bila rakyat kemudian menganggap
para politisi dan pengambil kebijakan pendidikan ternyata lebih suka
bereksperimen dengan dunia pendidikan. Mereka belum mampu untuk berdiri di atas
pundak para raksasa agar dapat melihat masa depan pendidikan nasional dengan
lebih baik dan penuh harap.
Antiklimaks Kurikulum 2013 di satu sisi
membuka mata dan kesadaran baru segenap warga negara bahwa suara rakyat di
negeri ini hanya dihargai saat pemilu. Setelah mereka memilih para politisi
untuk duduk di Senayan, suara rakyat bisa dikesampingkan. Di sisi lain, suara
rakyat yang kecil, meski belum memperoleh pengakuan, menunjukkan geliat
demokrasi yang sedang berjalan di arah yang benar. Rakyat, meskipun masih
kalah, sudah mulai menyadari hak-hak politiknya. Rakyat sudah berani
menyuarakan pendapatnya tentang kualitas pendidikan yang menyangkut masa depan
putra-putri mereka, lembaga pendidikan, sekolah, yayasan, dan kebaikan bangsa
ini di masa depan.
Adalah salah besar ketika para pengambil
kebijakan menganggap protes, seruan, dan kritik dari warga negara atas
perdebatan Kurikulum 2013 sebagai suara-suara orang pinggiran, bukan pengurus
sekolah yang terlibat langsung dalam pengelolaan sekolah. Setiap orangtua, yang
tak mengurus sekolah pun, memiliki kepentingan agar kebijakan pendidikan
nasional membawa berkah dan kebaikan bagi putra-putri mereka. Memperjuangkan
kualitas pendidikan nasional adalah urusan publik, urusan tiap warga negara.
Selain ada kesadaran baru tentang makna
berdemokrasi, terutama dalam memperjuangkan kualitas pendidikan nasional, warga
negara juga disadarkan tentang kualitas para pejabat pemerintahan dan para
politisi yang telah mereka percayai untuk mengelola dan mengurus pendidikan
nasional. Rupanya para anggota dewan, dan penanggung jawab kebijakan
pendidikan—dalam hal ini Mendikbud—lebih memilih jalan politis. Mereka
memaksakan agenda-agenda kelompoknya sendiri, yang dari sisi kebijakan
pendidikan nasional kurang strategis, bahkan justru melahirkan ketimpangan dan
ketidakadilan dalam pengelolaan lembaga pendidikan.
Ketika anggota dewan mengesahkan Kurikulum
2013, yang hanya dilakukan dengan lingkup terbatas dan hanya tertuju bagi
kelompok elite sekolah di negeri ini, yaitu sekolah bekas RSBI dan yang
terakreditasi A, bahkan hanya di kota-kota besar, semakin terlihat logika
berpikir dan agenda kelompok mereka. Kurikulum 2013 harus berjalan dan
berhasil. Karena itu, dipilih sekolah-sekolah yang sudah baik dan bagus, dengan
sarana prasarana dan standar yang sudah memenuhi delapan standar pendidikan
nasional.
Lalu, buat apa kurikulum itu diterapkan di
sana? Apa keuntungan dan kelebihannya? Tanpa Kurikulum 2013, sekolah-sekolah
yang sudah baik itu telah memiliki sistem dan kebijakan pendidikan yang baik di
tingkat lokal.
Kebijakan pendidikan seperti ini ibarat
menggarami air laut! Tidak ada faedah dan manfaatnya, selain bermanfaat bagi
pencitraan anggota dewan dan para politisi untuk membuktikan bahwa Kurikulum
2013 adalah kurikulum yang baik. Beranikah anggota dewan dan pemerintah menerapkan
Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah terpencil, yang akreditasinya C atau D, dan
membuktikan bahwa sistem kurikulum yang mereka pilih merupakan sistem kurikulum
terbaik di dunia, yang mampu meningkatkan kinerja sekolah-sekolah yang
berprestasi rendah?
Kesadaran baru yang lain, rakyat makin sadar
cara berpikir dan bertindak para politisi dan pengambil kebijakan pendidikan
hanya berdasarkan logika kekuasaan. Bukan karena pertimbangan pemikiran yang
jernih dan cerdas. Salah satu contoh pengambilan kebijakan berdasarkan logika
kekuasaan ini adalah munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
Para pengkritik Kurikulum 2013 telah lama
menyerukan bahwa gerakan pemerintah untuk sosialisasi wacana Kurikulum 2013
banyak melanggar rambu-rambu hukum dan peraturan yang terkait kebijakan
pendidikan nasional. Kritik dari rakyat mengarah pada substansi isi
pengembangan pendidikan yang didesain dalam Kurikulum 2013, seperti formulasi
berbagai macam kompetensi dasar yang aneh dan tidak masuk akal, serta landasan
yang dipakai dalam rangka menetapkan Standar Nasional Pendidikan.
Logika kekuasaan terjadi ketika dikeluarkan
PP No 32/2013 yang digunakan sebagai legitimasi hukum untuk melaksanakan
Kurikulum 2013. Namun, itu tidak menjawab substansi dan pokok persoalan yang
dikritik oleh kritikus Kurikulum 2013. Jika diibaratkan, melalui peraturan
pemerintah ini, pemerintah seperti ingin berkata kepada rakyat, ”Kritikmu sudah
kami akomodasi dan sekarang peraturan pemerintah sudah kami ubah. Anda sudah
tidak ada hak untuk protes lagi.”
Jadi, PP dikeluarkan bukan untuk menanggapi
isu tentang isi persoalan utama dalam debat Kurikulum 2013, seperti reformulasi
standar isi, standar proses, standar evaluasi, dan standar kompetensi lulusan
yang bermasalah, melainkan sebagai legitimasi pelaksanaan Kurikulum 2013.
Jalan masih panjang
Pengalaman berdemokrasi memperjuangkan
perbaikan pendidikan nasional merupakan jalan terjal, bergunung-gunung, dan
masih panjang. Antiklimaks Kurikulum 2013 tak boleh membuat rakyat putus asa
dan berhenti berjuang. Modal intelektual bangsa ini sangat besar. Ada banyak
profesor, pemikir, pemerhati pendidikan, guru, orangtua, siswa, dan individu
dengan berbagai macam profesi yang memiliki kepentingan agar pendidikan nasional
kita semakin bermutu dan terarah pada pengembangan kecerdasan bangsa yang
berkeadilan.
Bahu-membahu dalam mengembangkan pemikiran,
gagasan, kritik, dan perjuangan melalui berbagai macam cara merupakan salah
satu tantangan bagi seluruh rakyat yang cinta pada dunia pendidikan. Kita tentu
tidak ingin kebijakan pendidikan nasional hanya dimonopoli dan diputuskan oleh
segelintir elite politik yang hanya melahirkan tikus-tikus kecil! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar