Senin, 10 Juni 2013

Membangun Keindonesiaan

Membangun Keindonesiaan
Zuly Qodir ;    Sosiolog, Jemaah Muhammadiyah
KOMPAS, 08 Juni 2013


"Jadilah Kader Persyarikatan, kader Bangsa dan kader Kemanusiaan" (Syafii Maarif, 2003)
Sepuluh tahun sudah, sejak 7 Juni 2003, tokoh Muslim moderat-inklusif, Ahmad Syafii Maarif (akrab disapa Buya Syafii), mendirikan Maarif Institute. Ia mendirikan lembaga itu bersama koleganya, Moeslim Abdurrahman, seorang cendekiawan Muslim, tokoh teologi transformatif Indonesia.
Maarif Institute bukan milik Muhammadiyah atau Islam saja, melainkan milik bangsa ini yang hendak menyemaikan kemanusiaan. Inilah ikon yang dibangun Maarif Institute for Humanity. Dalam usia yang masih muda, aktivitas yang dikerjakan sebenarnya memberikan pertanda yang sangat baik ketika sebagian anak bangsa sibuk dengan pelbagai ritual politik yang melelahkan, kadang nyaris membuat frustrasi dan kehilangan akal sehat.
Anak-anak bangsa disibukkan pelbagai intrik politik yang tak kunjung usai. Juga pelbagai persoalan korupsi, politik dinasti, dan demokrasi berbiaya mahal karena penuh dengan kekerasan. Di situ kehadiran Maarif Institute tentu diharapkan banyak pihak agar mampu benar-benar pada jalur pencerahan bangsa dengan landasan kemanusiaan dan keagamaan yang santun.
Gagasan-gagasan yang disemaikan Maarif Institute sebenarnya dapat dikatakan bagian dari pendidikan politik bangsa ini. Hal itu ditandai dengan hadirnya Buya Syafii yang sangat fasih dalam berbicara politik; bukan saja bicara Islam dan sejarah Islam Indonesia. Oleh karena itu, Maarif Institute sebenarnya juga dapat dijadikan rujukan dalam etika dan ”guru moral-etika” bangsa ini ketika kondisi bangsa sedang tercabik-cabik oleh tarikan napas keganasan politik pragmatis dan glamour duniawi.
Gagasan humanis yang disemaikan Maarif Institute memberi bobot mendalam di bidang humaniora dan sosial politik yang memang sarat kontradiksi. Di situ pula kehadiran Maarif Institute, apa pun bentuknya, memang ditunggu kiprahnya dalam menggarami bangsa ini yang belakangan masih juga disibukkan dengan politik gincu (meminjam ungkapan Buya Syafii) atau politik formalisasi syariah.
Spirit pluralisme
Gagasan dari Maarif Institute akan menjadi referensi aktivis gerakan antariman dan kemanusiaan adalah tentang spirit pluralisme yang jadi landasan kokohnya dalam memperjuangkan kesamaan di hadapan Tuhan. Maarif Institute tampak jelas memiliki pandangan yang sangat fundamental tentang pluralisme sebagai metode dan praksis keimanan seseorang di Indonesia.
Kawan-kawan di Maarif Institute berkeyakinan, dengan pluralisme, umat beragama di Indonesia tak akan terus-menerus berada dalam kondisi saling curiga, menistakan, dan cakar-cakaran. Sebab, pluralisme merupakan landasan keimanan seseorang yang menghargai, menghormati, dan mengafirmasi, bukan sekadar mengakui keberadaan liyan yang berbeda, tetapi liyan yang berbeda merupakan keharusan yang harus ada dan tetap terjaga: tidak boleh dihilangkan dengan alasan apa pun.
Kita sebagai umat Tuhan yang beriman tidak akan luntur keyakinannya akan agama yang kita anut dengan menganut paham tentang pluralisme. Bahkan, kita sebagai seorang yang beriman kepada Tuhan akan semakin kuat keimanannya dan teruji saat bersedia mengakui, menghargai, menghormati, dan menjaga agar pluralisme terus ada.
Spirit pluralisme, oleh sebab itu, harus benar-benar menjadi pijakan aktivis gerakan antariman dan kemanusiaan. Dengan spirit pluralisme kita dituntut benar-benar ”membumikan iman”. Iman bukan sekadar sebutan yang berada di dunia langit, yang jauh dari jangkauan manusia. Iman merupakan pijakan yang harusnya membawa para penganut agama bergerak sebagai manusia yang ada di muka bumi. Inilah yang sebenarnya kita maknai sebagai dialog kemanusiaan di Indonesia.
Hal itu sangat penting sebab selama ini keimanan seakan-akan hanya berhubungan dengan ”dunia langit” yang suci. Sementara itu, ”dunia bumi” merupakan wilayah yang penuh dengan dusta dan kenistaan dan oleh karena itu harus dihindari oleh umat beriman. Dikotomi semacam itu harus dilengserkan segera sebab kita di muka bumi benar-benar membutuhkan iman yang mampu menyapa manusia dan kemanusiaan.
Keimanan yang membumi merupakan aktualisasi dari keimanan yang mendekati sempurna karena dengan begitu ia mampu menyapa bumi dan seisinya. Hal ini bermakna pula bahwa keimanan yang sejati merupakan keimanan yang akan berbuah di muka bumi. Buah dari keimanan itulah yang akan menyelamatkan manusia dari kehancuran di muka bumi yang memang penuh dengan angkara murka dan tipu muslihat.
Kita sekarang benar-benar membutuhkan iman yang membumi, bukan iman yang berada di langit. Kita benar-benar menghendaki umat beriman untuk saling menyapa dalam kemanusiaan. Kita benar-benar membutuhkan iman yang mampu merangkul perbedaan sebagai rahmat untuk manusia.
Dalam konteks seperti itu, saya percaya apa yang telah dan akan dilakukan oleh Maarif Institute sebagai persemaian bersama gerakan antariman dan kemanusiaan yang lainnya akan menjadi pijakan dan referensi para aktivis gerakan antariman. Kita benar-benar butuh sebuah referensi teologis yang mampu menciptakan kebersamaan dalam bingkai kemanusiaan dan keindonesiaan, bukan dalam bingkai parokialisme dan keimanan yang sempit.

Selamat untuk Maarif Institiute yang telah 10 tahun berkarya membangun Indonesia yang damai dan membawa Islam sebagai berkah untuk semua makhluk di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar