|
KOMPAS, 08 Juni 2013
"Jadilah
Kader Persyarikatan, kader Bangsa dan kader Kemanusiaan" (Syafii
Maarif, 2003)
Sepuluh tahun sudah, sejak 7 Juni 2003, tokoh
Muslim moderat-inklusif, Ahmad Syafii Maarif (akrab disapa Buya Syafii),
mendirikan Maarif Institute. Ia mendirikan lembaga itu bersama koleganya,
Moeslim Abdurrahman, seorang cendekiawan Muslim, tokoh teologi transformatif
Indonesia.
Maarif Institute bukan milik Muhammadiyah
atau Islam saja, melainkan milik bangsa ini yang hendak menyemaikan
kemanusiaan. Inilah ikon yang dibangun Maarif Institute for Humanity. Dalam
usia yang masih muda, aktivitas yang dikerjakan sebenarnya memberikan pertanda
yang sangat baik ketika sebagian anak bangsa sibuk dengan pelbagai ritual
politik yang melelahkan, kadang nyaris membuat frustrasi dan kehilangan akal
sehat.
Anak-anak bangsa disibukkan pelbagai intrik
politik yang tak kunjung usai. Juga pelbagai persoalan korupsi, politik
dinasti, dan demokrasi berbiaya mahal karena penuh dengan kekerasan. Di situ
kehadiran Maarif Institute tentu diharapkan banyak pihak agar mampu benar-benar
pada jalur pencerahan bangsa dengan landasan kemanusiaan dan keagamaan yang
santun.
Gagasan-gagasan yang disemaikan Maarif
Institute sebenarnya dapat dikatakan bagian dari pendidikan politik bangsa ini.
Hal itu ditandai dengan hadirnya Buya Syafii yang sangat fasih dalam berbicara
politik; bukan saja bicara Islam dan sejarah Islam Indonesia. Oleh karena itu,
Maarif Institute sebenarnya juga dapat dijadikan rujukan dalam etika dan ”guru
moral-etika” bangsa ini ketika kondisi bangsa sedang tercabik-cabik oleh
tarikan napas keganasan politik pragmatis dan glamour duniawi.
Gagasan humanis yang disemaikan Maarif
Institute memberi bobot mendalam di bidang humaniora dan sosial politik yang
memang sarat kontradiksi. Di situ pula kehadiran Maarif Institute, apa pun
bentuknya, memang ditunggu kiprahnya dalam menggarami bangsa ini yang
belakangan masih juga disibukkan dengan politik gincu (meminjam ungkapan Buya
Syafii) atau politik formalisasi syariah.
Spirit pluralisme
Gagasan dari Maarif Institute akan menjadi
referensi aktivis gerakan antariman dan kemanusiaan adalah tentang spirit
pluralisme yang jadi landasan kokohnya dalam memperjuangkan kesamaan di hadapan
Tuhan. Maarif Institute tampak jelas memiliki pandangan yang sangat fundamental
tentang pluralisme sebagai metode dan praksis keimanan seseorang di Indonesia.
Kawan-kawan di Maarif Institute berkeyakinan,
dengan pluralisme, umat beragama di Indonesia tak akan terus-menerus berada
dalam kondisi saling curiga, menistakan, dan cakar-cakaran. Sebab, pluralisme
merupakan landasan keimanan seseorang yang menghargai, menghormati, dan
mengafirmasi, bukan sekadar mengakui keberadaan liyan yang berbeda, tetapi
liyan yang berbeda merupakan keharusan yang harus ada dan tetap terjaga: tidak
boleh dihilangkan dengan alasan apa pun.
Kita sebagai umat Tuhan yang beriman tidak
akan luntur keyakinannya akan agama yang kita anut dengan menganut paham
tentang pluralisme. Bahkan, kita sebagai seorang yang beriman kepada Tuhan akan
semakin kuat keimanannya dan teruji saat bersedia mengakui, menghargai,
menghormati, dan menjaga agar pluralisme terus ada.
Spirit pluralisme, oleh sebab itu, harus
benar-benar menjadi pijakan aktivis gerakan antariman dan kemanusiaan. Dengan
spirit pluralisme kita dituntut benar-benar ”membumikan iman”. Iman bukan
sekadar sebutan yang berada di dunia langit, yang jauh dari jangkauan manusia.
Iman merupakan pijakan yang harusnya membawa para penganut agama bergerak
sebagai manusia yang ada di muka bumi. Inilah yang sebenarnya kita maknai
sebagai dialog kemanusiaan di Indonesia.
Hal itu sangat penting sebab selama ini
keimanan seakan-akan hanya berhubungan dengan ”dunia langit” yang suci.
Sementara itu, ”dunia bumi” merupakan wilayah yang penuh dengan dusta dan
kenistaan dan oleh karena itu harus dihindari oleh umat beriman. Dikotomi
semacam itu harus dilengserkan segera sebab kita di muka bumi benar-benar
membutuhkan iman yang mampu menyapa manusia dan kemanusiaan.
Keimanan yang membumi merupakan aktualisasi
dari keimanan yang mendekati sempurna karena dengan begitu ia mampu menyapa
bumi dan seisinya. Hal ini bermakna pula bahwa keimanan yang sejati merupakan
keimanan yang akan berbuah di muka bumi. Buah dari keimanan itulah yang akan
menyelamatkan manusia dari kehancuran di muka bumi yang memang penuh dengan
angkara murka dan tipu muslihat.
Kita sekarang benar-benar membutuhkan iman
yang membumi, bukan iman yang berada di langit. Kita benar-benar menghendaki
umat beriman untuk saling menyapa dalam kemanusiaan. Kita benar-benar
membutuhkan iman yang mampu merangkul perbedaan sebagai rahmat untuk manusia.
Dalam konteks seperti itu, saya percaya apa
yang telah dan akan dilakukan oleh Maarif Institute sebagai persemaian bersama
gerakan antariman dan kemanusiaan yang lainnya akan menjadi pijakan dan
referensi para aktivis gerakan antariman. Kita benar-benar butuh sebuah
referensi teologis yang mampu menciptakan kebersamaan dalam bingkai kemanusiaan
dan keindonesiaan, bukan dalam bingkai parokialisme dan keimanan yang sempit.
Selamat untuk Maarif Institiute yang telah 10
tahun berkarya membangun Indonesia yang damai dan membawa Islam sebagai berkah
untuk semua makhluk di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar