|
KOMPAS,
12 Juni 2013
Mungkin
tidak banyak yang tahu Hongkong telah mengatur pelanggaran pendanaan pemilu
sebagai korupsi yang dapat diproses oleh lembaga Independent Commision Against Corruption.
Dalam
fact sheets yang diterbitkan
Departemen Pelayanan Informasi Pemerintahan Hongkong, dikatakan komisi ini
melakukan investigasi dengan tiga dasar hukum: Prevention of Bribery Ordinance, ICAC Ordinance, dan Election (Corrupt and Illegal Conduct)
Ordinance (www.gov.hk). Bagaimana di Indonesia? Mungkinkah KPK bisa
menjerat pelaku korupsi pemilu tersebut?
Pemilihan
umum, betapa pun sering disebut sebagai demokrasi formal, tetap salah satu cara
yang sah mengisi posisi strategis dalam penyelenggaraan negara. Ada 560 anggota
DPR, 132 anggota DPD, 1.780 anggota DPRD seluruh Indonesia, 410 pasangan kepala
daerah, serta presiden dan wakil presiden dipilih dalam proses ini. Bagaimana
jika proses tersebut kotor? Penyelenggaraan negara macam apa yang dihasilkan?
Karena
itu, rezim pengaturan korupsi pemilu dan dana politik amat penting mengingat peran
dana politik sangat strategis dan mendasar dalam penyelenggaraan pemilu.
Belajar dari Ordinasi Korupsi Pemilu di Hongkong yang disahkan Agustus 2012,
tidak berlebihan jika pengaturan harus dilakukan lebih rinci dan pelanggarannya
dikategorikan sebagai kejahatan serius. Apalagi, survei Transparency
International bertahun-tahun menempatkan parlemen dan partai politik (parpol)
sebagai institusi yang dipersepsikan paling korup.
Indonesia Corruption Watch pernah
membandingkan bentuk korupsi pemilu legislatif Orde Baru (1992), 1999, dan
2004. Pada Pemilu 1992, pola korupsi yang dominan yakni kecurangan penghitungan
suara (43,2 persen), intimidasi memilih Golkar (29,88 persen), dan pencoblosan
ilegal (17,75 persen). Pola ini berubah signifikan pada dua pemilu era
Reformasi. Pola dominan pada Pemilu 1999 dan 2004 adalah pemberian uang kepada
calon pemilih 41,94 persen (1999) dan menjadi 51,33 persen tahun 2004 (Fahmy Badoh & Abdullah Dahlan, ICW,
2010:61).
Pada
Pemilu 2009, ICW menemukan 150 kasus dugaan politik uang dengan pembagian uang
secara langsung sebagai modus dominan. Hal ini menunjukkan tidak berubahnya
pola korupsi pemilu selama era reformasi. Mengingat regulasi yang tak banyak
berubah, oligarki partai yang masih sama, bahkan presiden partai pengusung
slogan bersih pun terjerat kasus korupsi, maka hal ini masih mungkin
terjadi pada Pemilu tahun 2014.
”Mission
Imposible”?
Apa
yang bisa dilakukan? Saya berpikir tentang dua hal sederhana. Pertama,
mencermati kembali pengaturan dan ancaman pidana terhadap penyimpangan dana
kampanye pemilu. Kedua, pembersihan keuangan parpol.
Untuk
poin pertama, Ordinasi Korupsi Pemilu Hongkong menarik untuk dicermati. Dalam
hukum di sana, sejumlah kejahatan pada pemilu dikategorikan korupsi sehingga
ICAC berwenang memprosesnya. Pada bagian ke-2 Ordinasi mulai dari bagian 6-21
diatur membentuk-bentuk korupsi pemilu dan ancaman pidananya, seperti:
menawarkan atau menerima keuntungan untuk membujuk orang lain menjadi atau
tidak menjadi kandidat pemilu, memilih atau tidak memilih calon tertentu, dan
lainnya. Ancaman pidana untuk korupsi pemilu denda 500.000 dollar Hongkong dan
hukuman penjara 7 tahun.
Bandingkan
dengan pengaturan pidana pemilu di Indonesia. Selain ancaman hukuman rendah,
kesengajaan pemberian keterangan dana kampanye yang tidak benar hanya
dikategorikan pelanggaran dengan ancaman kurungan maksimal 1 tahun dan denda Rp
12 juta (Pasal 280 UU No 8/2012). Kesulitan memproses pidana pemilu—ditambah
adanya celah hukum dalam batas waktu penyidikan Polri—berpotensi pelaku tak
terjerat.
Mungkinkah
hukum Indonesia mengategorikan sejumlah pidana pemilu sebagai korupsi? Dengan
demikian, KPK berwenang memproses bentuk kejahatan yang diperluas seperti
penerimaan mahar dalam pilpres dan pilkada, setoran pada pimpinan partai dan tentu
saja larangan sumbangan dana politik dari pihak-pihak yang sedang terjerat
kasus korupsi atau kejahatan serius lainnya.
Hal
kedua yang perlu dipikirkan serius adalah ketika parpol menerima dana hasil
kejahatan, termasuk hasil korupsi. Perihal sumber dana parpol, Pasal 34 Ayat
(1) UU No 2/2011 tentang Partai Politik telah mengatur tiga sumber sah
keuangan parpol. Poin yang perlu untuk mencegah parpol menerima dana haram
adalah ketentuan huruf (b), yaitu: ”sumbangan yang sah menurut hukum”.
Selain soal batasan jumlah seperti diuraikan pada Pasal 35, hal yang paling
penting dipahami adalah sumbangan tersebut tunduk pada semua aturan hukum di
Indonesia, termasuk UU No 8/2010 tentang Pencucian Uang.
Karena
itu, sangat masuk akal jika suatu kali perseorangan atau institusi parpol dapat
menjadi subyek hukum pelaku pencucian uang. Tentu dengan syarat semua unsur
pasal terpenuhi, seperti Pasal 5 yang mengatur tentang pencucian uang pasif
yang dapat menjerat penerima hasil kejahatan. Namun, UU Partai Politik tidak mengatur
bagaimana memastikan parpol tahu atau setidaknya patut menduga sumbangan bukan
dari kejahatan?
Verifikasi
sumbangan
Sebagai
salah satu organ penting dalam demokrasi, parpol tentu saja harus dikelola
secara profesional dan penuh tanggung jawab. Karena itu, parpol sepatutnya
diwajibkan memiliki standar verifikasi sumber sumbangan. Dalam dunia perbankan
dikenal istilah enhanced due diligence
sebagai pendalaman dari konsep costumer
due diligence yang mengidentifikasi dan memverifikasi transaksi dan
profil pelaku transaksi. Bila penyumbang termasuk kategori berisiko tinggi,
misalnya diduga melakukan korupsi, profil tidak wajar, dan pelaku
kejahatan, parpol harus berani menolak sumbangan itu.
Bagaimana
jika partai melanggar? Tentu saja penegak hukum bisa menerapkan UU Pencucian
Uang. Pelanggaran tak hanya terkait verifikasi sumber dana, tapi juga
kemungkinan menyembunyikan penyumbang dengan identitas palsu, sumbangan tidak
diberikan pada rekening resmi tetapi melalui ”bendahara bayangan”, dan kegiatan
politik yang didanai hasil kejahatan lainnya.
Menjelang
Pemilu 2014, jika bangsa ini serius memberantas korupsi, menyembuhkan demokrasi
yang sakit
karena pendanaan politik dari hasil kejahatan, apakah pengaturan
korupsi pemilu dan penerapan UU Anti-pencucian uang adalah mission imposible? Semoga
tidak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar