Pengidealan adalah bagian dari
kekuatan utama, yang membuat kelompok Islam politik terus bertahan.
Kekuatan pengidealan membuat
Islam politik bertahan menghadapi praktik otoritarian dan represif dari
rezim yang berkuasa, seperti jamak terjadi di Timur Tengah sebelum
dilanda Musim Semi Arab. Bahkan, pengidealan membuat sebagian kelompok
Islam politik tak gentar bertempur sampai mati, seperti terlihat pada
kelompok ekstremis di Afganistan.
Pengidealan atau biasa dikenal
dengan istilah as-salaf as-saleh
(generasi terdahulu yang ideal) merupakan konsep yang tertanam kuat dalam
benak kelompok Islam politik. Dikatakan konsep karena, berdasarkan
semangat pengidealan
dalam as-salaf as-saleh,
kelompok Islam politik berkeyakinan akan adanya sebuah generasi yang
ideal dalam menjalankan dan mengamalkan ajaran Islam secara komprehensif,
khususnya dalam ketatanegaraan dan kekuasaan.
Praktik kehidupan yang ideal
tersebut diyakini pernah ada dalam sejarah umat Islam. Yaitu pada
generasi orang-orang saleh terdahulu atau biasa disebut dengan istilah as-salaf as-saleh.
Persis seperti diujarkan oleh
filsuf terkemuka Arab modern, Muhammad Abid Al-Jabiri, persoalan utama
dari semangat pengidealan di atas adalah karena tidak merujuk kepada era
tertentu secara definitif, apalagi personifikasi spesifik. Tidak jelas
entah kapan dan pada era siapa yang dianggap generasi as-salaf as-saleh (Isykaliyatu al-Fikri al-’Arabi
al-Mu’ashir, 2000).
Masih menurut filsuf berdarah
Maroko itu, kelemahan seperti di atas membuat semangat pengidealan bisa
melar dan memanjang. Dia membentang dari generasi awal Islam hingga
generasi sekarang. Yang penting, gambaran generasi as-salaf as-saleh itu
tidak pernah hilang dan ke depan semua memori ditegakkan kembali
sebagaimana dulu diyakini pernah ada.
Berkah Kegagalan
Bangunan semangat pengidealan
dalam benak kelompok Islam politik semakin kokoh akibat gagalnya sistem
politik dan ketatanegaraan yang dianggap tidak Islami. Sorotan khususnya
pada kegagalan terkait kesejahteraan masyarakat, pemerataan ekonomi,
keterbukaan sistem pemerintahan, penegakan hukum yang seadil-adilnya, dan
seterusnya.
Ibarat dua orang berebut satu
kekasih, kelompok Islam politik mendapatkan berkah dari saingan yang
gagal meyakinkan kekasihnya akan masa depan yang lebih baik, sejahtera,
penuh dengan keterbukaan, perdamaian, dan seterusnya.
Kenyataannya, yang ada memang
pembangunan tidak merata, ketidak-adilan sosial yang semakin kasatmata,
penegakan hukum atas semangat kesepahaman, kehidupan yang semakin jauh
dari moralitas, dan seterusnya. Bahkan, kegaduhan demi kegaduhan terus
terjadi secara sosial, politik, dan hukum.
Dalam kondisi seperti ini,
kelompok Islam politik benar-benar mendapatkan berkah. Sang lawan yang
acap membuka borok secara vulgar di depan publik justru meyakinkan
kelompok Islam politik akan kemampuannya dan membantu membuat publik
terpesona. Apalagi pelbagai macam kekuatan dan keistimewaan Islam politik
belum teruji.
Apa yang terjadi di Mesir
pasca-revolusi 25 Januari 2011 bisa menjadi contoh keberadaan kelompok
Islam politik yang mendapatkan berkah dari kegagalan sang lawan, yaitu
rezim Hosni Mubarak yang kerap mengklaim menerapkan prinsip demokrasi.
Selama Mubarak berkuasa, masyarakat Mesir acap tak merasakan buah manis
demokrasi yang dijanjikan Mubarak atau diidealkan kelompok modernis.
Masyarakat Mesir justru acap
berhadapan dengan praktik represif dari rezim Mubarak, hingga akhirnya
terjadi revolusi yang awalnya dimotori kelompok modernis, tetapi akhirnya
justru dimanfaatkan kelompok agamis seperti Ikhwan Muslimin, Salafi, dan
Jamaah Islamiyah.
Terlepas dari fakta bahwa
kelompok Islam politik di Mesir (khususnya Ikhwan Muslimin) jauh lebih
berpengalaman dalam hal perpolitikan dibandingkan dengan kelompok
nasionalis (di luar rezim Mubarak), hasil momentum politik di negeri itu
menguntungkan kelompok Islam politik. Mereka mendapat berkah dari
kegagalan rezim Mubarak yang kerap membawa-bawa demokrasi.
Maka, akhirnya masyarakat Mesir
memberikan dukungan hampir penuh kepada kelompok Islam politik, baik pada
momen pemilihan legislatif pascarevolusi (sebelum hasilnya dianulir oleh
MK setempat), pemilihan presiden, hingga yang terbaru: referendum
pengesahan konstitusi baru. Dalam semua momentum pemilihan di atas,
kelompok Islam politik berhasil mengalahkan telak kelompok nasionalis.
Pengalaman Indonesia
Pengalaman Mesir seperti di atas
berbeda signifikan dengan yang terjadi di Indonesia pada reformasi 1998.
Kekecewaan masyarakat terhadap demokrasinya Orde Baru tidak lantas
membuat mereka berpaling kepada kelompok agama. Apalagi kelompok-kelompok
agama di Indonesia tidak mempunyai kekuatan dan soliditas seperti Ikhwan
Muslimin sebelum revolusi 25 Januari 2011.
Justru masyarakat semakin
memantapkan pilihan terhadap kelompok-kelompok moderat yang sebelumnya
acap dihambat oleh rezim Orba, khususnya kelompok moderat yang berbasis
kepada ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah. Masyarakat lebih
menjatuhkan pilihan kepada kelompok moderat daripada kelompok agamis.
Hadirnya kelompok Islam politik
di tampuk kekuasaan, seperti dialami Ikhwan Muslimin di Mesir, bisa
menjadi awal dari pengikisan semangat pengidealan yang tersemat di dalam
jargon as-salaf as-saleh di atas. Hal ini terjadi karena pengelolaan
kekuasaan membutuhkan semangat kompromi yang sangat besar, bahkan penuh
godaan.
Jika dilihat dari sejarah
panjangnya, Ikhwan Muslimin di Mesir saat ini telah melakukan kompromi
ideologis yang sangat radikal; dari awalnya menolak demokrasi karena
memberikan otoritas kepada rakyat (bukan kepada Allah) hingga akhirnya
saat ini mereka menjadi penguasa Mesir dengan mendapatkan dan menerima
otoritas dari rakyat Mesir melalui pemilu.
Untuk bisa mempertahankan
kekuasaan yang sudah dimiliki sekarang, Ikhwan Muslimin pun membutuhkan
kompromi dengan kekuatan-kekuatan politik yang lain.
Di sisi lain, pengalaman kelompok
Islam politik di Indonesia bisa dikatakan lebih ekstrem dari yang dialami
Ikhwan Muslimin di Mesir. Mereka tak hanya melakukan kompromi ideologis
secara radikal (dari eksklusif jadi lebih terbuka), tetapi sebagian dari
mereka juga tak tahan terhadap godaan di dunia perpolitikan. Hingga
sebagian dari tokoh ataupun aktivis Islam politik di Indonesia terlibat
dalam persoalan hukum, seperti korupsi, bahkan juga berbau perempuan.
Inilah yang penulis sebut
sebagai pengikisan pengidealan Islam politik. Karena semangat pengidealan
yang sedemikian kuat, kelompok Islam politik terus bertahan dan mengincar
kekuasaan. Akan tetapi, justru kekuasaan dengan semua tabiatnya tampak
mengikis semangat pengidealan yang menjadi salah satu kekuatan Islam
politik.
Saat ini, nyaris tak ada bedanya
antara kelompok politik yang berbasis agama, nasionalis, atau sekuler
sekalipun di hadapan harta, takhta, dan wanita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar