Ada dua pendekatan yang dapat
digunakan untuk mengungkap indikasi kartel di sektor perbankan, yakni
tradisional dan efisiensi.
Pendekatan tradisional
menekankan pada aspek struktural dengan paradigma conduct, structural, dan performance
(CSP). Kedua, pendekatan nonstruktural lebih dikenal dengan efficiency hypothesis.
Pendekatan CSP menggunakan concentration ratio sebagai proksi
bagi struktur pasar. Semakin tinggi tingkat konsentrasi akan melahirkan
tindakan kolusif yang akan meningkatkan inefisiensi industri perbankan
(kinerja buruk). Inefisiensi secara sederhana ditunjukkan oleh cost to income ratio yang tinggi,
bahkan tertinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lain khususnya Vietnam
dan Laos.
Efficiency hypothesis menyatakan, suatu bank yang
beroperasi secara efisien akan meningkat skala operasi dan selanjutnya
mendongkrak tingkat konsentrasi (market
share). Bank yang paling efisien akan membukukan laba lebih tinggi
dibandingkan dengan bank lain.
Namun, efficiency hypothesis tidak berlaku dalam kasus Indonesia
karena hampir semua bank beroperasi pada excessive price. Hal itu tercermin dari tingkat bunga super
tinggi dengan net interest margin
(NIM) sebagai selisih bunga kredit dengan bunga tabungan yang mencapai
dua digit, khususnya kredit mikro.
Tidak berlebihan jika
pertumbuhan laba perbankan di Indonesia termasuk excessive profit, 30-35 persen per tahun dalam beberapa tahun
terakhir. Karena itu, sangat beralasan mayoritas dari 10 bank terbesar di
Indonesia telah beralih kepemilikan kepada pihak asing.
Kartel perbankan nasional secara
sederhana ditunjukkan sejumlah indikator, yaitu bunga bank yang sangat
tinggi, NIM mencapai dua digit, market
share kelompok bank tinggi, pertumbuhan laba bersifat excessive, dan perilaku perbankan
yang mengarah kepada herding
behavior. Indikasi kartel juga didukung hasil penelitian yang
menunjukkan struktur pasar perbankan bersifat oligopolistic dan monopolistic
competition.
Fakta perkembangan bunga
pinjaman bank di Indonesia dalam lima tahun terakhir relatif tinggi,
yakni 13-14,50 persen per tahun. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata bunga pinjaman di 10 negara ASEAN. Bank swasta nasional
memberikan bunga pinjaman paling tinggi.
Salah satu alasan bank
menerapkan rezim bunga pinjaman tinggi adalah perbankan Indonesia juga
membayar bunga simpanan yang tinggi. Hal itu sekaligus menjadi indikator,
bank-bank di Indonesia juga beroperasi dengan struktur pasar oligopsoni.
Penabung-penabung besar yang
mendominasi struktur dana pihak ketiga (DPK) di Indonesia memiliki posisi
tawar yang kuat berhadapan dengan bank. Hal tersebut didukung data
Lembaga Penjamin Simpanan, yakni lebih dari dua pertiga penabung di
Indonesia adalah nasabah kecil. Selebihnya adalah nasabah kakap sehingga
bank terjebak pada special rate
yang mendongkrak suku bunga simpanan.
Dana Mahal
Fakta menunjukkan, struktur DPK
perbankan di Indonesia didominasi dana mahal berupa deposito berjangka
waktu pendek, satu bulan. Sementara porsi tabungan yang berbunga rendah
relatif kecil. Hanya BCA yang mempunyai DPK yang didominasi tabungan.
Namun, BCA juga tercatat sebagai bank dengan LDR paling rendah
dibandingkan 10 bank dengan keuntungan terbesar.
NIM sebagai selisih antara bunga
pinjaman dan tabungan juga sangat tinggi di Indonesia dibandingkan enam
negara ASEAN lain. Dalam 10 tahun terakhir, NIM di Indonesia 4,0-6,5
persen. Bandingkan dengan Vietnam dan Thailand yang NIM-nya hanya 2,5-3,5
persen. NIM perbankan Indonesia bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan
Laos (negara paling terbelakang di ASEAN) yang kurang dari 6,5 persen.
Secara umum, perilaku bank-bank
di Indonesia mengarah kepada herding
behavior. Hal itu tercermin dalam penetapan suku bunga bank yang
sepenuhnya bergantung pada perilaku market
leader.
Ketergantungan pada sekelompok
bank yang berperan sebagai market
leader ini mengindikasikan adanya posisi dominan di pasar. Namun,
dalam kondisi seperti ini sangat sulit menunjukkan adanya kartel bank
karena tidak didukung kesepakatan formal tertulis.
Mulyaningsih dan Daly (2011)
menunjukkan, terdapat sekelompok bank yang menguasai pasar yang
dikategorikan sebagai large bank (CR3 atau tiga bank dengan market share
terbesar). Sementara bank dengan kategori medium dan small bank memiliki
struktur dengan tingkat konsentrasi yang lebih rendah. Kondisi persaingan
industri perbankan Indonesia sangat kontras dengan jumlah bank yang
mencapai 128, tetapi hanya terkonsentrasi pada 10 bank terbesar atau
bahkan tiga bank dengan aset paling besar.
Permasalahan ini akibat
kelambatan Bank Indonesia (BI) menerapkan Arsitektur Perbankan Indonesia
yang diperkenalkan tahun 2004. BI dan pemerintah tidak dapat mendorong
bank-bank kecil untuk merger agar memiliki struktur permodalan kuat untuk
berkompetisi dengan Bank Mandiri, BRI, dan BCA yang asetnya paling besar.
Strategi merger menjadi pilihan
paling rasional dibandingkan dengan menjual bank-bank kecil karena hanya
akan memindahkan kepemilikan bank dari lokal ke asing.
Terakhir, upaya bersama
memperbaiki struktur industri perbankan di Indonesia sangat urgen karena
lebih 70 persen pembiayaan usaha masih sangat bergantung pada bank.
Sebagai urat nadi perekonomian nasional, perbankan nasional harus siap
memasuki ASEAN Economic Community
yang akan diberlakukan pada tahun 2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar