Menjelang masa jabatan anggota
DPR 2009-2014 berakhir, upaya peningkatan kinerja anggota DPR tak jua
diperlihatkan kepada publik.
Mayoritas anggota DPR justru
semakin memperlihatkan tabiat buruk. Bolos dalam aktivitas keparlemenan
hingga aktivitas yang tak berkontribusi meningkatkan kinerja kian
menegasikan bahwa DPR tak lagi dipandang sebagai tempat atau sarana
memperjuangkan kepentingan publik. Menjadi anggota DPR hanyalah sebuah
jabatan prestise dengan label terhormat , tetapi minim prinsip moralitas,
etiket, bahkan jadi seorang kriminal: koruptor.
Degradasi kinerja ini patut jadi
bahan evaluasi, terutama bagi partai politik sebagai satu-satunya wadah
politik untuk bisa menjadi anggota DPR. Rendahnya kinerja DPR harus
dipandang sebagai cermin bahwa partai politik gagal menempatkan
orangorang terbaiknya mengurus kepentingan publik melalui DPR.
Memperkuat pengawasan
Di dalam tubuh DPR sendiri,
instrumen pengawasan nyaris tak berkontribusi meningkatkan disiplin
anggota DPR. Penundaan rapat-rapat penting di DPR akibat ketidakhadiran
anggotanya sangat jelas menunjukkan penurunan kesadaran anggota DPR
sebagai wakil rakyat.
Pengawasan yang dibangun justru
meleluasakan anggota DPR mengingkari tugas. Padahal, pengingkaran ini
akan jadi cermin politik menjelang Pemilu 2014, momentum yang seharusnya
digunakan meningkatkan kinerja sebagai wujud akuntabilitas politik kepada
publik, demos.
Politik hanya dipandang sebagai
arena merebut kekuasaan. Pada akhirnya kekuasaan akan dijalankan dengan
mempersempit ruang-ruang pengawasan publik. Padahal, instrumen pengawasan
publik terhadap kekuasaan di level mana pun dijamin oleh hukum dasar
sebagai wujud kedaulatan rakyat.
Dalam implementasi, pembuat
hukum termasuk DPR mencoba ”merekayasa ” instrumen pengawasan yang
termaktub dalam undang-undang. Alhasil, pengawasan yang dirancang adalah
pengawasan yang hanya melibatkan sesama anggota DPR yang dikumpulkan
dalam satu alat kelengkapan bernama Badan
Kehormatan (BK). Diibaratkan, pengawasan ini sama saja seperti iblis
mengawasi setan karena anggota BK juga anggota DPR yang berasal dari
partai politik.
Lemahnya pengawasan ini membuat
sebagian besar anggota DPR tidak terlalu mengacuhkan tugas pokoknya
sebagai representasi publik. Di pihak lain, publik juga telah terkurung
di luar sistem pengawasan. Publik hanya bisa melapor tanpa mampu
mengontrol dan memastikan laporan itu ditindaklanjuti atau tidak.
Belajar dari sistem pengawasan
di lembaga lain, KPK dan MK, misalnya, kehadiran representasi pihak luar
dalam komposisi pembentukan Komite Etik KPK atau
Majelis Kehormatan Hakim mengisyaratkan bahwa mekanisme pengawasan
semacam ini dimungkinkan untuk dibangun di lembaga DPR. Komposisi ini
tentu saja harus mempertimbangkan aspek kenetralan dalam mengambil
putusan.
Pelancong
Pemilu adalah instrumen
pengawasan periodik. Kesalahan memilih wakil rakyat hanya akan bisa
dikoreksi pada pemilu berikutnya. Publik tak memiliki posisi memakzulkan
seorang anggota DPR dalam masa jabatannya jika dipandang tak lagi
mewakili kepentingannya.
Posisi itu hanya dimiliki partai
politik ketika anggota DPR melanggar aturan dalam undang-undang. Padahal,
sistem pemilihan langsung mengharuskan publik mengontrol langsung.
Pada sisi partai politik, publik
tidak ditempatkan sebagai pemangku kepentingan yang berkepentingan
langsung terhadap wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Tak ada mekanisme
yang dibangun oleh partai untuk menerima dan menindaklanjuti laporan
masyarakat terkait anggota DPR yang dipandang tak menjalankan tugasnya
sebagai wakil publik.
Partai politik seakan menjelma
menjadi lembaga privat, tidak terkontrol, tetapi mencitrakan diri sebagai
wakil publik. Akses publik terhadap partai politik juga sangat dibatasi,
misalnya terkait akses terhadap laporan keuangan partai politik dan akses
dalam memengaruhi kebijakan partai. Padahal, partai politik adalah
institusi publik yang seharusnya terbuka dalam menjalankan kebijakannya
sebab kebijakan partai politik akan sangat menentukan kebijakan anggota
DPR di lembaga legislatif.
Hampir seluruh putusan penting
di DPR melalui mekanisme yang melibatkan partai politik lewat
fraksi-fraksi di DPR. Bisa dibayangkan, apabila partai politik tidak bisa
dikontrol oleh publik, secara langsung kontrol publik atas wakilnya di
lembaga legislatif akan hilang.
Ke depan, sistem ini harus
diperkuat dan dilembagakan melalui ketentuan yang mengikat. Era
ketertutupan partai politik yang menghasilkan para ”pelancong dari
Senayan” harus segera diakhiri sehingga keterwakilan politik tak lagi
dipandang hanya sebagai ajang memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar