Sabtu, 13 April 2013

UN dan Integritas Sekolah


UN dan Integritas Sekolah
Rindu Rumapea  ;  Guru Matematika SMP Athalia Serpong, Tangerang,
Aktif dalam Diskusi Pedagogik Transformatif       
SUARA KARYA, 13 April 2013


Tidak lama lagi, Ujian Nasional (UN) akan di gelar serempak di seluruh penjuru Tanah Air. UN tingkat SD/MI akan dilaksanakan tanggal 6-8 Mei 2013, SMP/MTs/SMPLB (22-25 April 2013), SMA/MA (15-18 April 2013), dan SMK/SMALB (15-17 April 2013). Ada beberapa hal yang berbeda untuk UN tahun ini dibandingkan UN tahun sebelumnya.

Bila tahun lalu, bobot soal kategori mudah sebanyak 10%, sedang (80%), dan sulit (10%), tahun ini bobot soal sulit ditambah lagi 10%. Dengan demikian, komposisi bobot soal mudah pada UN 2013 sebanyak 10%, sedang (70%) dan sulit (20%).

Selain itu, ada juga penambahan variasi soalnya. Jika UN sebelumnya terdiri atas 5 paket soal maka UN tahun ini terdiri dari 20 paket soal. Perubahan-perubahan tersebut, menurut pemerintah, sebagai cara untuk meningkatkan kualitas UN. Namun, dari pandangan siswa, bisa saja dianggap sebagai upaya untuk mempersulit siswa lulus UN.

Tetapi, bagaimanapun UN merupakan momen yang sangat penting bagi seluruh komponen pendidikan, baik bagi siswa, sekolah, dinas pendidikan, pemerintah, maupun orangtua siswa. Tak heran, jika seluruh komponen pendidikan berjibaku untuk melaksanakannya. Jika kita lihat sepintas, UN akan menggambarkan secara umum bagaimana kualitas akal (kognitif) siswa dari nilai-nilai kelulusan siswa. Banyaknya siswa yang tidak lulus menjadi momok yang sangat menakutkan bagi seluruh komponen pendidikan. Sebaliknya, kelulusan sempurna menjadi kebanggaan atau malah dianggap merupakan pencapaian sempurna dalam dunia pendidikan.

Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan bangsa. Cerdas berarti berkemampuan secara akal dan budi. Jika siswa mendapat nilai tinggi ketika UN, artinya cerdas secara akal. Pertanyaannya, apakah siswa tersebut cerdas secara budi (tabiat, akhlak dan watak)?

Jika UN dilakukan dengan budi yang baik berarti pendidikan kita sedang mengarah kepada tujuan yang kita idam-idamkan. Namun, jika tidak, maka kemungkinan besar secara akal juga belum baik, berarti pendidikan sedang berjalan menjauh dari tujuan pendidikan nasional. Pendidikan malah akan menghasilkan generasi yang rusak secara akal maupun akhlak. Imbasnya, persoalan bangsa akan semakin kompleks dan sistemik.

Sebenarnya UN juga bisa menjadi tolak ukur untuk melihat kecerdasan siswa secara budi (akhlak). Ketika seorang siswa giat belajar, melatih diri untuk taat mengerjakan soal-soal, mengikuti try out, serta mempersiapkan mental dengan baik hingga tumbuh rasa percaya diri dan tidak curang saat mengikuti UN, maka siswa tersebut sudah mengalami perkembangan menuju cerdas secara budi. Dengan demikian, tak jadi persoalan apabila UN dilaksanakan.

Masalahnya, kualitas siswa beserta komponen pendidikan lainnya hingga kini belum sampai kepada tahap berani tidak lulus demi kejujuran. Alhasil, polemik UN sebagai standar kelulusan siswa tak pernah selesai. Memang, selalu saja ada pihak yang melihat UN baik untuk dilaksanakan dan ada juga yang menilai UN akan merusak moral siswa.

UN seharusnya tidak sekadar mengukur kecerdasan secara akal, namun juga secara budi. Ini karena akal dan budi adalah kesatuan yang utuh menuju manusia cerdas sehingga kelak tidak perlu repot-repot memperbaiki moral bangsa. Dhus, kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN pun dapat dienyahkan.

Dalam UN, integritas sekolah dipertaruhkan. Kelulusan siswa dijadikan satu-satunya instrumen untuk mengukur kualitas sekolah. Akibatnya, sekolah yang tingkat kelulusannya tinggi (sempurna) menjadi pilihan masyarakat, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, kita tidak bisa menutup mata bahwa konsekuensi seperti itu mengakibatkan sekolah 'gelap mata' sehingga nekad mengusahakan kelulusan siswanya dengan melakukan kecurangan. Padahal, sekolah juga merupakan tempat pendidikan budi pekerti siswa.

Seharusnya sekolah tidak perlu mempertaruhkan integritasnya ketika UN dilaksanakan sebab sekolah yang menjunjung tinggi kejujuran tentu tidak lagi mempersoalkan apakah perlu dilakukan kecurangan agar tingkat kelulusannya tinggi. Sekolah cukup melakukan segala usaha untuk mempersiapkan siswanya dalam menghadapi UN secara jujur.

Oleh karena itu, integritas sekolah tidak ditentukan oleh UN yang dilaksanakan hanya sesaat sehingga tingkat kelulusan siswa tidak berada di atas integritas sekolah. Kita saksikan saja bagaimana sekolah-sekolah yang telah kita kenal memiliki integritas tinggi pasti akan mempersiapkan siswanya dengan serius. Sekolah-sekolah tersebut memiliki rencana yang jelas untuk mempersiapkan siswanya bukan dengan persiapan yang bersifat dadakan, apalagi persiapan mencari bocoran soal dari segala sumber.

Bagaimanapun pentingnya UN bagi sekolah, sangat diperlukan kesiapan sekolah untuk meningkatkan kemampuan siswanya dalam menghadapi UN. Sangat disayangkan jika hanya karena UN, ada banyak sekolah yang nekad melakukan kecurangan untuk memperjuangkan siswanya agar lulus.

Perlu kita sadari bahwa UN bukan sebatas cerita beberapa hari dan kesenangan beberapa saat, tapi yakinlah bahwa siswa-siswi yang pernah mengikuti UN akan selalu bercerita bagaimana UN dilaksanakan di sekolahnya dulu. Jika beberapa saat menjelang atau setelah UN tidak terdengar tentang keburukan sekolah dalam melaksanakan UN, namun tahun-tahun berikutnya akan ada banyak cerita bahwa sebenarnya ada banyak sekolah yang tidak berintegritas dalam melaksanakan UN. Alhasil, di mata siswa sekolah tersebut tetap saja sebagai sekolah yang tidak berintegritas sampai kapan pun.

Akankah sekolah akan menerima tantangan untuk berintegritas dalam melaksanakan UN? Semoga kita menyadari betapa pentingnya integritas hari ini untuk perbaikan akhlak/moral di waktu yang akan datang. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar