Sabtu, 13 April 2013

Perlindungan Petani Belum Optimal


Perlindungan Petani Belum Optimal
Toto Subandriyo  ;  Anggota Badan Pertimbangan Organisasi HKTI Kabupaten Tegal     
SUARA MERDEKA, 13 April 2013

  
Harian ini, dalam beberapa hari terakhir, gencar memberitakan keterbongkaran kasus pengoplosan pupuk bersubsidi menjadi nonsubsidi di Kabupaten Tegal. Personel Satreskrim Polres Tegal menggerebek gudang di Ralan Raya Dampyak Kecamatan Kramat dan menyita 482 karung berisi pupuk, bahan kimia, serta dua unit molen. Saifulloh (34), warga Tembongkramat Kecamatan Jatibarang Brebes, diduga sebagai pemiliknya (SM, 5/4/13)

Secara kasat mata kue pembangunan yang diberikan pemerintah berupa anggaran subsidi sarana produksi guna meringankan beban petani selalu diselewengkan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Komisi IV DPR mencatat tidak kurang dari 400 kasus penyelewengan pupuk bersubsidi.
Pada Juni 2012, petugas Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menggagalkan penyelundupan 20 kontainer pupuk bersubsidi ke Malaysia. Pada September tahun yang sama kembali digagalkan upaya penyelundupan 4 kontainer pupuk urea bersubsidi ukuran 20 kaki ke Malaysia di Pelabuhan Tanjung Priok.

Ternyata upaya membunuh petani di negeri ini masih terus berlangsung. Lewat artikel  beberapa tahun lalu, budayawan Jakob Sumardjo menulis bangsa ini telah ”membunuh” para petani sejak industri agrikultur tahun 1830.  Sumber hidup bangsa yang telah berabad-abad itu dimatikan oleh kaum penjajah pada abad ke-19, lalu dilanjutkan bangsa sendiri setelah kemerdekaan.

Selain dengan ”merampok” kue pembangunan yang ditujukan kepada petani, upaya membunuh itu juga dilakukan dengan cara membanjiri negeri ini dengan produk pangan impor. Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Desa Tuwel Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal belum lama ini, sengaja dimanfaatkan oleh petani sayuran untuk menumpahkan keluh-kesah tentang impor sayuran yang tak terkendali.

Peningkatan impor dan penyelundupan bawang putih mengubur kisah sukses petani Tuwel. Tidak ada lagi hamparan ratusan, bahkan ribuan hektare tanaman bawang putih di kanan kiri jalan menuju objek wisata air panas Guci seperti era 1980-an. Tak ada lagi komunitas arisan haji, simbol kemakmuran warga desa yang dulu selalu memberangkatkan minimal dua pasang anggota untuk berhaji. Saat ini tinggal bangunan masjid megah hasil swadaya petani yang menjadi saksi bisu kisah sukses petani bawang putih Tuwel.

Efek Jera

Dalam beberapa hal, upaya perlindungan terhadap petani sekarang ini masih belum optimal. Kita berharap kasus penyimpangan pupuk bersubsidi itu segera diproses agar ada efek jera bagi pelaku, termasuk tak ada pihak yang meniru. Menjadi kepentingan kita bersama agar RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang saat ini dibahas DPR, cepat disahkan. Draf rancangan regulasi itu sudah lebih dari setahun berada di tangan parlemen.

Pasal 1 Butir (2) rancangan regulasi itu menyebutkan bahwa perlindungan petani adalah segala upaya untuk membantu petani menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, ketersediaan lahan, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim.

Petani juga harus dilindungi dari praktik usaha tidak sehat seperti kartel. Kartelis selalu memainkan jurus busuk untuk memainkan harga pangan. Akibatnya, struktur pasar timpang, distortif, monopolistik, dan oligopolistik. Sering terjadi kelangkaan kebutuhan pokok yang membuat harga bergejolak tanpa penyebab jelas. Mekanisme pasar lumpuh, hukum penawaran dan permintaan tak berjalan dengan baik.

Saatnya lembaga otoritas pangan yang kuat, profesional, dan independen sebagai amanat UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, segera diwujudkan. Melalui penguatan jaringan dengan pelaku usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, jurus kartelis dapat dilumpuhkan. Melalui mekanisme pasar yang bebas distorsi, sehat, dan adil, harga pangan terjangkau daya beli warga, dan kesejahteraan petani meningkat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar