Tahlil
Politik PKS
Abu Rokhmad ;
Pengamat Politik Islam, Dosen
Pascasarjana
IAIN Walisongo
Semarang
|
|
SUARA
MERDEKA, 13 April 2013
Gebrakan politik PKS menjelang Pilgub Jateng 2013 dan Pemilu
2014 menarik dikaji. Sejak skandal korupsi menimpa mantan pimpinan
puncak, PKS kini di bawah kendali anak muda yang progresif dan tidak tabu
untuk melawan kebekuan.
Presiden
PKS ikut tahlilan ketika ziarah di makam Sunan Kalijaga. Selain itu, Anis
Matta bertemu sejumlah kiai di Semarang dan Salatiga. Bagi publik yang
memahami kultur keagamaan PKS, tindakan Anis sejatinya melanggar doktrin
”akidah” partai, yang seharusnya tidak boleh (haram) dikerjakan.
Langkah
politik itu tentu sudah dipikirkan secara matang. Apabila tetap setia
dengan kultur akidah tersebut dan terus menyerang ritual komunitas Islam
dengan cap bid'ah dan syirik maka PKS tidak mungkin tumbuh lebih besar.
Serangan PKS tentang ritual tahlilan nahdliyin misalnya, hanya membuat
elektabilitas partai ini stagnan.
Sebaliknya,
dengan ikut ziarah dan entah membaca tahlil atau tidak, Anis sudah pasti
mendapat poin positif pada mata warga NU. Minimal nahdliyin punya
pandangan baru bahwa PKS ternyata tidak antitahlil. Sekalipun tahlil yang
dilakukan Anis adalah tahlil politik.
Dalam
sejarah, kader PKS atau yang sehaluan pernah menyerang ritual
ziarah kubur, tahlilan, yasinan, dan manakiban sebagai perilaku bid'ah
yang menyesatkan. Seruan ini sistematis dan organisatoris.
Figur
kiai juga mereka anggap tidak lebih dari penganjur amalan bid'ah, berbau
klenik, dan jauh dari sosok suci. Karena itu, sebagai partai Islam ia
tidak memiliki kiai. PKS memilih sebutan ustaz untuk tokoh anutan mereka
karena mungkin tampak lebih Islami atau Arab.
Jadi,
nahdliyin adalah ”musuh utama” PKS secara akidah. Mengapa? Karena
nahdliyin mengamalkan ritual bid'ah dan mengagungkan figur kiai. Mazhab
keagamaan PKS Wahabi-Salafi. Mentor utama adalah Sayyid Qutb dan Hasan
al-Banna. Ikhwanul Muslim menjadi eksemplar ideal gerakan politiknya.
Akidah partai itu tidak menoleransi tahlilan dan sejenisnya.
Sebaliknya,
nahdliyin memandang curiga PKS. Bagi nahdliyin, PKS tidak sekadar partai
tetapi makhluk jelmaan dari padang pasir yang kurang mengenal
unggah-ungguh dengan kebudayaan dan merasa paling Islam. Karena itu,
hubungan antara nahdliyin dan PKS saling menafikan, sekalipun sebagian
besar kader PKS adalah nahdliyin.
Basis
massa PKS adalah muslim kota (sekalipun sekarang pemilih partai itu dari
desa mulai banyak), berpendidikan tinggi, pegawai kantoran, dan berkultur
Islam modernis. Pemilih nasionalis dan abangan tak bakal melirik PKS
karena takut terhadap cita-cita politiknya. Satu-satunya harapan PKS
untuk menambah tabungan suara adalah pemilih kampung yang nahdliyin.
Namun bila PKS sudah puas pada level partai medioker, konstituen
nahdliyin bisa saja dilupakan.
Sekat Mazhab
PKS
tidak mungkin bertambah besar kalau masih menggunakan pendekatan ofensif
soal keyakinan agama masyarakat. Alih-alih dipilih pada pemilu nanti,
mendengar nama PKS disebut saja banyak yang alergi. Bagi muslim santri
pedesaan, cara politik PKS menarik pemilih sangat menyakitkan. Karena
itu, partai itu cocok dengan rasa keagamaan muslim kota yang rasional,
instan, dan kering dari spiritualitas.
Sektarianisme
itu ditunjukkan dengan persetujuannya menegakkan syariat Islam, berempati
kepada kelompok Islam garis keras, dan menyerang ritual Islam yang
berbeda mazhab. Dengan cara demikian, PKS melawan logika berpolitik. Tiap
partai harus menjadikan konstituen sebagai raja. Yang tidak ada pun,
harus diadakan guna menyenangkan konstituen. Kalau perlu, partai memenuhi
seluruh keinginan konstituen.
Namun
hal ini tidak terjadi di PKS. Kader-kader PKS acap bersuara keras di atas
mimbar sehingga membuat konstitutenmenjauh. Inilah logika politik dakwah
yang sulit diterima akal.
Jika
ingin menjadi partai tiga besar, PKS tidak mungkin lagi mengandalkan
basis massa muslim perkotaan. Partai ini harus menembus sekat-sekat
mazhab dan menghilangkan masalah khilafiyah di kalangan konstituen.
Apabila
hal ini bisa dilaksanakan maka konstituen dari semua kalangan dapat
berteduh nyaman di dalamnya. Lebih-lebih kader PKS diakui sangat fasih
berbahasa agama dan orang kampung sangat respek kepada tokoh jenis ini.
Langkah
Anis Matta berziarah dan bertemu dengan kiai kampung merupakan pilihan
cerdas untuk membesarkan partai. Dengan bahasa agama yang fasih, PKS
sangat mudah meraih simpati nahdliyin. Lebih-lebih bila kader PKS
mau menfasilitasi dan mengikuti ritual-ritual yang biasa dilakukan oleh
nahdliyin, seperti yasinan, tahlilan, dan manakiban maka PKS dengan
sendirinya akan menjadi ”nahdliyin”.
Lebih
mudah PKS menjadi nahdliyyin daripada mem-PKS-kan nahdliyin. Sebab bagi
nahdliyin, tahlilan dan yasinan itu harga mati. Pilihan terakhir sangat
berat bagi PKS karena bisa selamanya dimusuhi oleh nahdliyin. Dilema
antara akidah dan suara mesti diselesaikan dalam internal partai. ● |
|
|
Waduh, saya juga sebenarnya ingin nyolong artikel ini untuk blog saya. Malah keduluan Bapak :D
BalasHapusApa kabar nih, Pak? :)
Kabar baik, walaupun sudah mulai bosan kerja spt 'robot'
Hapusmelayani para pengunjung blog. Saya haus re-'kreasi'.
Aa Haq, saya tidak nyolong artikel tsb. Saya cuma curi copy-nya. Kalau gak percaya, artikel tsb masih ada di situs Suara Merdeka (http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/04/13/221626/Tahlil-Politik-PKS).
Salam untuk teman-teman kita.