Selasa, 09 April 2013

Memasyarakatkan Kesehatan Reproduksi Remaja


Memasyarakatkan Kesehatan Reproduksi Remaja
Singgih B Setiawan ;  Reporter Senior II Harian Umum Suara Karya
SUARA KARYA, 08 April 2013
  

Masa remaja adalah fase penting yang harus dilewati setiap manusia. Namun harus diakui, menjadi remaja berarti menjalani proses berat yang membutuhkan banyak penyesuaian dan menimbulkan kecemasan dan adakalanya galau. Lonjakan pertumbuhan badani dan pematangan organ reproduksi adalah salah satu masalah besar yang dihadapi mereka. Perasaan seksual yang menguat tak bisa tidak dialami oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda satu dengan yang lain. Begitu juga kemampuan untuk mengendalikannya.

Ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan fisik-psikis-sosial akibat pubertas. Masyarakat justru berupaya keras menyembunyikan segala hal tentang seks, meninggalkan remaja dengan berjuta tanda tanya di kepala mereka. Badan Kependudukan PBB - United Nations for Population Fund (UNFPA) pada State of World Population 2011, mencatat, saat penduduk dunia diperkirakan mencapai tujuh miliar jiwa tahun lalu, hampir separuhnya remaja usia 10-24 tahun. Sebanyak 1,2 miliar penduduk dunia atau hampir 1 dari lima orang di dunia berumur 10 -19 tahun.

Di Indonesia sendiri, hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa 1 dari setiap 4 orang penduduk Indonesia adalah kaum muda 10 - 24 tahun. Mereka generasi penerus bangsa dan akan menjadi orangtua bagi generasi berikutnya.

Pandangan bahwa seks adalah tabu, yang telah sekian lama tertanam, membuat remaja enggan berdiskusi tentang kesehatan reproduksi dengan orang lain. Yang lebih memprihatinkan, mereka justru merasa paling tak nyaman bila harus membahas seksualitas dengan anggota keluarganya sendiri!

Tak tersedianya informasi yang akurat dan "benar" tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja bergerilya mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus komunikasi dan informasi mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang. Majalah, buku, dan film pornografi yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab dan risiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama mereka. "Pelajaran" seks juga mereka lalap dari internet. Hasilnya, remaja yang pada generasi lalu masih malu-malu kini sudah mulai melakukan hubungan seks di usia dini, 13-15 tahun!

Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) dengan responden remaja antara 15-24 tahun menunjukkan, 1 persen remaja perempuan dan 6 persen remaja laki-laki menyatakan pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Data hasil penelitian Kementerian Kesehatan RI di 4 kota besar (Medan, Jakarta Pusat, Bandung dan Surabaya) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa 35,9 persen remaja mempunyai teman pernah berhubungan seks pranikah dan 6,9 persen responden telah melakukan hubungan seks pranikah. Sementara itu, penelitian Australian National University (ANU) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia di Jakarta, Tangerang dan Bekasi (Jatabek) tahun 2010 dengan jumlah sampel 3.006 responden (usia <17-24 20="" 38="" dan="" diinginkan.="" itu="" karena="" kehamilan="" kelahiran="" mengalami="" mengindikasikan="" menikah.="" menikah="" pada="" persen="" proporsi="" relatif="" remaja="" sebanyak="" sebelum="" sedangkan="" selain="" setelah="" span="" style="background: #FCF8F5;" tahun="" terdapat="" tidak="" tinggi="" yang="">

Nilai-nilai patriarkhis yang berurat akar di masyarakat telah meletakkan remaja putri jauh di luar jarak pandang kita dalam kesehatan reproduksi. Bahkan, mitos pun memojokkan remaja putri, untuk membujuk-paksa mereka supaya bersedia berhubungan seks secara "suka-sama-suka", bahwa hubungan seks yang hanya sekali takkan menyebabkan kehamilan.

Berbagai metode kontrasepsi "fiktif" juga beredar luas di kalangan remaja: basuh vagina dengan minuman berkarbonasi, lari-lari di tempat atau squat-jump segera setelah berhubungan seks.
Ketika pencegahan gagal dan berujung pada kehamilan, lagi-lagi remaja putri yang harus bertanggung jawab. Memilih untuk menjalani kehamilan dini seperti dilakukan 9,5 persen remaja di bawah 20 tahun, dengan risiko kemungkinan kematian ibu pada saat melahirkan 28 persen lebih tinggi dibanding yang berusia 20 tahun ke atas, disertai kegamangan karena tak siap menghadapi peran baru sebagai ibu. Atau, menjalani pilihan lain yang tersedia, aborsi, sebagian besar dilakukan secara sembunyi tanpa peduli standar medis. Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi memang masih rendah sebagaimana ditunjukkan oleh hasil SKRRI tahun 2007. Sebanyak 13 persen remaja perempuan tidak tahu tentang perubahan fisiknya dan hampir separuhnya (47,9 persen) tidak mengetahui kapan masa subur seorang perempuan.

Kelalaian untuk menanggapi kebutuhan remaja (dan sejujurnya, masyarakat luas) akan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seks yang bertanggung jawab ternyata berbuah pahit. Begitu populernya perilaku berisiko, begitu banyak korban berjatuhan, begitu tinggi biaya sosial yang harus kita bayar.

Menyedihkan, kekukuhan kita untuk terus mengingkari kenyataan bahwa remaja butuh pengetahuan tentang seks dan kesehatan reproduksi yang benar, telah menjerumuskan mereka membentuk keluarga tak berkualitas. Padahal, memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi tidak serta-merta memberikan pula kesempatan untuk melakukan seks bebas. Pengalaman menunjukkan, di banyak negara yang telah memberlakukan pendidikan kesehatan reproduksi remaja, yang terjadi kemudian bukanlah promiskuitas atau seks bebas di kalangan remaja seperti yang selalu dikhawatirkan. Tetapi, sebaliknya pendidikan kesehatan reproduksi justru membuat remaja menunda keaktifan seksualnya.

Memang, untuk mengejar ketertinggalan dari masalah yang terus berlipatganda bagai deret ukur, dibutuhkan lebih dari sekadar pencanangan pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Itu, agar mereka turut bertanggung jawab atas kepentingan mereka sendiri. ●

1 komentar:

  1. Salam GAY HOMO & biseks INDONESIA

    *
    banyak saya temui beragam karakteristik para kenalan yg masuk.
    Yg mana dominan dari mereka sangat mendambakan profil yg sempurna.
    Yaa itu mungkin hak masing" dlm pilihan.
    Tapi anda tidak perlu berbangga hati... Apa yg sempurna bnr2 suka anda? Atau cm suka dompet anda saja?
    Tapi mgkn aja itu tidak masalah bagi anda, krg lbh anda siap membeli cinta.
    Tapi tidak sedikit jg GAY yg sangat berharap perhatian yg tulus.
    Bukan kah kalo sama" suka itu lbh alamiah. Take & give pasti dapat!
    Saya tidak pernah setuju tuh dg pola GAY yg cuma mau just fun / free. Disitu mereka membudayakan kebiasaan hyper. Yg ujungnya, mereka tidak akan pernah puas kencan cukup 1org saja.
    *
    anda" yg dewasa usianya... Dewasa pikirannya....
    Menikah bkn masalah...
    Asal anda serius ketemu & solusi terbaik dlm menjalin hubungan...
    Saya ingin realistis & simple.
    Saya lbh percaya bukti daripada banyak ngobrol.
    Curhat itu hanya komunikasi sesaat.
    Kalo cocok silahkan ; 085664600785

    BalasHapus