Memasyarakatkan
Kesehatan Reproduksi Remaja
Singgih B Setiawan ; Reporter Senior II Harian Umum Suara Karya
|
|
SUARA
KARYA, 08 April 2013
Masa remaja adalah fase
penting yang harus dilewati setiap manusia. Namun harus diakui, menjadi
remaja berarti menjalani proses berat yang membutuhkan banyak penyesuaian
dan menimbulkan kecemasan dan adakalanya galau. Lonjakan pertumbuhan
badani dan pematangan organ reproduksi adalah salah satu masalah besar
yang dihadapi mereka. Perasaan seksual yang menguat tak bisa tidak dialami
oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda satu dengan yang lain.
Begitu juga kemampuan untuk mengendalikannya.
Ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri
yang mengalami perubahan fisik-psikis-sosial akibat pubertas. Masyarakat
justru berupaya keras menyembunyikan segala hal tentang seks,
meninggalkan remaja dengan berjuta tanda tanya di kepala mereka. Badan
Kependudukan PBB - United Nations
for Population Fund (UNFPA) pada State
of World Population 2011, mencatat, saat penduduk dunia diperkirakan
mencapai tujuh miliar jiwa tahun lalu, hampir separuhnya remaja usia
10-24 tahun. Sebanyak 1,2 miliar penduduk dunia atau hampir 1 dari lima
orang di dunia berumur 10 -19 tahun.
Di Indonesia sendiri, hasil Sensus Penduduk 2010
menunjukkan bahwa 1 dari setiap 4 orang penduduk Indonesia adalah kaum
muda 10 - 24 tahun. Mereka generasi penerus bangsa dan akan menjadi
orangtua bagi generasi berikutnya.
Pandangan bahwa seks adalah tabu, yang telah sekian
lama tertanam, membuat remaja enggan berdiskusi tentang kesehatan
reproduksi dengan orang lain. Yang lebih memprihatinkan, mereka justru
merasa paling tak nyaman bila harus membahas seksualitas dengan anggota
keluarganya sendiri!
Tak tersedianya informasi yang akurat dan
"benar" tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja bergerilya
mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus komunikasi dan
informasi mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang. Majalah,
buku, dan film pornografi yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa
mengajarkan tanggung jawab dan risiko yang harus dihadapi, menjadi acuan
utama mereka. "Pelajaran" seks juga mereka lalap dari internet.
Hasilnya, remaja yang pada generasi lalu masih malu-malu kini sudah mulai
melakukan hubungan seks di usia dini, 13-15 tahun!
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI)
dengan responden remaja antara 15-24 tahun menunjukkan, 1 persen remaja
perempuan dan 6 persen remaja laki-laki menyatakan pernah melakukan
hubungan seksual pranikah. Data hasil penelitian Kementerian Kesehatan RI
di 4 kota besar (Medan, Jakarta Pusat, Bandung dan Surabaya) pada tahun
2009 menunjukkan bahwa 35,9 persen remaja mempunyai teman pernah
berhubungan seks pranikah dan 6,9 persen responden telah melakukan
hubungan seks pranikah. Sementara itu, penelitian Australian National
University (ANU) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia di
Jakarta, Tangerang dan Bekasi (Jatabek) tahun 2010 dengan jumlah sampel
3.006 responden (usia <17-24 20="" 38="" dan="" diinginkan.="" itu="" karena="" kehamilan="" kelahiran="" mengalami="" mengindikasikan="" menikah.="" menikah="" pada="" persen="" proporsi="" relatif="" remaja="" sebanyak="" sebelum="" sedangkan="" selain="" setelah="" span="" style="background: #FCF8F5;" tahun="" terdapat="" tidak="" tinggi="" yang="">17-24>
|
|
|
Nilai-nilai patriarkhis yang berurat akar di
masyarakat telah meletakkan remaja putri jauh di luar jarak pandang kita
dalam kesehatan reproduksi. Bahkan, mitos pun memojokkan remaja putri,
untuk membujuk-paksa mereka supaya bersedia berhubungan seks secara
"suka-sama-suka", bahwa hubungan seks yang hanya sekali takkan
menyebabkan kehamilan.
Berbagai metode kontrasepsi "fiktif" juga
beredar luas di kalangan remaja: basuh vagina dengan minuman
berkarbonasi, lari-lari di tempat atau squat-jump segera setelah
berhubungan seks.
Ketika pencegahan gagal dan berujung pada kehamilan,
lagi-lagi remaja putri yang harus bertanggung jawab. Memilih untuk
menjalani kehamilan dini seperti dilakukan 9,5 persen remaja di bawah 20
tahun, dengan risiko kemungkinan kematian ibu pada saat melahirkan 28
persen lebih tinggi dibanding yang berusia 20 tahun ke atas, disertai
kegamangan karena tak siap menghadapi peran baru sebagai ibu. Atau,
menjalani pilihan lain yang tersedia, aborsi, sebagian besar dilakukan
secara sembunyi tanpa peduli standar medis. Pengetahuan remaja tentang
kesehatan reproduksi memang masih rendah sebagaimana ditunjukkan oleh
hasil SKRRI tahun 2007. Sebanyak 13 persen remaja perempuan tidak tahu
tentang perubahan fisiknya dan hampir separuhnya (47,9 persen) tidak
mengetahui kapan masa subur seorang perempuan.
Kelalaian untuk menanggapi kebutuhan remaja (dan
sejujurnya, masyarakat luas) akan informasi tentang kesehatan reproduksi
dan seks yang bertanggung jawab ternyata berbuah pahit. Begitu populernya
perilaku berisiko, begitu banyak korban berjatuhan, begitu tinggi biaya
sosial yang harus kita bayar.
Menyedihkan, kekukuhan kita untuk terus mengingkari kenyataan
bahwa remaja butuh pengetahuan tentang seks dan kesehatan reproduksi yang
benar, telah menjerumuskan mereka membentuk keluarga tak berkualitas.
Padahal, memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi tidak
serta-merta memberikan pula kesempatan untuk melakukan seks bebas.
Pengalaman menunjukkan, di banyak negara yang telah memberlakukan
pendidikan kesehatan reproduksi remaja, yang terjadi kemudian bukanlah
promiskuitas atau seks bebas di kalangan remaja seperti yang selalu
dikhawatirkan. Tetapi, sebaliknya pendidikan kesehatan reproduksi justru
membuat remaja menunda keaktifan seksualnya.
Memang, untuk mengejar ketertinggalan dari masalah
yang terus berlipatganda bagai deret ukur, dibutuhkan lebih dari sekadar
pencanangan pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Itu, agar
mereka turut bertanggung jawab atas kepentingan mereka sendiri. ●
Salam GAY HOMO & biseks INDONESIA
BalasHapus*
banyak saya temui beragam karakteristik para kenalan yg masuk.
Yg mana dominan dari mereka sangat mendambakan profil yg sempurna.
Yaa itu mungkin hak masing" dlm pilihan.
Tapi anda tidak perlu berbangga hati... Apa yg sempurna bnr2 suka anda? Atau cm suka dompet anda saja?
Tapi mgkn aja itu tidak masalah bagi anda, krg lbh anda siap membeli cinta.
Tapi tidak sedikit jg GAY yg sangat berharap perhatian yg tulus.
Bukan kah kalo sama" suka itu lbh alamiah. Take & give pasti dapat!
Saya tidak pernah setuju tuh dg pola GAY yg cuma mau just fun / free. Disitu mereka membudayakan kebiasaan hyper. Yg ujungnya, mereka tidak akan pernah puas kencan cukup 1org saja.
*
anda" yg dewasa usianya... Dewasa pikirannya....
Menikah bkn masalah...
Asal anda serius ketemu & solusi terbaik dlm menjalin hubungan...
Saya ingin realistis & simple.
Saya lbh percaya bukti daripada banyak ngobrol.
Curhat itu hanya komunikasi sesaat.
Kalo cocok silahkan ; 085664600785