Kamis, 4 April 2013, pasangan Joko Widodo (Jokowi)
dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sudah memasuki 200 hari memimpin DKI
Jakarta sebagai gubernur dan wakil gubernur. Sejak sumpah jabatan
diucapkan, bertenggerlah amanat mahaberat di pundak mereka.
Beragam cara dilakukan untuk memenuhi janji kampanye
mereka. Sebagai nakhoda kapal induk, Jokowi, utamanya, sudah 154 hari
blusukan di belantara Ibu Kota. Pengalaman melayani warga Solo, Jawa
Tengah, sebagai wali kota mempermudah Jokowi mempendek jarak protokoler
dengan rakyat. Kini, warga Ibu Kota harap-harap cemas: bisa tidak ya, Jokowi-Ahok?
Jakarta pernah memiliki gubernur tipikal pendobrak,
seperti Ali Sadikin. Sebagai orang yang dibesarkan dalam tradisi marinir,
Ali Sadikin memimpin Jakarta dengan segala ketegasan dan kharismanya.
Untuk kebaikan Jakarta, Ali bahkan pernah harus
melawan tabu, termasuk “melegalkan” judi untuk kepentingan sosial,
misalnya. Atau figur seperti Sutiyoso yang kerap bersikap “biar anjing
menggonggong kafilah berlalu”. Di eranya, Sutiyoso berani menantang siapa
saja demi kebaikan Jakarta. Salah satu proyek mercusuarnya adalah
TransJakarta.
Bahkan, Jakarta pernah dipimpin seorang teknokrat
seperti Fauzi Bowo (Foke). Pengalamannya yang panjang di birokrasi serta
pendekatan kepemimpinannya yang teknokratik membuat Foke lebih berwarna
dari para pendahulunya. Tetapi Jakarta adalah Jakarta dengan segala
kekhasannya. Berbagai masalah belum bisa diurai tuntas dengan tipe
kepemimpinan yang berbeda-beda itu.
Reparasi Mental
Kini Jakarta membutuhkan seorang pemimpin yang
memiliki keahlian di bidang bongkar pasang dan reparasi mental, terutama
mental para birokrat sebagai mesin yang menggerakkan roda pemerintahan.
Para birokrat sejatinya adalah kumpulan para pelayan.
Tentu saja pelayan dengan kualifikasi tertentu. Mereka bekerja sesuai
bidang tugas, keahlian, dan kemampuan yang dipersyaratkan alias
tupoksi—tugas pokok dan fungsi.
Karena itu, mereka bukan sembarang pelayan.
Keberadaan mereka dilindungi oleh konstitusi, dan konstitusi memberikan
jaminan kehidupan yang layak bagi mereka. Kalau tidak ada jaminan, tidak
akan ada calon pegawai negeri sipil (PNS) yang begitu besar animonya
untuk bisa menjadi pelayan masyarakat. Lihatlah setiap kali dibuka bursa
kerja, ratusan ribu lamaran kerja dikirim.
Sudah 154 hari Jokowi-Ahok menjadi bos besar bagi
ratusan ribu pelayan yang mengabdikan waktu-waktunya untuk tuan mereka:
warga Jakarta. Pelayan yang baik adalah yang paham benar kebutuhan
tuannya. Pelayan yang baik biasa menyiapkan beragam masukan sebelum
tuannya menjatuhkan pilihan.
Di balik kisah sukses seseorang, selalu ditemukan
sesosok pelayan di belakangnya. Sebagai pelayan, sudah barang pasti
seseorang pantang petantang-petenteng apalagi bersikap jumawa. Pakaian
kebesaran hanyalah milik tuannya, dan dia sudah cukup bangga menjadi
bayangan di balik sepak terjang tuannya.
Pelayan adalah sosok yang sederhana. Tetapi sifat dan
sikap kepelayanan tidak monopoli milik kasta tertentu dalam masyarakat.
Sifat kepelayanan melekat pada siapa saja yang mengabdikan hidupnya untuk
kebaikan semua.
Karena tak terbatas kepedulian-Nya kepada alam
semesta, Tuhan menahbiskan diri sebagai Yang Maha Pelayan. Dalam konteks
inilah, para pemimpin yang melayani umat, sejatinya merupakan
pengejawantahan sifat kepelayanan Tuhan di alam semesta. Kepada Jokowi-Ahok,
tetaplah bersikap sederhana sebagai sepasang pelayan kemanusiaan.
Sejarah kemanusiaan begitu kaya akan khazanah para
pelayan yang sukses sehingga derajatnya mengungguli raja-raja. Tidak
kurang, manusia-manusia agung dalam lintasan sejarah adalah mereka yang
sukses menerjemahkan konsep kepelayanan dalam kehidupan umat manusia.
Beberapa manusia suci seperti nabi dan santo adalah
para pelayan yang dikaruniai totalitas luar biasa dalam mengabdi kepada
kehidupan dan melayani secara tanpa tendensi bagi seluruh anak manusia.
Bahkan, glamor kehidupan tak akan mampu merusak kesederhanaan para
pelayan sejati.
Meski memanggul tugas profetik, mereka tetap berada
dalam gambaran yang sederhana. Alangkah biasa dan rendah hatinya para
pelayan yang merupakan pemimpin agung itu. Sikap dan gaya hidup sederhana
sebagaimana “hamba biasa” itu agaknya memang sudah dipilihkan Tuhan bagi
para pelayan rakyat.
Ini karena jika para pelayan hidup mewah dengan
busana keagungan, sudah barang pasti tidak akan ada bedanya antara pelayan
dengan sang majikan. Karena itulah, jabatan jangan pernah mengubah sikap
dan gaya hidup sederhana Jokowi-Ahok dalam menyelesaikan problema
Jakarta.
Tetaplah menjadi orang biasa, meski tentu saja,
karena berbagai faktor seperti prosedur protokoler, tidaklah mudah bagi
para pelayan untuk bisa bersikap biasa. Terlebih, tidak sedikit di antara
kita yang hanya karena jabatan tertentu sudah merasa berbeda dalam segala
hal dengan orang lain.
Apalagi, memang tidak mudah untuk bisa bersikap biasa
dalam sebuah kekuasaan yang membuai. Apalagi bagi mereka yang berambisi
menjadi luar biasa atau mereka yang suka kurang sabar dengan
ketidakbiasaan. Situasi bertambah rumit karena lingkungan justru
mempersulit penguasa untuk bersikap biasa.
Psikologi semipermisif warga Jakarta dalam beberapa
bulan ini jangan dirasakan sebagai nasib baik yang akan membuat
Jokowi-Ahok menjadi manusia-manusia istimewa.
Ulama kharismatis dari Rembang, Jawa Tengah, KH
Mustofa Bisri, menyebutkan, keistimewaan orang istimewa terutama terletak
pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya
itu. Keistimewaan wakil Tuhan terutama terletak pada kekuatannya untuk
tidak terlena oleh busana kekuasaannya, dan tetap mampu menjaga sikap
untuk selalu menjadi hamba bagi Tuhan.
Jokowi-Ahok berpasangan bukan di tengah situasi yang
bertabur bunga. Mereka dipasangkan dalam belantara Ibu Kota yang penuh
kompleksitas kehidupan. Sekali tersesat, mereka akan sulit menemukan
jalan keluar.
Sebagai belantara, Jakarta menyimpan semak belukar yang
tak berujung, gambut yang menjebak serta lahan kering menantang dan lahan
basah yang menjanjikan. Jakarta bukan kapal pesiar yang hanya diisi oleh
kalangan jetset tertentu dari kalangan masyarakat. Jakarta bukan kapal
pesiar yang sepanjang siang dan malam hanya bertabur gemerlap bintang
kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar