Selasa, 09 April 2013

Pelayan Kita : Jokowi-Ahok


Pelayan Kita : Jokowi-Ahok
Jannus TH Siahaan ;  Analis Sosial Kemasyarakatan,
Tinggal di pinggiran Bogor - Jawa Barat
SINAR HARAPAN, 08 April 2013
  

Kamis, 4 April 2013, pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sudah memasuki 200 hari memimpin DKI Jakarta sebagai gubernur dan wakil gubernur. Sejak sumpah jabatan diucapkan, bertenggerlah amanat mahaberat di pundak mereka.

Beragam cara dilakukan untuk memenuhi janji kampanye mereka. Sebagai nakhoda kapal induk, Jokowi, utamanya, sudah 154 hari blusukan di belantara Ibu Kota. Pengalaman melayani warga Solo, Jawa Tengah, sebagai wali kota mempermudah Jokowi mempendek jarak protokoler dengan rakyat. Kini, warga Ibu Kota harap-harap cemas: bisa tidak ya, Jokowi-Ahok?

Jakarta pernah memiliki gubernur tipikal pendobrak, seperti Ali Sadikin. Sebagai orang yang dibesarkan dalam tradisi marinir, Ali Sadikin memimpin Jakarta dengan segala ketegasan dan kharismanya.

Untuk kebaikan Jakarta, Ali bahkan pernah harus melawan tabu, termasuk “melegalkan” judi untuk kepentingan sosial, misalnya. Atau figur seperti Sutiyoso yang kerap bersikap “biar anjing menggonggong kafilah berlalu”. Di eranya, Sutiyoso berani menantang siapa saja demi kebaikan Jakarta. Salah satu proyek mercusuarnya adalah TransJakarta.

Bahkan, Jakarta pernah dipimpin seorang teknokrat seperti Fauzi Bowo (Foke). Pengalamannya yang panjang di birokrasi serta pendekatan kepemimpinannya yang teknokratik membuat Foke lebih berwarna dari para pendahulunya. Tetapi Jakarta adalah Jakarta dengan segala kekhasannya. Berbagai masalah belum bisa diurai tuntas dengan tipe kepemimpinan yang berbeda-beda itu.

Reparasi Mental

Kini Jakarta membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki keahlian di bidang bongkar pasang dan reparasi mental, terutama mental para birokrat sebagai mesin yang menggerakkan roda pemerintahan.
Para birokrat sejatinya adalah kumpulan para pelayan. Tentu saja pelayan dengan kualifikasi tertentu. Mereka bekerja sesuai bidang tugas, keahlian, dan kemampuan yang dipersyaratkan alias tupoksi—tugas pokok dan fungsi.

Karena itu, mereka bukan sembarang pelayan. Keberadaan mereka dilindungi oleh konstitusi, dan konstitusi memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi mereka. Kalau tidak ada jaminan, tidak akan ada calon pegawai negeri sipil (PNS) yang begitu besar animonya untuk bisa menjadi pelayan masyarakat. Lihatlah setiap kali dibuka bursa kerja, ratusan ribu lamaran kerja dikirim.

Sudah 154 hari Jokowi-Ahok menjadi bos besar bagi ratusan ribu pelayan yang mengabdikan waktu-waktunya untuk tuan mereka: warga Jakarta. Pelayan yang baik adalah yang paham benar kebutuhan tuannya. Pelayan yang baik biasa menyiapkan beragam masukan sebelum tuannya menjatuhkan pilihan.

Di balik kisah sukses seseorang, selalu ditemukan sesosok pelayan di belakangnya. Sebagai pelayan, sudah barang pasti seseorang pantang petantang-petenteng apalagi bersikap jumawa. Pakaian kebesaran hanyalah milik tuannya, dan dia sudah cukup bangga menjadi bayangan di balik sepak terjang tuannya.

Pelayan adalah sosok yang sederhana. Tetapi sifat dan sikap kepelayanan tidak monopoli milik kasta tertentu dalam masyarakat. Sifat kepelayanan melekat pada siapa saja yang mengabdikan hidupnya untuk kebaikan semua.

Karena tak terbatas kepedulian-Nya kepada alam semesta, Tuhan menahbiskan diri sebagai Yang Maha Pelayan. Dalam konteks inilah, para pemimpin yang melayani umat, sejatinya merupakan pengejawantahan sifat kepelayanan Tuhan di alam semesta. Kepada Jokowi-Ahok, tetaplah bersikap sederhana sebagai sepasang pelayan kemanusiaan.

Sejarah kemanusiaan begitu kaya akan khazanah para pelayan yang sukses sehingga derajatnya mengungguli raja-raja. Tidak kurang, manusia-manusia agung dalam lintasan sejarah adalah mereka yang sukses menerjemahkan konsep kepelayanan dalam kehidupan umat manusia.

Beberapa manusia suci seperti nabi dan santo adalah para pelayan yang dikaruniai totalitas luar biasa dalam mengabdi kepada kehidupan dan melayani secara tanpa tendensi bagi seluruh anak manusia. Bahkan, glamor kehidupan tak akan mampu merusak kesederhanaan para pelayan sejati.

Meski memanggul tugas profetik, mereka tetap berada dalam gambaran yang sederhana. Alangkah biasa dan rendah hatinya para pelayan yang merupakan pemimpin agung itu. Sikap dan gaya hidup sederhana sebagaimana “hamba biasa” itu agaknya memang sudah dipilihkan Tuhan bagi para pelayan rakyat.

Ini karena jika para pelayan hidup mewah dengan busana keagungan, sudah barang pasti tidak akan ada bedanya antara pelayan dengan sang majikan. Karena itulah, jabatan jangan pernah mengubah sikap dan gaya hidup sederhana Jokowi-Ahok dalam menyelesaikan problema Jakarta.

Tetaplah menjadi orang biasa, meski tentu saja, karena berbagai faktor seperti prosedur protokoler, tidaklah mudah bagi para pelayan untuk bisa bersikap biasa. Terlebih, tidak sedikit di antara kita yang hanya karena jabatan tertentu sudah merasa berbeda dalam segala hal dengan orang lain.

Apalagi, memang tidak mudah untuk bisa bersikap biasa dalam sebuah kekuasaan yang membuai. Apalagi bagi mereka yang berambisi menjadi luar biasa atau mereka yang suka kurang sabar dengan ketidakbiasaan. Situasi bertambah rumit karena lingkungan justru mempersulit penguasa untuk bersikap biasa.

Psikologi semipermisif warga Jakarta dalam beberapa bulan ini jangan dirasakan sebagai nasib baik yang akan membuat Jokowi-Ahok menjadi manusia-manusia istimewa.

Ulama kharismatis dari Rembang, Jawa Tengah, KH Mustofa Bisri, menyebutkan, keistimewaan orang istimewa terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya itu. Keistimewaan wakil Tuhan terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena oleh busana kekuasaannya, dan tetap mampu menjaga sikap untuk selalu menjadi hamba bagi Tuhan.

Jokowi-Ahok berpasangan bukan di tengah situasi yang bertabur bunga. Mereka dipasangkan dalam belantara Ibu Kota yang penuh kompleksitas kehidupan. Sekali tersesat, mereka akan sulit menemukan jalan keluar.

Sebagai belantara, Jakarta menyimpan semak belukar yang tak berujung, gambut yang menjebak serta lahan kering menantang dan lahan basah yang menjanjikan. Jakarta bukan kapal pesiar yang hanya diisi oleh kalangan jetset tertentu dari kalangan masyarakat. Jakarta bukan kapal pesiar yang sepanjang siang dan malam hanya bertabur gemerlap bintang kehidupan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar