Selasa, 09 April 2013

The Power of Learning Experience


The Power of Learning Experience
Ahmad Baedowi ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 08 April 2013

  
IBU Tati, begitu saya menyapanya, memasuki masa pensiun setelah kurang lebih 40 tahun mengajar. Sebagai salah satu dari murid yang hampir dilupakannya, saya beruntung masih diberi kesempatan bertemu dengan sosok yang dulu memberikan saya pengalaman belajar (learning experience) luar biasa. Cara bertemu itu juga sangat tidak biasa karena dilakukan melalui serangkaian peristiwa yang menyertai pengalaman mengajar istri saya sebagai guru di sekolah dasar.

Suatu hari sekitar enam tahun lalu, sepulang dari sekolah, istri saya bercerita tentang sosok kepala sekolah barunya. Dengan ciri-ciri yang diceritakannya, baik fisik maupun sifat, sepertinya saya mengenal sosok yang diceritakan istri saya tersebut. Benar saja, ternyata Ibu Tati orangnya, seorang guru yang ketika saya di sekolah dasar pada 70-an merupakan sosok yang dicintai seluruh siswa karena selalu memuji dan memberi perhatian lebih terhadap aspek emosional murid-muridnya.

Karena itu, tak mengherankan, ketika bertemu kembali dengannya, sambil memeluk dan menangis, Ibu Tati langsung berujar pendek, “Bay, Ibu minta maaf, ya.“ Saya tentu saja bingung, setelah berpuluh tahun tak bertemu, mengapa ia harus meminta maaf kepada saya. Dengan penuh takzim saya mendengarkan alasannya karena dulu ia kurang memberi perhatian kepada saya bahkan lebih sering mencemberuti saya.

Tentu saya tak merasa menang dengan posisi psikologis itu. Saya justru takjub dengan ingatan Ibu Tati yang tetap memberikan perhatiannya pada aspek emosional anak-anak didiknya. Jelas sekali prototipe guru seperti Ibu Tati terasa langka di tengah ingar-bingar pendidikan kita yang senang dengan aspek formalitas. Formalitas berbentuk evaluasi semacam ujian nasional jelas telah meminggirkan makna hakiki proses pendidikan yang seharusnya mengedepankan aspek persamaan (equity) dan keterbukaan (inclusion).

Guru dengan kesadaran pengalaman belajar seperti Ibu Tati, yang menghargai aspek kemanusiaan setiap siswa, layaknya barang langka yang sulit sekali ditemukan di tengah jerami proses pendidikan yang lebih mementingkan aspek praktis dan teknis (practical-technical). Sistem pendidikan kita seperti berkarat dengan perkara practical technical sehingga energi kita lebih banyak tersedot oleh logika formal pendidikan, mulai isu soal pembiayaan pendidikan, kurikulum, hingga model evaluasi.

Padahal, jika fokus diberikan pada pengembangan aspek kemampuan `membaca' guru terhadap aspek equity dan inclusion dalam proses belajar-mengajar, baik kemampuan afektif guru maupun siswa akan terus berkembang seirama dengan perkembangan zaman dan waktu. Persoalannya ialah sejauh mana para pemangku kepentingan bidang pendidikan kita memiliki kesadaran dan komitmen yang kuat dalam mengagendakan pemahaman guru, orangtua, dan siswa terhadap aspek kemanusiaan dalam pendidikan.

Menanamkan kesadaran tentang pentingnya pengalaman belajar yang berguna adalah imperatif. Dalam setiap interaksi dengan beragam guru dan beragam latar belakang, saya bahkan selalu ber tanya tentang makna pengalaman belajar. Isu itu menjadi penting untuk didiskusikan dalam setiap sesi peer-break ketika guru selesai mengajar. Dalam banyak hal, interpretasi guru tentang pengalaman belajar bahkan boleh jadi kurang tepat karena mereka terbiasa menggunakan caracara mengajar yang konvensional dan kaku.

Jika kita membaca apa yang pernah ditulis R Tyler dalam Basic Principles of Curriculum and Instruction (1926), terminologi pengalaman belajar jelas berbeda dengan substansi atau materi ajar yang ingin disajikan seorang guru, bahkan tak berkaitan sama sekali dengan cara mengajar guru di depan kelas.

Kekuatan pengalaman belajar, menurut Tyler, terletak atau merujuk ke `the interaction between the learner and the external conditions of the environment to which he can react. Learning takes place through the active behavior of the student; it is what he does that he learns, not what the teacher does'.

Jelas sekali cara guru memperkenalkan external conditions sangat amat bergantung pada pemahamannya akan esensi pendidikan dalam jangka panjang. Selain itu, akan sangat bergantung kepada kreativitas guru dalam memberikan pesan-pesan kemanusiaan yang sesuai dengan konteks kehidupan siswa. Karena itu, tinimbang berpanjang kata dan pikir dalam memperdebatkan esensi perubahan kurikulum yang telah direncanakan pemerintah, ada baiknya energi difokuskan untuk mengembangkan tools bagi para guru agar lebih kreatif dalam mendesain proses belajar-mengajar.

Saya setuju jika rencana kurikulum 2013 ditunda terlebih dahulu. Akan tetapi, jika memang syahwat politik tak bisa dibendung dan pemerintah tetap akan memberlakukan kurikulum 2013, jalan tengahnya ialah bagaimana membangun kembali komitmen penyelamatan pendidikan Indonesia secara konstruktif dan bermartabat. Salah satu kuncinya ialah memberikan sebanyak mungkin kesempatan kepada para guru dan orangtua untuk terlibat dalam seluruh atau sebagian proses pendidikan anak-anak di sekolah.

Van Manen (1977) memberikan deskripsi menarik tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi sebuah perubahan kurikulum. Kata dia, “It is assumed that every educational choice is based on a value commitment to some interpretive framework by those who involved in the curriculum process.“ Karena itu, kebutuhan tentang pentingnya para guru dan orangtua memahami inti pendidikan melalui pendekatan equity dan inclusion harus terus dilakukan. Dengan begitu, apa pun bentuk perubahan yang akan terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia, tak akan menggeser makna utama pendidikan itu sendiri; menjadikan manusia lebih manusiawi, bermoral, dan menghargai perbedaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar