IBU Tati, begitu saya menyapanya,
memasuki masa pensiun setelah kurang lebih 40 tahun mengajar. Sebagai
salah satu dari murid yang hampir dilupakannya, saya beruntung masih
diberi kesempatan bertemu dengan sosok yang dulu memberikan saya
pengalaman belajar (learning
experience) luar biasa. Cara bertemu itu juga sangat tidak biasa karena
dilakukan melalui serangkaian peristiwa yang menyertai pengalaman
mengajar istri saya sebagai guru di sekolah dasar.
Suatu hari sekitar enam tahun lalu, sepulang dari
sekolah, istri saya bercerita tentang sosok kepala sekolah barunya. Dengan
ciri-ciri yang diceritakannya, baik fisik maupun sifat, sepertinya saya
mengenal sosok yang diceritakan istri saya tersebut. Benar saja, ternyata
Ibu Tati orangnya, seorang guru yang ketika saya di sekolah dasar pada
70-an merupakan sosok yang dicintai seluruh siswa karena selalu memuji
dan memberi perhatian lebih terhadap aspek emosional murid-muridnya.
Karena itu, tak mengherankan, ketika bertemu kembali
dengannya, sambil memeluk dan menangis, Ibu Tati langsung berujar pendek,
“Bay, Ibu minta maaf, ya.“ Saya
tentu saja bingung, setelah berpuluh tahun tak bertemu, mengapa ia harus
meminta maaf kepada saya. Dengan penuh takzim saya mendengarkan alasannya
karena dulu ia kurang memberi perhatian kepada saya bahkan lebih sering
mencemberuti saya.
Tentu saya tak merasa menang dengan posisi psikologis
itu. Saya justru takjub dengan ingatan Ibu Tati yang tetap memberikan
perhatiannya pada aspek emosional anak-anak didiknya. Jelas sekali
prototipe guru seperti Ibu Tati terasa langka di tengah ingar-bingar
pendidikan kita yang senang dengan aspek formalitas. Formalitas berbentuk
evaluasi semacam ujian nasional jelas telah meminggirkan makna hakiki
proses pendidikan yang seharusnya mengedepankan aspek persamaan (equity) dan keterbukaan (inclusion).
Guru dengan kesadaran pengalaman belajar seperti Ibu
Tati, yang menghargai aspek kemanusiaan setiap siswa, layaknya barang
langka yang sulit sekali ditemukan di tengah jerami proses pendidikan
yang lebih mementingkan aspek praktis dan teknis (practical-technical). Sistem pendidikan kita seperti berkarat
dengan perkara practical technical
sehingga energi kita lebih banyak tersedot oleh logika formal pendidikan,
mulai isu soal pembiayaan pendidikan, kurikulum, hingga model evaluasi.
Padahal, jika fokus diberikan pada pengembangan aspek
kemampuan `membaca' guru terhadap aspek equity dan inclusion
dalam proses belajar-mengajar, baik kemampuan afektif guru maupun siswa
akan terus berkembang seirama dengan perkembangan zaman dan waktu.
Persoalannya ialah sejauh mana para pemangku kepentingan bidang
pendidikan kita memiliki kesadaran dan komitmen yang kuat dalam
mengagendakan pemahaman guru, orangtua, dan siswa terhadap aspek
kemanusiaan dalam pendidikan.
Menanamkan kesadaran tentang pentingnya pengalaman
belajar yang berguna adalah imperatif. Dalam setiap interaksi dengan
beragam guru dan beragam latar belakang, saya bahkan selalu ber tanya
tentang makna pengalaman belajar. Isu itu menjadi penting untuk
didiskusikan dalam setiap sesi peer-break ketika guru selesai mengajar. Dalam
banyak hal, interpretasi guru tentang pengalaman belajar bahkan boleh
jadi kurang tepat karena mereka terbiasa menggunakan caracara mengajar
yang konvensional dan kaku.
Jika kita membaca apa yang pernah ditulis R Tyler
dalam Basic Principles of
Curriculum and Instruction (1926), terminologi pengalaman belajar
jelas berbeda dengan substansi atau materi ajar yang ingin disajikan
seorang guru, bahkan tak berkaitan sama sekali dengan cara mengajar guru
di depan kelas.
Kekuatan pengalaman belajar, menurut Tyler, terletak
atau merujuk ke `the interaction
between the learner and the external conditions of the environment to
which he can react. Learning takes place through the active behavior of
the student; it is what he does that he learns, not what the teacher
does'.
Jelas sekali cara guru memperkenalkan external
conditions sangat amat bergantung pada pemahamannya akan esensi
pendidikan dalam jangka panjang. Selain itu, akan sangat bergantung
kepada kreativitas guru dalam memberikan pesan-pesan kemanusiaan yang
sesuai dengan konteks kehidupan siswa. Karena itu, tinimbang berpanjang
kata dan pikir dalam memperdebatkan esensi perubahan kurikulum yang telah
direncanakan pemerintah, ada baiknya energi difokuskan untuk
mengembangkan tools bagi para
guru agar lebih kreatif dalam mendesain proses belajar-mengajar.
Saya setuju jika rencana kurikulum 2013 ditunda
terlebih dahulu. Akan tetapi, jika memang syahwat politik tak bisa
dibendung dan pemerintah tetap akan memberlakukan kurikulum 2013, jalan
tengahnya ialah bagaimana membangun kembali komitmen penyelamatan
pendidikan Indonesia secara konstruktif dan bermartabat. Salah satu
kuncinya ialah memberikan sebanyak mungkin kesempatan kepada para guru
dan orangtua untuk terlibat dalam seluruh atau sebagian proses pendidikan
anak-anak di sekolah.
Van Manen (1977) memberikan deskripsi menarik tentang
bagaimana seharusnya kita menyikapi sebuah perubahan kurikulum. Kata dia,
“It is assumed that every
educational choice is based on a value commitment to some interpretive
framework by those who involved in the curriculum process.“ Karena
itu, kebutuhan tentang pentingnya para guru dan orangtua memahami inti
pendidikan melalui pendekatan equity
dan inclusion harus terus
dilakukan. Dengan begitu, apa pun bentuk perubahan yang akan terjadi
dalam sistem pendidikan di Indonesia, tak akan menggeser makna utama
pendidikan itu sendiri; menjadikan manusia lebih manusiawi, bermoral, dan
menghargai perbedaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar