Laporan Human Rights Watch atas perlindungan kaum minoritas di
Indonesia yang dipublikasikan pada 28 Februari 2013 disebut juru bicara
Presiden sebagai laporan LSM bayaran. Padahal, HRW adalah salah satu LSM
internasional berkredibilitas kuat.
Ini cukup mengherankan karena
sejak tahun 2000-an secara umum hubungan kalangan bisnis, pemerintah, dan
organisasi masyarakat sipil (nama lain dari LSM) mulai membaik. Dahulu,
hubungan bersifat konfrontatif, sekarang menjadi dialog setara dan
membangun. Salah satu contoh yang baik adalah program mitigasi iklim dan
REDD+ yang melibatkan banyak aktivis LSM dan akademisi di bawah
koordinasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP4).
Contoh lain yang fenomenal
adalah berubahnya pola hubungan salah satu industri terbesar di
Indonesia, Asia Pulp & Paper (APP), dengan Greenpeace. Permusuhan
tiga tahun berakhir menjadi kemitraan pada awal Februari 2013.
Sebelumnya, siapa yang berani
membayangkan hal ini akan terjadi? Ini karena yang terpatri dalam pikiran
kita adalah LSM itu selalu berseteru dengan industri dan pemerintah,
padahal dalam sejarah gerakan masyarakat sipil di Indonesia, LSM juga
sering bersekutu bersama pemerintah ataupun swasta.
Adi Culla (2009) yang meneliti
gerakan masyarakat sipil era Orde Baru dengan studi kasus YLBHI (bantuan
hukum), Walhi (lingkungan hidup), dan YLKI (hak konsumen) menemukan bahwa
aktivis LSM memahami gerakan masyarakat sipil dengan konsep Barat. Hal
itu berarti organisasi non-pemerintah di luar domain negara, pasar, dan
bisnis (economic society). LSM
adalah entitas sosial tersendiri, berciri kemandirian, keswadayaan (self-supporting), dan
keswasembadaan (self-generating).
Dengan demikian, pola hubungannya dengan negara (serta bisnis) lebih
dikotomis dan seteru.
Kenyataan Berbeda
Meski demikian, pemahaman
ternyata berbeda dengan kenyataan. Pada riset tersebut, diketahui tiga
LSM terkemuka di atas pendiriannya melibatkan inisiatif dan akomodasi
aktor-aktor negara. Walhi, misalnya, pendiriannya difasilitasi antara
lain oleh Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, Gubernur DKI Jakarta
Tjokropranolo, dan bahkan pengurus pertamanya diterima langsung oleh
Presiden Soeharto.
Pendirian LBH Jakarta
difasilitasi antara lain oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Kemudian,
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo melalui APBD mendirikan gedung LBH. Saat
ini, Kementerian Hukum dan HAM sedang memverifikasi LBH di Indonesia yang
bisa mendapatkan dana bantuan hukum dari APBN berdasarkan UU No 16 Tahun
2011 tentang Bantuan Hukum.
Karena itu, Adi Culla
mendefinisikan masyarakat sipil agak berbeda dengan pemikiran Barat: (1)
Organisasi/kelompok yang dibentuk masyarakat ataupun bersama negara,
serta (2) Wadah masyarakat yang terbentuk dan berkembang karena
interaksinya dengan domain negara. Negara dapat berperan positif dalam
pembentukan masyarakat sipil.
Bagaimana dengan APP dan
Greenpeace? Selama tiga tahun, Greenpeace menuduh APP merusak lingkungan
dan berkampanye agar internasional memboikot rantai suplai produk APP,
yaitu kertas, mulai dari pembeli perusahaan, retailer, bank yang
membiayai, investor pasar modal, dan konsumen rumah tangga.
Permusuhan ini berlangsung
sampai 2012. Pada awal Februari 2013, APP menandatangani ”Kebijakan Konservasi Hutan” yang
baru, dibantu Forest Trust Fund,
suatu lembaga donor konservasi kehutanan yang juga menjadi donor
Greenpeace.
Greenpeace Jerman juga pernah
bekerja sama dengan sebuah perusahaan dalam memasarkan zat refrigeran
ramah lingkungan ”GreenFreeze” untuk
industri pendingin. Di sisi lain, mereka tetap berdemonstrasi di depan
perusahaan-perusahaan besar yang dianggap ikut merusak lapisan ozon
dengan memarkir truk besar berbaliho raksasa.
Kasus lain kerja sama dunia
bisnis dengan LSM adalah Roundtable
on Sustainable Palm Oil (RSPO), suatu organisasi multipihak
internasional dan sertifikasi minyak sawit lestari. Organisasi ini
didirikan petani dan perkebunan sawit (dari Indonesia dan Malaysia),
pabrik, perusahaan pengolahan (termasuk produsen makanan), bank, dan LSM
(Oxfam, Conservation International,
WWF, dan Zoological Society of
London). RSPO mempunyai prinsip dan kriteria komprehensif yang
meliputi aspek hukum, lingkungan, sosial, dan bisnis yang disusun
bersama.
Standar Baru
Sertifikasi RSPO menjadi standar
baru industri kelapa sawit yang diakui baik oleh bisnis maupun LSM.
Perusahaan yang ingin diakui proses produksi dan produknya ramah
lingkungan harus mematuhi prinsip dan kriteria RSPO dan diaudit auditor
independen. Bila lolos uji, industri mendapatkan sertifikat dan harga
premium.
Karena itu, agak mengherankan
melihat draf RUU Organisasi Masyarakat yang berparadigma mengontrol dan
mengebiri kebebasan berorganisasi masyarakat, ditambah pernyataan juru
bicara Istana yang tidak membuka dialog dan kolaborasi dengan LSM.
Padahal, dunia bisnis dan sebagian elemen negara sudah memulai. Sebutlah
sertifikasi ramah lingkungan RSPO, dialog kebijakan dan satgas khusus
REDD+ di UKP4, sejumlah panitia seleksi komisi negara, dan sejumlah
program CSR perusahaan yang bekerja sama dengan Pemprov Jakarta mengatasi
hal banjir, relokasi masyarakat miskin, dan mengurai kemacetan.
Cukup sudah perseteruan antara
LSM, negara, dan bisnis. Kita mengharapkan persekutuan untuk kebaikan
kita bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar