Selasa, 09 April 2013

Korsa Tentara ketika Negara Tiada


Korsa Tentara ketika Negara Tiada
Kusnanto Anggoro ;  Pengajar Masalah-Masalah Keamanan Nasional,
Strategi Pertahanan, dan Kemiliteran
MEDIA INDONESIA, 08 April 2013


“Keharusan untuk menyelesaikan persoalan Cebongan secepat mungkin jauh lebih penting dari upaya untuk mewujudkan keadilan yang sempurna (perfect justice)”

Penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan (23/3) akan menjadi pertanda hitam dalam sejarah tentara. Beberapa prajurit Kopassus memuntahkan peluru menembus tubuh empat preman yang sedang di balik jeruji besi. Turun dari Gunung Lawu, sejumlah anggota Kopassus itu menyatakan bela pati mereka kepada Sersan Satu Heru Santosa yang beberapa hari sebelumnya tewas bersimbah darah di Hugo's Cafe.

Proses hukum berlanjut. Menjadi tanda tanya bagaimana episode penegakan hukum dan keadilan pada akhirnya bisa memulihkan kepercayaan publik kepada TNI. Perbuatan seseorang, termasuk anggota tentara tidak terlepas dari situasi tempat anggota tentara itu berada. Seberapa besar kebenaran akan terungkap dari sebuah proses hukum tidak mungkin melepaskan diri dari keterbatasan politik hukum.

Maling Aguna, Street Justice, dan Jiwa Korsa

Maling aguna adalah pencuri yang kemudian membagi-bagikan curiannya kepada kaum papa. Mereka juga hanya mencuri dari para pengisap darah rakyat. Cerita-cerita Barat mengenal orang seperti Robin Hood, yang memimpin perlawanan terhadap penguasa Notthingham. Cerita Jawa mengenal Ramaparasu (pewayangan), Maling Gentir dan Brandal Lokajaya (Jawa), Si Pitung (Betawi), dan masih banyak lagi sebagai tokoh yang menempuh jalan di luar hukum untuk menyebarkan kesejahteraan dan keadilan dengan caranya sendiri.

Ramaparasu sedang menggugat para dewa yang dianggapnya keliru karena telah melindungi para kesatria yang mabuk kepayang dengan kekuasaan duniawi. Gentiri dan Pitung melawan cengkeraman hukum kolonial Belanda. Lokajaya adalah simbol kenakalan anak manja yang hidup di tengah surutnya kejayaan Majapahit untuk kasus Lokajaya.

Di Indonesia, kepercayaan publik pada proses penegakan hukum memang semakin surut. Angka 
crime rates yang ditangani pihak kepolisian selalu meningkat, tapi kepolisian kerap dianggap sebagai institusi negara yang paling korup. Melaporkan tindak pencurian kepada polisi kerap menjadi mburu uceng kelangan deleg (kehilangan sesuatu yang kecil dan tidak berharga justru harus ditebus dengan kerugian yang lebih besar). Itu kerap menjadi ungkapan bagi mereka yang melaporkannya kepada kepolisian. Tak mengherankan jika dalam beberapa tahun ini saja hukum jalanan (street justice) seakan-akan menjadi solusi bagi rakyat sebagaimana terlihat dari operasi tempat-tempat yang dianggap maksiat oleh Front Pembela Islam.

Dengan kata lain, main hakim sendiri (street justice) sudah menjadi fenomena dalam beberapa tahun terakhir ini. Mafia peradilan, hukuman yang tidak sebanding dengan tindak kejahatan, keangkuhan negara yang mengutamakan legalitas daripada legalisme ialah sebagian saja dari fenomena-fenomena yang menyebabkan lunturnya kepercayaan publik terhadap negara.

Pembakaran Kantor Polsek OKU (Ogan Komering Hilir) beberapa minggu silam dipicu oleh kelambatan penanganan polisi terhadap penembakan seorang prajurit yang melanggar tertib lalu lintas. Konon, pembakaran itu pun memperoleh dukungan publik, sebagian di antaranya karena polisi juga sering melakukan tindak kekerasan berlebihan.

Pelaku Cebongan bukanlah maling aguna. Mereka juga bukan Brandal Lokajaya. Perbuatan mereka lebih disorong oleh tafsir yang keliru tentang jiwa korsa, semangat bara-membuta yang kemudian menutup penalaran, ataupun kesetiaan-personal an tara mereka dan Sertu Heru Santosa yang kemudian gagal membedakan kesumat pribadi dengan kekesatriaan prajurit.

Namun, mereka juga manusia biasa. Mereka tidak bisa menutup mata betapa reformasi militer dan pertahanan yang berlangsung dalam lebih dari 10 tahun belakangan ini menimbulkan tidak hanya ketidakpastian, tetapi juga perasaan ten tang marginalisasi tentara. Di sisi lain, Polri mendapatkan privilese. Lebih dari itu, kesan tentang semakin terinjak-injaknya kedaulatan Indonesia oleh kekuatan-kekuatan asing makin meningkat.

Tak mengherankan jika kasus hukum terhadap para penyerang Cebongan kerap disejajarkan sebagai tindakan hukum ter hadap para kesatria dan pembelaan hukum terhadap kaum preman. Di beberapa kala ngan di dalam TNI, pembentukan Tim Inves tigasi TNI-AD juga dipandang tidak lebih dari sekadar kepentingan politik terkait dengan Pemilu 2014. Anggapan seperti itu tentu berlebihan, tapi mengabaikannya bisa membawa konsekuensi yang tak terbayangkan.

Pasukan yang Serbakhusus

Setiap negara memiliki pasukan khusus dengan kemampuan pilih tanding. The Immortals melindungi simbol kedaulatan negara, dalam sosok pribadi Cyrus Agung, sekitar 5 abad sebelum awal tahun Masehi. The Companions melindungi wibawa dan kuasa Phillip II dari Masedonia. Majapahit memiliki satuan Bhayangkara, yang di bawah pimpinan Gajah Mada menyelamatkan Kalagemet dari kudeta Rakryan Kuti.

Kerajaan Demak memiliki Nara Manggala, yang di bawah kepemimpinan Rangga Tahjaya, berhasil mengembalikan simbol kenegaraan Bintoro. Sultan Agung memer cayakan satuan khusus di bawah kendali Nyimas Utara, cucu Mangir Wanabaya. Dia lah yang memimpin operasi intelijen yang kemudian berhasil `membunuh' Gubernur Jenderal Belanda pada waktu itu, Jan Pieter zen Coen.

Sama seperti mereka, Indonesia modern memiliki berbagai korps pasukan khusus, termasuk Kopassus (Komando Pasukan Khusus). Sejak dibentuk pada 1950-an hingga kini, Kopassus memainkan peran menentukan (decicive role) dalam berbagai operasi militer. Sebutlah mulai dari operasi penumpasan G-30-S/PKI, Pepera di Irian Barat, Operasi Seroja (Timor Timur), pem bebasan sandera di Bandara Dong Muang (Woyla), dan operasi pembebasan sandera di Mapenduma.

Konon Kopassus juga pernah menyusup ke para pengungsi Vietnam di Pulau Galang untuk membantu pengumpulan informasi untuk dikoordinasikan dengan pihak Ame rika Serikat (CIA), penyusupan perbatasan Malaysia dan Australia dan operasi patroli jarak jauh (long range recce) di perbatasan Papua Nugini. Operasi-operasi itu menunjukkan betapa tangguhnya Kopassus, yang kini konon menjadi pasukan terbaik ketiga di dunia.

Tak seorang pun meragukan kemampuan Kopassus. Sama seperti tidak seorang pun meragukan tempur Jala Makara (TNI-AL) atau Bravo (TNI-AU), Green Berrets (Amerika Serikat), ataupun Kommando Spezialkrafte (Jerman). Mereka melakukan operasi secara efisien dan efektif, seakan-akan tanpa bergantung pada the frictiuon of war maupun the fog of war. Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan memang memiliki kemampuan pilih tanding di berbagai bentuk perang, termasuk non-conventioal warfare. Mereka memiliki kemampuan yang jauh lebih lengkap dari Abimanyu yang hanya mampu menembus, tetapi gagal keluar dari kepungan Cakrabyuha, pasukan Hastinapura dalam Perang Bharatayudha.

Tampaknya persoalan utama dalam setiap pasukan khusus memang bukan soal kompetensi profesional mereka. Sebagai prajurit yang selamat dari rekrutmen superketat, yang kerap menjadi persoalan justru kebanggaan yang terlalu besar. Tidak jarang hal itu menimbulkan kepercayaan diri berlebih yang memang amat sulit dibedakan dengan arogansi. Sebagai golongan yang kerap mendengar tentang kepahlawanan masa revolusi, tentara memiliki rasa tanggung jawab yang kelewat besar sehingga ingin men jalankan tugas lebih dari yang secara resmi berada di pundaknya. Sebagai bagian dari kelompok yang bertahun-tahun `makan dari piring yang sama', jiwa korsa terbentuk amat pekat hingga mengaburkan batas antara perkawan an pribadi dan keutuhan satuan pasukan.

Persoalan lain ialah rantai komando yang karena tuntutan efisiensi operasional ataupun plausible deniability cenderung terkomparte mentalisasi. Akibatnya, satuan-satuan khusus bisa disalahgunakan untuk kepentingan tertentu di luar kepentingan operasi militer terhadap ancaman terhadap negara.
Rentang komando resmi di Moskow mengaku tidak tahu persis apa yang dilakukan oleh Spetznets di Tbilisi (Georgia), Stepanakertt (Moldova), dan Vilnius (Lithuania). Pentagon juga kecipuhan ketika ditanya tentang bagaimana `tentara berkuda' (horse soldier) memperuncing pertikaian antara Washington dan Kabul di penghujung 2001. Kuasa negara dan/atau komando tentara terpaksa harus berhadapan dengan kekhususan tertentu yang justru diperlukan dalam setiap operasi khusus.

Peradilan dan Rasa Keadilan

Tak mudah menegakkan rasa keadilan di tengah negara tiada. Sulit merumuskan jiwa korsa ketika kesetiakawanan pribadi pada masa damai yang sama kuatnya dengan bela pati dalam keadaan perang. Bukan persoalan mudah menjaga keseimbangan antara menegakkan keadilan terhadap para pelaku dan para korban penyerangan Cebongan.

Lebih sulit lagi ialah menggunakan UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer yang memang memiliki berbagai ruang bagi impunitas TNI, sama seperti peradilan khusus lainnya yang kerap kali memberikan otoritas tertentu kepada institusi tertentu. Akibatnya, tidak ada cukup ruang untuk mempertanggungjawabkan setiap keputusan kepada publik.

Namun, dalam transisi politik, termasuk di dalamnya ketika perubahan hukum dan perundang-undangan belum sepenuhnya dapat dipenuhi, cara terbaik ialah dengan menggunakan hukum positif yang ada. Impunitas yang mungkin tetap akan terjadi berdasarkan pelaksanaan UU No 31/1997 tak perlu dilihat sebagai sesuatu yang sengaja dirancang, tetapi sebagai konsekuensi dari kelemahan pembuat undang-undang (pemerintah dan DPR). Mahkamah militer, sebagaimana diatur dalam UU Peradilan Militer, juga berada di bawah Mahkamah Agung, dan dengan demikian institusi politik. Markas Besar TNI tidak bisa begitu saja semena-mena mencampuri urusan peradilan militer.

Keharusan untuk menyelesaikan persoalan Cebongan secepat mungkin jauh lebih penting dari upaya untuk mewujudkan keadilan yang sempurna (perfect justice). Minimalisasi impunitas tetap bisa dilakukan dalam kerangka UU 31/1997. Sebagai contoh, oditur militer juga bisa bekerja sama dengan penegak hukum lain seperti dirumuskan dalam pasal 66. Selain itu, bukan tidak mungkin Mabes TNI mengeluarkan keputusan khusus untuk menjadikan proses peradilan lebih terbuka, misalnya sesuai dengan ketentuan Pasal 349 ayat 1 UU Peradilan Militer tentang tempat peradilan yang dilakukan di luar barak tentara. Tunggu saja apa yang akan terjadi.

Sampai saat ini, Kopassus dan TNI sebagai institusi sudah melakukan apa yang bisa dilakukan mereka. “Semua akan diproses sesuai dengan ketentuan hukum,“ seperti dikemukakan KSAD Pramono Edhie Wibowo. Ataupun pernyataan Komandan Kopassus Mayor Jenderal Agus Sutomo yang mengakui `siap mempertanggungjawabkan' apa yang dilakukan anak buahnya. Itu pernyataanpernyataan yang menunjukkan niat baik dan mencerminkan ketanggapan TNI. Pernyataan-pernyataan seperti itu saja jarang terdengar sebelumnya ketika TNI lebih condong untuk melepas tanggung jawab institusi dan menganggap segenap penyimpangan tak lebih dari sekadar perbuatan oknum.

Soal lain tentang bagaimana proses hukum itu sendiri berhasil menampung tuntutan demokrasi dan keadilan. Karena keterbatasan politik maupun perundangan, keadilan yang muncul dari proses peradilan memang selalu bersifat relatif. Soal lain tentang bagaimana rasa tanggung jawab itu harus diwujudkan. Pengunduran diri, misalnya, bisa saja menunjukkan keperwiraan Mayor Jendral Agus Sutomo, tetapi tidak menyelesaikan tuntutan yang jauh lebih mendalam, khususnya terkait dengan pengetatan kontrol komando, aktualisasi jiwa korsa, dan bagaimana semangat individual anggota pasukan seiring sejalan dengan misi organisasi di mana mereka bernaung. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar