“Keharusan untuk menyelesaikan persoalan Cebongan
secepat mungkin jauh lebih penting dari upaya untuk mewujudkan keadilan
yang sempurna (perfect justice)”
Penyerangan Lembaga Pemasyarakatan
(LP) Cebongan (23/3) akan menjadi pertanda hitam dalam sejarah tentara.
Beberapa prajurit Kopassus memuntahkan peluru menembus tubuh empat preman
yang sedang di balik jeruji besi. Turun dari Gunung Lawu, sejumlah
anggota Kopassus itu menyatakan bela pati mereka kepada Sersan Satu Heru
Santosa yang beberapa hari sebelumnya tewas bersimbah darah di Hugo's
Cafe.
Proses hukum berlanjut. Menjadi tanda tanya bagaimana
episode penegakan hukum dan keadilan pada akhirnya bisa memulihkan
kepercayaan publik kepada TNI. Perbuatan seseorang, termasuk anggota
tentara tidak terlepas dari situasi tempat anggota tentara itu berada.
Seberapa besar kebenaran akan terungkap dari sebuah proses hukum tidak
mungkin melepaskan diri dari keterbatasan politik hukum.
Maling Aguna,
Street Justice, dan Jiwa Korsa
Maling aguna adalah pencuri yang kemudian
membagi-bagikan curiannya kepada kaum papa. Mereka juga hanya mencuri
dari para pengisap darah rakyat. Cerita-cerita Barat mengenal orang
seperti Robin Hood, yang memimpin perlawanan terhadap penguasa
Notthingham. Cerita Jawa mengenal Ramaparasu (pewayangan), Maling Gentir
dan Brandal Lokajaya (Jawa), Si Pitung (Betawi), dan masih banyak lagi
sebagai tokoh yang menempuh jalan di luar hukum untuk menyebarkan
kesejahteraan dan keadilan dengan caranya sendiri.
Ramaparasu sedang menggugat para dewa yang
dianggapnya keliru karena telah melindungi para kesatria yang mabuk
kepayang dengan kekuasaan duniawi. Gentiri dan Pitung melawan cengkeraman
hukum kolonial Belanda. Lokajaya adalah simbol kenakalan anak manja yang
hidup di tengah surutnya kejayaan Majapahit untuk kasus Lokajaya.
Di Indonesia, kepercayaan publik pada proses
penegakan hukum memang semakin surut. Angka
crime rates yang ditangani
pihak kepolisian selalu meningkat, tapi kepolisian kerap dianggap sebagai
institusi negara yang paling korup. Melaporkan tindak pencurian kepada
polisi kerap menjadi mburu uceng kelangan deleg (kehilangan sesuatu yang
kecil dan tidak berharga justru harus ditebus dengan kerugian yang lebih
besar). Itu kerap menjadi ungkapan bagi mereka yang melaporkannya kepada
kepolisian. Tak mengherankan jika dalam beberapa tahun ini saja hukum
jalanan (street justice)
seakan-akan menjadi solusi bagi rakyat sebagaimana terlihat dari operasi
tempat-tempat yang dianggap maksiat oleh Front Pembela Islam.
Dengan kata lain, main hakim sendiri (street justice) sudah menjadi
fenomena dalam beberapa tahun terakhir ini. Mafia peradilan, hukuman yang
tidak sebanding dengan tindak kejahatan, keangkuhan negara yang mengutamakan
legalitas daripada legalisme ialah sebagian saja dari fenomena-fenomena
yang menyebabkan lunturnya kepercayaan publik terhadap negara.
Pembakaran Kantor Polsek OKU (Ogan Komering Hilir)
beberapa minggu silam dipicu oleh kelambatan penanganan polisi terhadap
penembakan seorang prajurit yang melanggar tertib lalu lintas. Konon,
pembakaran itu pun memperoleh dukungan publik, sebagian di antaranya
karena polisi juga sering melakukan tindak kekerasan berlebihan.
Pelaku Cebongan bukanlah maling aguna. Mereka juga
bukan Brandal Lokajaya. Perbuatan mereka lebih disorong oleh tafsir yang
keliru tentang jiwa korsa, semangat bara-membuta yang kemudian menutup
penalaran, ataupun kesetiaan-personal an tara mereka dan Sertu Heru
Santosa yang kemudian gagal membedakan kesumat pribadi dengan
kekesatriaan prajurit.
Namun, mereka juga manusia biasa. Mereka tidak bisa
menutup mata betapa reformasi militer dan pertahanan yang berlangsung
dalam lebih dari 10 tahun belakangan ini menimbulkan tidak hanya
ketidakpastian, tetapi juga perasaan ten tang marginalisasi tentara. Di
sisi lain, Polri mendapatkan privilese. Lebih dari itu, kesan tentang
semakin terinjak-injaknya kedaulatan Indonesia oleh kekuatan-kekuatan
asing makin meningkat.
Tak mengherankan jika kasus hukum terhadap para
penyerang Cebongan kerap disejajarkan sebagai tindakan hukum ter hadap
para kesatria dan pembelaan hukum terhadap kaum preman. Di beberapa kala
ngan di dalam TNI, pembentukan Tim Inves tigasi TNI-AD juga dipandang
tidak lebih dari sekadar kepentingan politik terkait dengan Pemilu 2014.
Anggapan seperti itu tentu berlebihan, tapi mengabaikannya bisa membawa
konsekuensi yang tak terbayangkan.
Pasukan
yang Serbakhusus
Setiap negara memiliki pasukan khusus dengan
kemampuan pilih tanding. The
Immortals melindungi simbol kedaulatan negara, dalam sosok pribadi
Cyrus Agung, sekitar 5 abad sebelum awal tahun Masehi. The Companions
melindungi wibawa dan kuasa Phillip II dari Masedonia. Majapahit memiliki
satuan Bhayangkara, yang di bawah pimpinan Gajah Mada menyelamatkan
Kalagemet dari kudeta Rakryan Kuti.
Kerajaan Demak memiliki Nara Manggala, yang di bawah
kepemimpinan Rangga Tahjaya, berhasil mengembalikan simbol kenegaraan
Bintoro. Sultan Agung memer cayakan satuan khusus di bawah kendali Nyimas
Utara, cucu Mangir Wanabaya. Dia lah yang memimpin operasi intelijen yang
kemudian berhasil `membunuh' Gubernur Jenderal Belanda pada waktu itu,
Jan Pieter zen Coen.
Sama seperti mereka, Indonesia modern memiliki
berbagai korps pasukan khusus, termasuk Kopassus (Komando Pasukan
Khusus). Sejak dibentuk pada 1950-an hingga kini, Kopassus memainkan
peran menentukan (decicive role)
dalam berbagai operasi militer. Sebutlah mulai dari operasi penumpasan
G-30-S/PKI, Pepera di Irian Barat, Operasi Seroja (Timor Timur), pem
bebasan sandera di Bandara Dong Muang (Woyla), dan operasi pembebasan
sandera di Mapenduma.
Konon Kopassus juga pernah menyusup ke para pengungsi
Vietnam di Pulau Galang untuk membantu pengumpulan informasi untuk
dikoordinasikan dengan pihak Ame rika Serikat (CIA), penyusupan
perbatasan Malaysia dan Australia dan operasi patroli jarak jauh (long range recce) di perbatasan
Papua Nugini. Operasi-operasi itu menunjukkan betapa tangguhnya Kopassus,
yang kini konon menjadi pasukan terbaik ketiga di dunia.
Tak seorang pun meragukan kemampuan Kopassus. Sama
seperti tidak seorang pun meragukan tempur Jala Makara (TNI-AL) atau
Bravo (TNI-AU), Green Berrets (Amerika Serikat), ataupun Kommando
Spezialkrafte (Jerman). Mereka melakukan operasi secara efisien dan efektif,
seakan-akan tanpa bergantung pada the
frictiuon of war maupun the fog
of war. Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan memang memiliki kemampuan
pilih tanding di berbagai bentuk perang, termasuk non-conventioal warfare. Mereka memiliki kemampuan yang jauh
lebih lengkap dari Abimanyu yang hanya mampu menembus, tetapi gagal
keluar dari kepungan Cakrabyuha, pasukan Hastinapura dalam Perang
Bharatayudha.
Tampaknya persoalan utama dalam setiap pasukan khusus
memang bukan soal kompetensi profesional mereka. Sebagai prajurit yang
selamat dari rekrutmen superketat, yang kerap menjadi persoalan justru
kebanggaan yang terlalu besar. Tidak jarang hal itu menimbulkan
kepercayaan diri berlebih yang memang amat sulit dibedakan dengan
arogansi. Sebagai golongan yang kerap mendengar tentang kepahlawanan masa
revolusi, tentara memiliki rasa tanggung jawab yang kelewat besar
sehingga ingin men jalankan tugas lebih dari yang secara resmi berada di
pundaknya. Sebagai bagian dari kelompok yang bertahun-tahun `makan dari piring yang sama',
jiwa korsa terbentuk amat pekat hingga mengaburkan batas antara perkawan
an pribadi dan keutuhan satuan pasukan.
Persoalan lain ialah rantai komando yang karena
tuntutan efisiensi operasional ataupun plausible deniability cenderung terkomparte mentalisasi.
Akibatnya, satuan-satuan khusus bisa disalahgunakan untuk kepentingan
tertentu di luar kepentingan operasi militer terhadap ancaman terhadap
negara.
Rentang komando resmi di Moskow mengaku tidak tahu
persis apa yang dilakukan oleh Spetznets di Tbilisi (Georgia),
Stepanakertt (Moldova), dan Vilnius (Lithuania). Pentagon juga kecipuhan
ketika ditanya tentang bagaimana `tentara berkuda' (horse soldier) memperuncing pertikaian antara Washington dan
Kabul di penghujung 2001. Kuasa negara dan/atau komando tentara terpaksa
harus berhadapan dengan kekhususan tertentu yang justru diperlukan dalam
setiap operasi khusus.
Peradilan
dan Rasa Keadilan
Tak mudah menegakkan rasa keadilan di tengah negara
tiada. Sulit merumuskan jiwa korsa ketika kesetiakawanan pribadi pada
masa damai yang sama kuatnya dengan bela pati dalam keadaan perang. Bukan
persoalan mudah menjaga keseimbangan antara menegakkan keadilan terhadap
para pelaku dan para korban penyerangan Cebongan.
Lebih sulit lagi ialah menggunakan UU No 31/1997
tentang Peradilan Militer yang memang memiliki berbagai ruang bagi
impunitas TNI, sama seperti peradilan khusus lainnya yang kerap kali
memberikan otoritas tertentu kepada institusi tertentu. Akibatnya, tidak
ada cukup ruang untuk mempertanggungjawabkan setiap keputusan kepada
publik.
Namun, dalam transisi politik, termasuk di dalamnya
ketika perubahan hukum dan perundang-undangan belum sepenuhnya dapat
dipenuhi, cara terbaik ialah dengan menggunakan hukum positif yang ada. Impunitas
yang mungkin tetap akan terjadi berdasarkan pelaksanaan UU No 31/1997 tak
perlu dilihat sebagai sesuatu yang sengaja dirancang, tetapi sebagai
konsekuensi dari kelemahan pembuat undang-undang (pemerintah dan DPR).
Mahkamah militer, sebagaimana diatur dalam UU Peradilan Militer, juga
berada di bawah Mahkamah Agung, dan dengan demikian institusi politik.
Markas Besar TNI tidak bisa begitu saja semena-mena mencampuri urusan
peradilan militer.
Keharusan untuk menyelesaikan persoalan Cebongan
secepat mungkin jauh lebih penting dari upaya untuk mewujudkan keadilan
yang sempurna (perfect justice).
Minimalisasi impunitas tetap bisa dilakukan dalam kerangka UU 31/1997. Sebagai
contoh, oditur militer juga bisa bekerja sama dengan penegak hukum lain
seperti dirumuskan dalam pasal 66. Selain itu, bukan tidak mungkin Mabes
TNI mengeluarkan keputusan khusus untuk menjadikan proses peradilan lebih
terbuka, misalnya sesuai dengan ketentuan Pasal 349 ayat 1 UU Peradilan
Militer tentang tempat peradilan yang dilakukan di luar barak tentara.
Tunggu saja apa yang akan terjadi.
Sampai saat ini, Kopassus dan TNI sebagai institusi
sudah melakukan apa yang bisa dilakukan mereka. “Semua akan diproses sesuai dengan ketentuan hukum,“ seperti
dikemukakan KSAD Pramono Edhie Wibowo. Ataupun pernyataan Komandan
Kopassus Mayor Jenderal Agus Sutomo yang mengakui `siap mempertanggungjawabkan' apa yang dilakukan anak
buahnya. Itu pernyataanpernyataan yang menunjukkan niat baik dan mencerminkan
ketanggapan TNI. Pernyataan-pernyataan seperti itu saja jarang terdengar
sebelumnya ketika TNI lebih condong untuk melepas tanggung jawab
institusi dan menganggap segenap penyimpangan tak lebih dari sekadar
perbuatan oknum.
Soal lain tentang bagaimana proses hukum itu sendiri
berhasil menampung tuntutan demokrasi dan keadilan. Karena keterbatasan
politik maupun perundangan, keadilan yang muncul dari proses peradilan
memang selalu bersifat relatif. Soal lain tentang bagaimana rasa tanggung
jawab itu harus diwujudkan. Pengunduran diri, misalnya, bisa saja
menunjukkan keperwiraan Mayor Jendral Agus Sutomo, tetapi tidak
menyelesaikan tuntutan yang jauh lebih mendalam, khususnya terkait dengan
pengetatan kontrol komando, aktualisasi jiwa korsa, dan bagaimana
semangat individual anggota pasukan seiring sejalan dengan misi
organisasi di mana mereka bernaung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar