TNI
AD akhirnya mengonfirmasi spekulasi bahwa serangan terhadap penjara di
Yogyakarta yang menewaskan empat tahanan tewas dilakukan anggota
Kopassus. Ketua Tim Investigasi TNI AD terkait penyerangan LP Cebongan,
Sleman, Yogyakarta, Brigjen Untung Yudhoyono di Mabes TNI mengatakan pada
konferensi pers di Jakarta bahwa para penyerang adalah personel Kopassus.
Di
tengah keniscayaan peradilan yang tegas dari pihak TNI terhadap
personelnya tersebut, peristiwa ini menjadi alarm bagi banyak pihak bahwa
sesungguhnya negeri ini tengah berhadapan dengan bahaya dahsyat yang kian
mengancam, yakni menguatnya premanisme nyaris pada setiap sendi dan
denyut kehidupan publik.
Eskalasi kepanikan publik terhadap premanisme
mengantarkan diskursus sosial dan media untuk mendukung kasus pembunuhan
di LP Cebongan. Keempat pria yang tewas itu diduga preman. Sekarang
masyarakat menginginkan perang habis-habisan terhadap semua preman,
meskipun dengan menghalalkan segala macam cara, misal lewat tindakan main
hakim sendiri.
Derasnya apresiasi publik terhadap tindakan oknum
Kopassus tersebut menunjukkan parahnya racun premanisme bagi khalayak
ramai. Banyak warga yang kini hidup dalam ketakutan akan preman yang
dengan bebas berkeliaran, menyiksa, dan meneror.
Celakanya pihak keamanan, seperti polisi, betul-betul
dibuat tak berdaya. Kebanyakan warga telah merasakan bagaimana kemurkaan
preman yang mudah saja membunuh siapa pun yang menantang mereka. Bagi
masyarakat umum, aksi Kopassus di LP Cebongan adalah tindakan heroik.
Pengalaman menunjukkan bahwa kecenderungan main hakim
akan menjadi liar dan lepas dari kontrol. Pada dekade 1980-an, Soeharto
menyetujui aksi-aksi pembunuhan para tersangka pelaku kejahatan dalam
sebuah operasi militer rahasia yang disebut Petrus (penembak misterius).
Walau premanisme mereda, kebijakan ini telah memakan banyak korban yang
acapkali adalah orang-orang biasa yang tidak ada hubungannya dengan
kejahatan bawah tanah.
Kisah LP Cebongan ini menceritakan langkanya kualitas
mulia serta kurangnya model peran dan pahlawan sejati yang tidak takut
untuk menjadi penentu dan bertanggung jawab atas tindakan yang diperbuat.
Ketika sedikit saja keberanian dan kejujuran
terlihat, betapapun jahat, semua terperangah. Keterkejutan publik, yang
seolah-olah menyalami aksi Kopassus ini, sebetulnya adalah cermin
pesimisme masyarakat atas korupsi, egoisme, kepengecutan dan lenyapnya
kejujuran di wajah-wajah penguasa.
Kejadian ini memang menakutkan. Apa yang dilakukan
pasukan khusus TNI ini bertentangan dan sekaligus penghinaan terhadap
pemerintah dan ketertiban umum. Hal yang tak kalah memalukan adalah
keyakinan bisa lolos dari jeratan hukum.
Secara umum, peristiwa ini sejatinya menyorot
ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi rakyat dan mengendalikan
pasukan keamanannya.
Tidak hanya itu, hal ini juga mengembangkan
kecurigaan bahwa pemerintah sendiri bersalah dalam hal terbinanya agresi,
pelanggaran hukum dan intoleransi pada semua lapisan masyarakat, ketika
preman berkeliaran bebas dan warga negara biasa berpikir untuk mengganggu
dan menggertak orang-orang yang berbeda agama.
Serentetan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan,
semisal di Cebongan dan Ogan Komering Ulu, juga menunjukkan eskalasi
ketegangan antara Polri dan TNI. Ketidakharmonisan ini membutuhkan
reformasi internal langsung dari kedua lembaga. Sejak perpisahan keduanya
pada tahun 1999, TNI dan Polri kerap terlibat dalam banyak konflik.
Reformasi separuh jalan hanya akan menciptakan lebih banyak tragedi.
Polri, khususnya Densus 88 sebagai unit
kontraterorismenya, telah memperoleh otoritas luar biasa dalam
melaksanakan mandatnya.
Dalam masyarakat demokratis, otoritas yang berlebihan
tersebut dapat menyebabkan terblokirnya keran demokrasi yang sedang
berlangsung dan menurunkan kualitas perlindungan hak asasi manusia. Hal
yang sama berlaku bagi Kopassus. Penggunaan kekuatan luar biasa oleh
Kopassus TNI ini juga akan menyebabkan kematian demokrasi dan pengebirian
hak asasi manusia.
Unsur yang Hilang
Peristiwa LP Cebongan mengingatkan adanya unsur yang
hilang di negeri ini, yakni ketegasan dan koordinasi dalam melaksanakan
suatu tindakan yang diinginkan dalam waktu singkat. Meskipun amburadulnya
penegakan hukum, ada sesuatu yang tertib dan disiplin terhadap tindakan
penyelewengan tersebut serta kepercayaan dari orang-orang yang mengetahui
secara persis apa yang mereka lakukan. Ini merupakan sebuah sifat yang
langka di negeri ini.
Sayangnya, ini bukan sesuatu yang dapat kita katakan
tentang pemimpin kita sekarang, yang menyenangkan dan sempurna dalam
segala hal kecuali untuk keraguannya, ketidakamanan yang langka dan
kecemasan yang tak pernah berakhir.
Merosotnya kepuasan publik terhadap penegakan hukum
yang disebabkan tindak kekerasan aparat yang marak terjadi juga berdampak
terhadap meluasnya premanisme dan praktik mafia yang pada gilirannya
melemahkan partai politik dan parlemen.
Preman yang dimaksud mulai dari preman jalanan,
preman bersenjata seperti oknum polisi dan TNI, preman berdasi atau
koruptor dan preman berkedok ormas sektarian. Masyarakat kian tak
percaya. Pemerintah harus mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap
hukum. Aksi premanisme harus diberantas. Kalau tidak maka akan mengarah
ke anarkisme sosial.
Premanisme tidak hanya mengacu pada kekerasan. Ada
juga premanisme kerah putih yang melibatkan pejabat eselon-rendah di
beberapa kantor pemerintah. Di kantor pajak, seorang pejabat karier yang
telah selama 11 tahun pernah mengakui bahwa 60 persen dari pendapatan
pajak nasional berasal dari wajib pajak menengah atau berpenghasilan
rendah, dengan penghasilan Rp 60 juta per tahun atau Rp 5 juta per bulan.
Sisanya berasal dari sekitar 1.000 orang kaya, tetapi
banyak yang masih tak dikenal dan belum ditemukan. Betul bahwa para
petugas pajak nakal memang ada. Tapi, jika premanisme berhasil dihapuskan
dieliminasi dan semua wajib pajak berlaku tulus, target pengumpulan pajak
secara nasional sebesar Rp 1.019 triliun bisa dengan mudah dicapai. Pajak
ini secara cukup mampu membiayai anggaran negara dan pembangunan seluruh
infrastruktur.
Fenomena premanisme dewasa ini menggarisbawahi bahwa
pemerintah telah gagal menegakkan hukum. Dengan pilpres yang kian
menjelang pada 2014 ini, premanisme disinyalir bakal terus menghantui
warga. Kecuali kalau kepemimpinan nasional memiliki keberanian untuk
melaksanakan terapi kejut dengan cara apa pun untuk mengakhiri semua
jenis premanisme. Masyarakat pasti akan mendukung perubahan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar