Selasa, 16 April 2013

Anomali Harga Jagung


Anomali Harga Jagung
Muhammad Zainul Majdi  Gubernur Nusa Tenggara Barat 
REPUBLIKA, 15 April 2013

  
Beberapa waktu lalu, saya membaca pernyataan Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GMPT) Desianto Budi Utomo bahwa impor komoditas jagung 2013, khusus untuk industri pakan ternak, diperkirakan melonjak 86,6 persen dari volume impor tahun lalu. Impor akan meningkat 1,3 juta ton menjadi 2,8 juta ton pada 2013 dibanding 1,5 juta ton pada 2012.
Lonjakan volume impor jagung itu, kata Desianto, terjadi karena kebutuhan pakan ternak dalam negeri yang semakin besar tidak diikuti dengan ketersediaan produk jagung lokal (suplai). Dengan kata lain, ada kesenjangan luar biasa antara kebutuhan jagung dalam negeri (demand) dan suplai produksi jagung lokal.

Desianto memaparkan, 2013 ini produksi pakan ternak diperkirakan mencapai 13,8 juta ton. Untuk bisa memproduksi pakan ternak sebanyak itu, 65 unit pabrik pakan ternak yang ada membutuhkan bahan baku jagung sekitar tujuh juta ton. GMPT lantas mengasumsikan suplai jagung lokal tahun ini hanya 4,2 juta ton sehingga dibutuhkan tambahan suplai jagung impor sebanyak 2,8 juta ton. Skenario impor jagung versi GMPT ini berbeda dengan versi data yang ada di Kementerian Pertanian. 
Berdasarkan data Ditjen Tanaman Pangan Kementan, produksi jagung Indonesia tahun 2013 diprediksi bisa mencapai 18,9 juta ton dengan kebutuhan hanya 17,3 juta ton. Artinya, malah ada surplus komoditas jagung sebanyak 1,6 juta ton.

Data Kementan memang selalu optimistis, namun sekaligus juga membingungkan. Berdasarkan data Kementan, produksi jagung nasional pada 2012 mencapai 18,961 juta ton dengan jumlah kebutuhan nasional hanya mencapai 14,410 juta ton. Itu artinya, masih ada surplus. Pertanyaannya kemudian, mengapa untuk komoditas yang surplus semacam ini masih dibutuhkan impor jagung?
Meski diklaim mengalami penurunan dari 2011 di mana impor jagung mencapai 3,144 juta ton, pada 2012 Indonesia masih membuka keran impor jagung sebanyak 1,5 juta ton. Masalah distribusi dinilai menjadi salah satu jawaban atas masih terjadinya impor jagung di tengah surplus produksi.
Masih terdapat kendala transportasi untuk mendistribusikan produk jagung.
Kendala lainnya adalah soal mutu jagung lokal yang dinilai belum sesuai dengan standar industri pakan nasional. Misalnya, terkait dengan kadar air dan jamur dalam produksi jagung lokal.

Kondisi-kondisi semacam itu membuka mata bahwa skenario impor jagung tidak semata tertumpu pada peningkatan lahan serta produksi jagung semata sebagaimana menjadi titik fokus Kementan selama ini. Menjadi tampak bahwa persoalan-persoalan pascapanen jagung juga menjadi sangat krusial sebagai penentu serapan jagung lokal.

Skenario Optimistis

Meski begitu, tidak berarti strategi yang telah dijalankan selama ini ditinggalkan. Upaya pemerintah mengembangkan komoditas jagung dengan cara peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam harus tetap dilakukan sembari membenahi juga permasalahan-permasalahan yang muncul pascapanen.
Tanpa harus terjebak pada optimisme berlebih, Indonesia masih sangat potensial menjadi pemain utama penghasil komoditas jagung di tingkat global.
Merujuk pernyataan Ketua Dewan Jagung Nasional Fadel Muhammad, Indonesia memiliki paling tidak 22 titik sentra produksi jagung, seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Untuk Provinsi NTB sendiri, perkembangan komoditas jagung ini sangat menggembirakan setelah ditetapkannya jagung sebagai salah satu komoditas unggulan NTB selain sapi dan rumput laut. Dari sisi kuantitas, produksi jagung meningkat pesat dari hanya 196.263 ton pada 2008 menjadi sebesar 641.489 ton pada 2012.

Kenaikan produksi jagung, baik di Jatim maupun NTB, terjadi karena kenaikan luas lahan panen. Di Jatim, luas lahan panen jagung meningkat 28,46 ribu hektare. Sedangkan, di NTB terjadi kenaikan seluas 27,74 ribu hektare dari luas lahan panen 89.307 hektare pada 2011 menjadi 117,50 hektare pada 2012. Dengan fakta-fakta seperti itu, mimpi menjadi salah satu pemain di dunia dalam komoditas strategis seperti jagung sebenarnya bukanlah impian.

Masalahnya, problematika komoditas jagung, seperti telah disinggung di atas, tidak berhenti sebatas peningkatan kuantitas produksi dan lahan panen.

Belajar dari pengembangan komoditas jagung di NTB, paling tidak ada lima masalah yang harus dipikirkan solusi nya. Dari lima permasalahan itu, dua permasalahan terjadi sebelum panen, yaitu masalah penanganan teknologi budidaya jagung yang belum optimal serta permodalan petani yang masih lemah. Untuk optimalisasi teknologi budidaya, yang dilakukan adalah pendampingan dan penyuluhan terus-menerus. Sedangkan, terkait modal, kami memfasilitasi petani memperoleh skimpembiayaan.

Tiga masalah lainnya terjadi pascapanen, yaitu harga jagung yang belum stabil, dukungan alat pemipil dan pengering yang masih kurang, serta belum berkembangnya produk olahan jagung. Terkait harga jagung, di NTB sudah dicoba dilakukan upaya koordinasi dengan sejumlah mitra kerja, seperti pasar dan sejumlah perusahaan. Untuk dukungan alat pemipil dan pengering, kami sudah mencoba memberikan bantuan corn seller melalui dana APBN dan APBD meski karena keterbatasan dana, jumlah unitnya hanya 14 pada 2011 dan 27 pada 2012. Mesin pengering (dryer) yang mampu mengurangi kadar air hingga 14 persen sesuai standar industri pakan ternak, juga masih menjadi masalah tersendiri karena harganya yang relatif mahal.

Mengenai belum berkembangnya produk olahan jagung, yang kami upayakan adalah melakukan koordinasi dengan pihak terkait, seperti Kementerian Perdagangan serta Kementerian Koperasi dan UKM. Kami juga belajar dari daerah lain yang dinilai maju dalam produk olahan.
Masalah anomali impor jagung ini sebenarnya bisa diatasi jika pemerintah tidak selalu fokus pada pengucuran skim kredit untuk keperluan budidaya, namun juga untuk mengatasi masalah-masalah pascapanen dan penanggulangan dana pembelian ke petani. Saya optimistis, produk jagung lokal lebih baik dari jagung impor karena lebih segar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar