Demokrasi
Indonesia mengalami pasang-surut dan dinamika yang sangat menarik.
Indonesia telah bereksperimen untuk lepas dari belenggu otoritarianisme
dan melangkah ke depan dengan memilih demokrasi sebagai aturan main yang
disepakati.
Dengan memilih demokrasi, dengan segala kekurangannya, Indonesia
berkomitmen sebagai bangsa yang serius berubah diri dan berusaha
memperbaiki diri. Secara internasional, Indonesia pun sering dipuji dunia
sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan negara muslim
demokratis terbesar di dunia. Selama ini ada dua pendapat besar yang
mewakili pandangan umum tentang perjalanan demokrasi di Indonesia.
Pendapat pertama diwakili oleh kalangan yang optimistis (optimistic point of view) terhadap
demokrasi kita.
Menurut kelompok ini, demokrasi dalam banyak hal telah membawa perubahan
besar pada bangsa ini. Kebebasan berpolitik, berpendapat, dan berekspresi
menjadi Indonesia lebih maju dan mampu bersaing dengan bangsa lain.
Pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung, pemilu legislatif
yang kompetitif, pembentukan KPK dan Mahkamah Konstitusi (MK), serta
pembentukan komisi-komisi independen negara menunjukkan bahwa sistem
politik Indonesia relatif berjalan maju dibandingkan era sebelumnya.
Rakyat pun punya akses yang besar untuk memperoleh fasilitas publik dan
mengkritik kebijakan pemerintah. Namun, pandangan ini disanggah oleh
kalangan yang pesimistis terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia (pessimistic point of view). Bagi
kelompok ini, demokrasi di Indonesia hanyalah bersifat prosedural,
transaksional, dan bersifat semu belaka.
Hal itu terlihat dari fenomena korupsi di berbagai level negara, tidak
seriusnya pemerintah dalam melayani rakyatnya, semakin mahalnya biaya
berpolitik, serta masih lemahnya perlindungan negara terhadap kaum
minoritas. Mereka menganggap Indonesia masih mengalami paradoks-paradoks
politik yang berpangkal pada menguatnya oligarki partai dan politisasi
media yang mestinya harus netral.
Yang lebih ironis, kalangan ini menyatakan bahwa jika dibiarkan,
Indonesia sebentar lagi akan menuju negara gagal (failed state) karena ketidakseriusan pemerintah dalam
mengelola negara dan melindungi rakyatnya.
Alat atau Tujuan?
Berkaitan dengan itu, tulisan Donald K Emmerson yang berjudul “Is Indonesia Rising? It Depends” (Strategic Review, 2012) menarik
untuk disimak. Menurut Emmerson, meskipun banyak pengamat dunia yang
mengatakan bahwa Indonesia mempunyai peluang menjadi the world’s first muslim and democratic superpower,
pernyataan itu perlu dikaji lebih lanjut.
Meskipun ekonomi di Indonesia terus tumbuh dan stabilitas politik lebih
menunjukkan titik terang, kemajuan Indonesia (Indonesia rising) sangat bergantung pada apa yang dilakukan
para pembuat keputusan (decision-makers)
terhadap Indonesia.
Apakah para decision-makers
itu—baik untuk tingkat lokal, nasional, maupun internasional—melihat,
mengatakan, dan bertindak untuk memajukan Indonesia ataukah mereka diam
saja. Kemampuan para decisionmakers untuk melihat, mengatakan, dan
bertindak itu tentu sangat berhubungan erat dengan mutu dan kualitas
demokrasi yang sekarang ini sedang dipraktikkan.
Pandangan dua kelompok terhadap demokrasi di atas, menurut saya,
masingmasing punya kelebihan dan kekurangan, jadi tidak ada yang
sempurna. Jika kita hanya mengikuti pandangan yang optimistis, kita
menjadi lupa dan terlena terhadap kondisi Indonesia yang masih memerlukan
kerja keras dan keseriusan pembenahan itu. Jika kita mengamini arus yang
pesimistis, kita menjadi terjebak pada romantisme masa lalu dan tidak
optimistis menatap masa depan yang lebih prospektif.
Yang lebih tepat, bagaimana agar kita secara objektif mengevaluasi
demokrasi kita dan memproyeksikan bagaimana seharusnya demokrasi terus
diperbaiki. Sayangnya, banyak pengambil kebijakan maupun kalangan umum
yang masih beranggapan bahwa demokrasi adalah tujuan. Padahal, mestinya
kita mendefinisikan demokrasi yang bermakna pemerintahan dari, oleh, dan
untuk rakyat itu sebagai jalan atau alat.
Demokrasi adalah jalan yang sah (the
legal procedure) untuk menggapai kedaulatan dan mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Jika demokrasi hanya dijadikan tujuan, akan banyak
pemimpin-pemimpin korup dan medioker yang hanya sibuk memikirkan
partainya, kelompoknya, dan keluarganya karena dia merasa sah menjadi
pemimpin yang dipilih secara demokratis.
Pemilihan secara demokratis itu sejatinya merupakan jalan para pemimpin
itu untuk melaksanakan pemerintah yang kredibel, amanah, serius, penuh
komitmen, dan demokratis. Jika tidak, sejarah Hitler yang juga dihasilkan
oleh sistem demokrasi, tapi membumihanguskan demokrasi tidak mustahil
akan kembali lagi.
Perbaikan Mutu
Selama ini problem besar yang menggerogoti kualitas demokrasi kita adalah
soal penegakan hukum dan maraknya korupsi. Meskipun kita sudah melangkah
ke arah konsolidasi demokrasi yang ditandai dengan kesepakatan menjadikan
demokrasi sebagai aturan main bersama (the only game in the town), praktik mafia peradilan,
penegakan hukum yang belum serius, serta korupsi masih terus terjadi.
Hukum juga masih banyak berpihak pada kekuasaan. Tidak heran jika kasus
korupsi selama ini banyak dikaitkan dengan para politisi di DPR atau DPRD
meskipun sebetulnya korupsi di tingkat eksekutif juga banyak sekali
terjadi. Malah bisa jadi angkanya lebih besar karena mereka mengelola
anggaran dan proyekproyek pembangunan. Kita tentu harus melangkah ke
depan dengan menjadikan penegakan hukum yang belum serius ini sebagai
pekerjaan rumah pertama dan utama untuk perbaikan kualitas demokrasi
kita.
Tentu saja, praktik-praktik korupsi yang banyak berkaitan dengan politik
transaksional harus digerus dan diberantas. Jangan sampai, politik hanya
direduksi dengan urusan transaksi dan lobi-lobi jabatan. Padahal esensi
politik adalah juga bagaimana menawarkan gagasan, menguatkan strategi,
serta memproduksi kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Agar demokrasi kita semakin berkualitas dan bisa menjadi sarana untuk
menggapai tujuan kemerdekaan Indonesia, persoalan penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi harus menjadi agenda yang utama dan pertama dari
para decision makers dan politisi
kita. Jika persoalan penegakan hukum dan korupsi ini semakin
menjadi-jadi, para penentang demokrasi akan menemukan dalih dan dalil
bahwa Indonesia tidak cocok menerapkan demokrasi.
Terlebih lagi, ada banyak propaganda dari sebagian orang bahwa masa Orde
Baru lebih sejahtera daripada hari ini. Kelompok penentang demokrasi ini
juga menyandarkan pendapat bahwa antara kebebasan politik dan pertumbuhan
ekonomi saling bertentangan dan tidak bisa berjalan beriringan. Mereka
mengambil contoh Singapura semenjak era Lee Kuan Yew yang tetap maju
meskipun otoriter.
Namun, sebagaimana diungkap oleh Amartya Sen dalam Development as Freedom (2000), ada kelemahan dalam tesis Lee
yang menyatakan bahwa kebebasan dan hak-hak sipil membahayakan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Hanya sedikit fakta umum yang
menunjukkan bahwa pemerintah yang otoriter dan penindasan hak-hak politik
dan sipil rakyat sungguh-sungguh menguntungkan dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, studi-studi empiris sistematis juga menunjukkan bahwa klaim
akan ada konflik antara kebebasan politik dan kemajuan ekonomi tidaklah
punya dukungan yang nyata. Untuk konteks Indonesia, semestinya demokrasi
juga bisa membawa kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat agar rakyat bisa
percaya pada pemimpinnya.
Dengan begitu, rakyat akan mampu membuat perbedaan esensial antara zaman
prakemerdekaan dan setelah Indonesia merdeka atau ketika pemerintah
Indonesia masih otoriter dan ketika berubah menjadi demokratis. Kita
semua harus tetap optimistis terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia,
tentu saja dengan tetap memperbaikinya terus-menerus.
Pengembangan dan penguatan sistem demokrasi adalah pekerjaan bersama yang
harus terus digelorakan. Optimisme berbangsa dan bernegara dengan
menjadikan demokrasi sebagai aturan main dan sarana untuk mencapai
cita-cita kemerdekaan Indonesia adalah spirit yang harus ditanamkan
terusmenerus oleh para pemimpin, politisi, akademisi, dan tokoh
masyarakat pada dirinya dan rakyat tercinta.
Dengan begitu, Indonesia akan terus melangkah maju dan tidak mundur ke
belakang kembali. Sekali layar terkembang pantang kita untuk kembali lagi
(there is no point to return). Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar