Sabtu, 06 April 2013

Mematikan Konflik Pendidikan


Mematikan Konflik Pendidikan
Asmadji As Muchtar ;   Dosen Pascasarjana UII Yogyakarta dan Unsiq Wonosobo
SUARA KARYA, 06 April 2013

  
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah inkonstitusional karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini layak disambut gembira, karena sama dengan mematikan embrio konflik pendidikan dan diskriminasi pendidikan.

Ke depan, jangan pernah ada lagi kelas berlabel RSBI di sekolah-sekolah dasar dan menengah, dengan biaya lebih tinggi yang identik dengan memisahkan si kaya dengan si miskin. Karena hal itu sama dengan embrio konflik dalam arti luas bagi anak-anak bangsa yang akan mewarisi masa depan.
Jika embrio konflik tersebut tidak dibunuh, cepat atau lambat hubungan antarsiswa rentan diwarnai keresahan dan ketegangan. Dalam hal ini, ada dua jenis keresahan dan ketegangan yang bisa terjadi, yang sama-sama menimbulkan ketidaknyamanan bagi masing-masing siswa.

Pertama, keresahan dan ketegangan psikis yang dialami siswa di kelas biasa. Mereka juga bisa kurang percaya diri atau rendah diri dalam menghadapi masa depan karena belajar di kelas yang tidak istimewa. Pada titik ini, mereka bisa menyesali nasib dan keadaan orangtuanya yang tidak mampu.

Kedua, keresahan dan ketegangan psikis yang dialami siswa di kelas istimewa. Dalam hal ini, mereka bisa merasa terbebani tuntutan dan harapan orangtua yang menginginkannya berprestasi lebih tinggi dari siswa kelas biasa. Pada titik ini, mereka bisa dirundung stres atau depresi psikis kronis yang terlambat diketahui oleh orangtua maupun guru.

Embrio Konflik
RSBI memang harus disebut sebagai embrio konflik pendidikan yang bisa meledak di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah. Jika embrio konflik pendidikan tersebut meledak di lingkungan sekolah, pasti akan melibatkan siswa di kedua kelas yang berbeda.

Misalnya, karena masing-masing dirundung ketegangan maka siswa kelas istimewa dan siswa kelas biasa mudah bertengkar. Bisa saja pertengkaran dipicu masalah sepele, seperti saling ejek. Jika mereka sudah bertengkar, kenyamanan belajar pasti akan sirna, meski perdamaian bisa dilakukan. Dalam hal ini, perdamaian setelah pertengkaran yang dipicu diskriminasi pendidikan tidak bisa tulus.

Jika embrio konflik pendidikan meledak di lingkungan rumah, pasti akan melibatkan siswa dengan orangtua masing-masing. Misalnya, siswa kelas biasa bersikap tidak hormat kepada orangtua yang tidak mampu membiayai mereka untuk masuk RSBI. Atau, siswa membenci orangtua yang memaksanya masuk RSBI padahal siswa lebih nyaman belajar di kelas reguler.

Dalam rumus psikososial, konflik antara siswa dengan siswa atau antara siswa dengan orangtua akibat diskriminasi pendidikan bisa berlangsung samar maupun terang-terangan. Konflik yang berlangsung samar sulit diketahui sehingga akibatnya bisa lebih runyam dibanding konflik terang-terangan.
Misalnya, jika siswa selalu merahasiakan perasaan ketidaknyamanan dalam belajar, akibatnya bisa membuatnya mengalami kesulitan-kesulitan meraih prestasi. Dalam hal ini, makin banyaknya siswa yang tidak lulus ujian nasional dibanding tahun-tahun sebelumnya bisa jadi akibat konflik samar yang dialami siswa di sekolah maupun di rumah.

Ke depan, konflik yang dialami siswa akibat diskriminasi pendidikan bisa saja lebih runyam lagi. Misalnya, karena merasa tidak nyaman belajar di sekolah maupun di rumah, kasus-kasus tawuran antar siswa makin sering terjadi.

Dibukanya RSBI di lingkungan sekolah dasar dan menengah yang identik dengan diskriminasi pendidikan layak dianggap merupakan bukti adanya salah perhitungan yang berdampak negatif bagi proses belajar siswa di sekolah maupun di rumah.

Disebut salah perhitungan, karena diskriminasi pendidikan di sekolah dasar dan menengah identik dengan beda kasih dalam pola pengasuhan. Pola pengasuhan (termasuk pendidikan) beda kasih sejak dulu dipercaya akan berakibat buruk bagi anak-anak. Dalam hal ini, siswa sekolah dasar dan menengah belum dewasa atau masih berjiwa kanak-kanak, yang seharusnya diasuh dan dididik tanpa beda kasih.

Karena salah perhitungan dan mengandung risiko merunyamkan pendidikan, kelas istimewa harus segera ditutup, kecuali jika semua kelas biasa bisa diubah menjadi kelas RSBI. Artinya, bagi sekolah yang telanjur membuka kelas RSBI harus segera mengubah semua kelas biasa menjadi RSBI sehingga tidak ada lagi diskriminasi pendidikan.

Kini, pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi di bidang pendidikan, harus melarang sekolah membuka kelas RSBI untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar, kecuali jika semua kelas biasa diubah menjadi kelas RSBI. Dengan kata lain, diskriminasi pendidikan di tiap sekolah harus dihapus, agar siswa kembali nyaman belajar di sekolah maupun di rumah.

Jika RSBI tidak dilarang, sangat mungkin semua sekolah akan berlomba-lomba membuka kelas RSBI dengan berbagai alasan, misalnya sebagai eksperimen meningkatkan kualitas proses belajar mengajar sesuai tuntutan era global.

Padahal, di baliknya ada aroma persaingan yang tidak sehat dan berpotensi mengorbankan kenyamanan dan keharmonisan yang bisa berkembang menjadi konflik sosial atau kekerasan horizontal yang meluas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar