Mahkamah Konstitusi telah
memutuskan bahwa Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah
inkonstitusional karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hal
ini layak disambut gembira, karena sama dengan mematikan embrio konflik
pendidikan dan diskriminasi pendidikan.
Ke depan, jangan pernah ada lagi kelas berlabel RSBI
di sekolah-sekolah dasar dan menengah, dengan biaya lebih tinggi yang
identik dengan memisahkan si kaya dengan si miskin. Karena hal itu sama
dengan embrio konflik dalam arti luas bagi anak-anak bangsa yang akan
mewarisi masa depan.
Jika embrio konflik tersebut tidak dibunuh, cepat
atau lambat hubungan antarsiswa rentan diwarnai keresahan dan ketegangan.
Dalam hal ini, ada dua jenis keresahan dan ketegangan yang bisa terjadi,
yang sama-sama menimbulkan ketidaknyamanan bagi masing-masing siswa.
Pertama, keresahan dan ketegangan psikis yang dialami
siswa di kelas biasa. Mereka juga bisa kurang percaya diri atau rendah
diri dalam menghadapi masa depan karena belajar di kelas yang tidak
istimewa. Pada titik ini, mereka bisa menyesali nasib dan keadaan
orangtuanya yang tidak mampu.
Kedua, keresahan dan ketegangan psikis yang dialami
siswa di kelas istimewa. Dalam hal ini, mereka bisa merasa terbebani
tuntutan dan harapan orangtua yang menginginkannya berprestasi lebih
tinggi dari siswa kelas biasa. Pada titik ini, mereka bisa dirundung
stres atau depresi psikis kronis yang terlambat diketahui oleh orangtua
maupun guru.
Embrio Konflik
RSBI memang harus disebut sebagai embrio konflik
pendidikan yang bisa meledak di lingkungan sekolah maupun di lingkungan
rumah. Jika embrio konflik pendidikan tersebut meledak di lingkungan
sekolah, pasti akan melibatkan siswa di kedua kelas yang berbeda.
Misalnya, karena masing-masing dirundung ketegangan
maka siswa kelas istimewa dan siswa kelas biasa mudah bertengkar. Bisa
saja pertengkaran dipicu masalah sepele, seperti saling ejek. Jika mereka
sudah bertengkar, kenyamanan belajar pasti akan sirna, meski perdamaian
bisa dilakukan. Dalam hal ini, perdamaian setelah pertengkaran yang
dipicu diskriminasi pendidikan tidak bisa tulus.
Jika embrio konflik pendidikan meledak di lingkungan
rumah, pasti akan melibatkan siswa dengan orangtua masing-masing.
Misalnya, siswa kelas biasa bersikap tidak hormat kepada orangtua yang
tidak mampu membiayai mereka untuk masuk RSBI. Atau, siswa membenci
orangtua yang memaksanya masuk RSBI padahal siswa lebih nyaman belajar di
kelas reguler.
Dalam rumus psikososial, konflik antara siswa dengan
siswa atau antara siswa dengan orangtua akibat diskriminasi pendidikan
bisa berlangsung samar maupun terang-terangan. Konflik yang berlangsung
samar sulit diketahui sehingga akibatnya bisa lebih runyam dibanding
konflik terang-terangan.
Misalnya, jika siswa selalu merahasiakan perasaan
ketidaknyamanan dalam belajar, akibatnya bisa membuatnya mengalami
kesulitan-kesulitan meraih prestasi. Dalam hal ini, makin banyaknya siswa
yang tidak lulus ujian nasional dibanding tahun-tahun sebelumnya bisa
jadi akibat konflik samar yang dialami siswa di sekolah maupun di rumah.
Ke depan, konflik yang dialami siswa akibat
diskriminasi pendidikan bisa saja lebih runyam lagi. Misalnya, karena
merasa tidak nyaman belajar di sekolah maupun di rumah, kasus-kasus
tawuran antar siswa makin sering terjadi.
Dibukanya RSBI di lingkungan sekolah dasar dan
menengah yang identik dengan diskriminasi pendidikan layak dianggap
merupakan bukti adanya salah perhitungan yang berdampak negatif bagi
proses belajar siswa di sekolah maupun di rumah.
Disebut salah perhitungan, karena diskriminasi
pendidikan di sekolah dasar dan menengah identik dengan beda kasih dalam
pola pengasuhan. Pola pengasuhan (termasuk pendidikan) beda kasih sejak
dulu dipercaya akan berakibat buruk bagi anak-anak. Dalam hal ini, siswa
sekolah dasar dan menengah belum dewasa atau masih berjiwa kanak-kanak, yang
seharusnya diasuh dan dididik tanpa beda kasih.
Karena salah perhitungan dan mengandung risiko
merunyamkan pendidikan, kelas istimewa harus segera ditutup, kecuali jika
semua kelas biasa bisa diubah menjadi kelas RSBI. Artinya, bagi sekolah
yang telanjur membuka kelas RSBI harus segera mengubah semua kelas biasa
menjadi RSBI sehingga tidak ada lagi diskriminasi pendidikan.
Kini, pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi
di bidang pendidikan, harus melarang sekolah membuka kelas RSBI untuk
meningkatkan kualitas proses belajar mengajar, kecuali jika semua kelas
biasa diubah menjadi kelas RSBI. Dengan kata lain, diskriminasi
pendidikan di tiap sekolah harus dihapus, agar siswa kembali nyaman
belajar di sekolah maupun di rumah.
Jika RSBI tidak dilarang, sangat mungkin semua
sekolah akan berlomba-lomba membuka kelas RSBI dengan berbagai alasan,
misalnya sebagai eksperimen meningkatkan kualitas proses belajar mengajar
sesuai tuntutan era global.
Padahal, di baliknya ada aroma persaingan yang tidak
sehat dan berpotensi mengorbankan kenyamanan dan keharmonisan yang bisa
berkembang menjadi konflik sosial atau kekerasan horizontal yang meluas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar