Sabtu, 06 April 2013

Anak dan Moralitas Bangsa


Anak dan Moralitas Bangsa
Miarti ;   Praktisi Pendidikan Prasekolah, Aktivis LSM Gema Pertiwi Jawa Barat
SUARA KARYA, 06 April 2013

  
Jika diukur beban anak zaman sekarang dan dahulu, barangkali anak zaman sekarang jauh lebih berbeban. Mulai dari dampak kemudahan teknologi yang cukup sulit untuk diredam, permasalahan moral yang terus mengemuka, serta banyaknya perilaku aneh yang mengakibatkan tipisnya pengertian apakah seseorang bisa dikatakan manusia atau bukan.

Begitupun, rangkaian masalah di negeri ini seolah tiada akhir. Orientasi kekuasaan, korupsi berkepanjangan, pengangguran, kemiskinan yang merajalela, keadilan yang tak juga mengejawantah, penderitaan para TKI yang tak tertuntaskan, korban perkosaan yang hampir tak teradvokasi hingga tuntas, penganiayaan terhadap anak kandung, kekerasan dalam rumah tangga, penjualan anak di bawah umur, banyaknya mafia peradilan alias markus, perilaku bohemian orang-orang berduit, kasus narkoba hingga kematian akibat minuman keras, berita heboh video mesum mirip artis, serta kasus bunuh diri anak.

Rangkaian potret buram bangsa kita secara tidak langsung menjadi fatamorgana memilukan bagi kelangsungan hidup anak-anak. Banyak hal yang seharusnya sangat tidak boleh didengar dan dilihat anak, namun ironisnya bisa mereka dapatkan dengan sangat mudah. Padahal sejatinya, seorang anak dengan segala genuinitasnya, memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menangkap dan merekam berbagai obyek. Sehingga dengan sangat mudahnya mereka mempelajari sesuatu bahkan tanpa diajari secara langsung sekalipun.

Anak memang merupakan pribadi yang unik. Ada berjuta gagasan cerdas yang muncul dari otak jeniusnya. Ada beribu pertanyaan menarik yang tersimpan didalam benaknya. Ada bermiliar pengetahuan yang terekam dalam memorinya. Sungguh pribadi itu suatu anugerah yang sangat berharga. Oleh karena itulah, berbagai tindakan preventif yang arif dan mendidik adalah niscaya.
Jangan sampai kehebatan dan kemuliaan pribadinya hangus dan terberangus oleh kompleksitas permasalahan yang ditimbulkan oleh orang-orang dewasa.

Kehebatan daya tangkap anak seharusnya berbanding lurus dengan berbagai stimulasi yang mendidik dan mencerdaskan. Kehebatan otaknya yang genius dengan miliaran sel saraf menakjubkan, seharusnya menjadi lahan subur bagi orang dewasa untuk mengolahnya menjadi anak cerdas berkualitas. Keceriaannya yang khas dan kepolosannya yang memesona, seharusnya tetap bisa ditampilkan dengan natural tanpa adanya intervensi negatif dalam bentuk amarah orang dewasa dan celaan yang menyakitkan.

Namun, kenyataannya potret demoralisai sangat mudah dilihat, ditiru dan diikuti jejaknya. Tak heran bila ada seorang bocah tiga tahun dengan begitu lihainya berargumen ala peran antagonis di sebuah sinetron. Tak heran, bila seorang anak sudah sangat familiar dengan narkoba. Tak heran pula bila ada seorang anak SD yang mencoba bunuh diri hanya gara-gara tidak mampu membayar biaya sekolah. Sangat tidak heran, apabila ada anak SD yang melakukan tindakan asulila (mesum) seperti yang dicontohkan di internet dan diberitakan di televisi.

Menyelematkan moral anak memang bukanlah perkara yang simplistis dan pragmatis. Menyelesaikannya membutuhkan banyak elemen. Tidak cukup pihak sekolah yang memiliki tugas mendidik dan membina anak. Namun, keluarga pun sejatinya memiliki porsi tanggungjawab yang jauh lebih banyak.

Salah satu hal yang perlu dianggap prioritas yang perlu diupayakan guna menyelematkan anak-anak dari berbagai potret buram bangsa kita yang kini semakin mengemuka adalah penanaman kesadaran ber-Tuhan. Tanamkan kesadaran pada mereka bahwa segala bentuk perilaku, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang baik maupun yang buruk, semuanya akan dilihat dan direkam oleh Allah SWT. Dengan bahasa yang sangat sederhana, hal itu bisa disampaikannya seperti contoh berikut.

Allah akan tahu terhadap siapapun yang berbohong. Allah juga pasti akan melihat apapun yang dilakukan manusia walaupun dengan cara-cara sembunyi-sembunyi. Allah akan mendengar perkataan setiap ummat-Nya. Tangisan, rengekan, kata-kata kasar, semuanya akan didengar oleh Allah. Bahkan kata-kata yang diucapkan dalam hati pun didengar Allah.

Tak cukup sampai di sana. Upaya kita belum tuntas hanya dengan menanamkan kesadaran ber-Tuhan. Namun, perlu direnungkan kembali tentang masalah yang bermunculan di negeri ini. Dalam hal ini, barangkali orang perlu belajar membuka hati dan menerima terhadap masalah yang ada tanpa ada kesan mendukung terhadap kebobrokan moral yang terjadi.

Masalah layaknya sel yang terus berganti dan terus berganti. Bahkan kehadirannya begitu terstruktur mulai dari tingkat kerumitan yang biasa sampai tingkat kerumitan yang luar biasa. Dari tantangan yang sangat standar hingga tantangan yang melelahkan. Dari ujian yang ringan sampai ujian yang sangat berat.

Dan, dengan adanya permasalahaan yang semakin mengemuka, barangkali perlu diambil pelajaran tentang pentingnya sikap optimistis. kemudian, sikap optimistis itu diduplikasikan kepada anak-anak. Oleh karena itu, harus dipastikan kepada anak-anak bahwa negeri ini tak selamanya penuh dengan kompleksitas masalah seperti sekarang ini.

Orang dewasa juga perlu meyakinkan pada mereka bahwa negeri ini bisa berubah. Siapa lagi yang akan mengubah dan memperbaiki negeri ini dari segala kesemerawutan kalau bukan anak-anak generasi penerus. Karena kecemerlangan peradaban bangsa ada di tangan mereka, bukan di tangan orang dewasa.

Betapa gagalnya kita bila anak-anak harus meneruskan jejak kehancuran. Betapa meruginya kita ketika anak-anak kita tumbuh dan berkembang menjadi penerus pelaku korupsi, penerus pelaku pembunuhan, penerus pelaku video mesum, penerus mafia kasus. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar