Rabu, 10 April 2013

Konsensus Ketahanan Energi


Konsensus Ketahanan Energi
Herman Darnel Ibrahim ;  Anggota Dewan Energi Nasional 
REPUBLIKA, 09 April 2013


Perdebatan menghapus subsidi BBM dan listrik terbentur segudang kepentingan popularitas menjelang suksesi 2014. Konsensus nasional patut dilakukan agar ketahanan energi nasional dapat terwujud. Menjelang Pemilu 2014, kecenderungan partai politik menyikapi persoalan subsidi lebih mengarah pada pertimbangan populis ketimbang pertimbangan apa yang rasional. 

Jumlah subsidi BBM dan listrik dalam APBN 2013 adalah sekitar Rp 305 triliun, hampir mencapai 20 persen dari APBN. Jumlah tersebut lebih besar dari belanja modal pemerintah dan juga lebih besar dari anggaran investasi sarana BUMN energi. Kalau tidak diselesaikan, jumlahnya akan terus meningkat.
Terlebih, alokasi subsidi BBM dan listrik yang konon bagi rakyat kecil nyatanya tak menyentuh mereka. Harga BBM di masyarakat pelosok dan terpencil masih jauh dari hitungan subsidi dan sebagian besar masyarakat terpencil belum menikmati listrik PLN.

Saat ini, rasio elektrifi kasi 2012 baru sekitar 70 persen. Artinya, sekitar 30 per sen dari 240 juta penduduk belum menikmati listrik yang selama ini disubsidi dengan biaya menjulang. Lebih ironis lagi, tak sedikit dari masyarakat terpencil yang menggunakan listrik bersumber dari genset diesel sendiri ataupun swasta yang jauh lebih mahal dari listrik PLN karena keterbatasan PLN menjangkau mereka.

Alhasil, masyarakat kecil yang kerap diperdebatkan sebagai alasan mempertahankan program subsidi justru sejak lama membayar BBM, gas, dan listriknya dengan harga yang lebih mahal. Tengok saja di pulau terpencil dan desa di pedalaman, harga eceran 1 liter Premium mencapai Rp 7.000 hingga Rp 10 ribu. Di Ternate, harga gas elpiji tabung 12 kg mencapai Rp 150 ribu karena didatangkan dari Makassar. Lalu, siapa sebenarnya yang menikmati subsidi BBM dan listrik?

Tentu saja, mereka yang banyak menggunakan energi, seperti kelompok perusahaan besar dan kalangan menengah ke atas. Artinya, bila subsidi tetap dilakukan di tengah pertumbuhan energi yang akan mencapai 7-8 persen per tahun-dan harga energi, khususnya minyak yang sewaktu-waktu bergejolak-beban APBN yang dipersiapkan pemerintah pun semakin besar.

Pencabutan subsidi BBM, gas, dan listrik mungkin terasa getir bagi sebagian pihak, tapi langkah tersebut kelak berbuah sangat manis, khususnya dalam mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional. Karena itu, diperlukan sebuah konsensus nasional untuk memutuskan langkah terbaik.

Konsensus nasional terdiri dari lima kesepakatan dalam menata keenergian nasional. Pertama, sepakat bila energi adalah modal pembangunan. Kedua, sepakat bila subsidi komoditas BBM dan listrik dikurangi secara bertahap hingga menuju keekonomiannya, kemudian diganti menjadi subsidi langsung kepada masyarakat miskin. Ketiga, sepakat bila sumber gas alam dan batu bara dicadangkan untuk generasi masa depan. Keempat, sepakat mendorong pengembangan energi terbarukan dengan memberi prioritas dan dukungan anggaran. Dan kelima, sepakat membangun kemandirian pengelolaan energi nasional dengan memprioritaskan pelaku nasional dalam rancang bangun dan proyek-proyek energi.

Dan idealnya, Konsensus Nasional Pengelolaan Energi dapat dilakukan sebelum Pemilu 2014. Hal ini dilakukan sebagai langkah preventif dari kemungkinan penggunaan isu pencabutan BBM dalam menarik simpati rakyat, yang sesungguhnya sedang mempermainkan bom waktu yang sangat fatal. Melalui konsensus nasional, ketahanan dan kemandirian energi pun dapat ditingkatkan.

Pertama, berdaulat dalam pembuatan keputusan pengelolaan energi dari hulu hingga hilir. Kedua, memperbanyak penyediaan dana sendiri untuk infrastruktur energi (diperlukan sekitar 2 persen PDB atau sekitar 10 persen dari APBN) setiap tahun. Ketiga, jika harus berutang, seminimal mungkin pengaruhnya pada kedaulatan negara. Keempat, pelaku dalam negeri menjadi tuan di negeri sendiri. Untuk itu, perlu penguasaan teknologi dan manajemen usaha pertambangan migas, batu bara, kilang minyak, hingga infrastruktur kelistrikan. Dan kelima, membangun kemampuan fabrikasi lokal pendukung keenergian.

Untuk menghindari inflasi, khususnya terhadap harga sembako dan bahan pokok lainnya, penghapusan subsidi dilakukan secara bertahap. Caranya, untuk BBM pemerintah memulai dengan suatu subsidi tetap dan mengambangkan harga sesuai irama harga minyak mentah dunia. Katakan dengan harga minyak mentah yang sekarang 90 dolar AS per barel, harga wajar Premium Rp 7.000 per liter, berarti ada subsidi sebesar Rp 2.500 per liter. Selanjutnya dalam 24-36 bulan, pemerintah mengurangi subsidi antara Rp 50-Rp 100 per liter setiap bulan mempertimbangkan harga minyak dunia. Karena, harga mengambang ini memberi kesempatan pelaku dan masyarakat untuk mempersiapkan diri. 

Sama caranya untuk listrik jika posisi sekarang terdapat subsidi rata-rata sebesar Rp 500 per kWh [biaya produksi per kWh rata rata Rp 1.400, dan harga jual rata-rata Rp 900]. Maka, subsidinya dikurangi sekitar Rp 50 per kWh tiap periode atau tiap bulan atau bahkan bisa tiap tiga bulan. Dalam 10-30 bulan, subsidi akan habis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar