Rabu, 10 April 2013

Kurikulum 2013 Mengkhawatirkan


Kurikulum 2013 Mengkhawatirkan
Baskoro Poedjinoegroho ;  Pemerhati Pendidikan, Koordinator Forum Studi Pendidikan, Mantan Direktur SMA
MEDIA INDONESIA, 09 April 2013

  
Kurikulum yang konon akan dipaksakan berlaku mulai tahun ajaran baru 2013-2014 adalah kurikulum yang menghebohkan. Menghebohkan, lantaran hingga saat ini, daya nalar pemerhati pendidikan, termasuk penulis, tak cukup untuk memahaminya. Yang tidak bermutu, konon, bukan kurikulumnya, tetapi yang mengkritisi itulah yang tidak memahaminya, demikian pendapat Mendikbud dan jajarannya saat menepis catatan kritis Kurikulum 2013.

Bahkan tak jarang ungkapan ‘mengagetkan’ pun muncul dari Kemendikbud/staf ahli, seperti saat ‘sosialisasi’ (searah tanpa dialog seimbang) Kurikulum 2013 pada 28 Maret 2013, kirakira: “Jumlah pemain inti pendidikan yang mendukung kurikulum 2013 banyak”, “Kami adalah ahli karena mantan rektor PT”, “Niat baik kami untuk memperbaiki kualitas pendidikan jangan dihalanghalangi”, “Kami yakin dengan kurikulum 2013 anak-anak Indonesia akan suka belajar”. Lalu, respons-respons pun dibingkai dengan pernyataan bahwa ‘Kurikulum 2013 adalah kurikulum terbaik di Indonesia yang pernah ada’. Bagaimana bisa?

Kurikulum Mengkhawatirkan

Respons-respons dari Kemendikbud/jajarannya sangat jauh dari tradisi akademis yang mengedepankan logika lurus dan keterbukaan berdialog. Sebab, untuk menemukan yang baik dan benar, hal itu diperlukan, terutama bila dibumbui dengan nuansa emosional. Mestinya harus disadari bahwa kurikulum adalah milik publik. Catatan kritis atas kurikulum 2013 yang mengemuka bukan lantaran tidak menghendaki perbaikan kualitas pendidikan, melainkan karena kurikulum tersebut sungguh dalam  keadaan kritis dan akan membuat kritis anak bangsa bila dipaksakan berlaku. Baik proses penyusunannya maupun isinya berindikasi dipaksakan dan dalam ketergesaan sehingga penalarannya susah dimengerti. Apalagi dengan penjelasan lisan yang penuh dengan jargon-jargon mentereng yang meninabobokan, tanpa data yang bisa dicermati.

Dari seluruh komponen kurikulum, Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD adalah hal yang paling perlu dicermati. Karena pada kedua unsur itu, tertulis apa yang mesti dicapai peserta didik melalui proses mengajar-belajar. Kualitas anak bangsa akan ditentukan KI/KD. Oleh karena itu, seharusnya dan sewajibnya KI/KD yang digelar Mendikbud/jajarannya ketika presentasi Kurikulum 2013 di hadapan khalayak terkesan disembunyikan.

Nah, bila kita mengkritisinya, KI/KD sangat kental dengan nuansa ideologis-spiritualistis (ada juga yang menyebutnya teokratis?) yang menenggelamkan bobot edukatif-pedagogisnya. Selain itu, tingkat atau bukti ketercapaiannya pun susah diukur. Kalaupun merupakan derivasi nilai dari UUD, terkesan dipaksakan, dipas-paskan. Contoh, pertama, Ekonomi kelas XI, KI: “Menghayati dan mengamalkan agama yang dianutnya”; KD (1.1): “Melakukan kegiatan akuntansi berdasarkan ajaran agama.“ Kedua, IPA kelas VIII, KI: “Menanggapi dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya“; KD: “Mengagumi keteraturan dan kompleksitas ciptaan Tuhan tentang aspek fisik dan kimiawi kehidupan dalam ekosistem dan peranan manusia dalam lingkungan serta mewujudkannya dalam pengamalan ajaran agama yang dianutnya.“
KI/KD yang dipaksakan semacam itu sangat mengkhawatirkan. Apalagi bila terlalu sering disuarakan bahwa kurikulum 2013 dengan KI/KD semacam itu akan melahirkan anak bangsa yang toleran, mencintai Tuhan Allah dan sesama, dan suka belajar. Kekhawatiran mendalam penulis adalah bahwa yang akan terjadi di kemudian hari adalah yang sebaliknya!

Kerumitan Indikator

KI/KD semacam itu pada gilirannya akan sulit dirumuskan dalam indikator-indikatornya. KI/KD perlu untuk dirumuskan dalam indikator-indikator yang rumit dan sangat kompleks pula. Pada akhirnya membuat pusing tujuh keliling dalam penilaiannya (assessment) lantaran diperlukan penilaian yang sangat komprehensif untuk mengukur ketercapaian indikator.

Pertanyaan selanjutnya, apakah kurikulum 2013 memiliki penilaian untuk mengukur hal tersebut? Terindikasinya kurikulum ini tidak memuat konsep utuh perihal penilaian atau pengukuran keberhasilan belajar peserta didik. Misal, KI/KD IPA kelas VIII di atas, indikator yang tertulis adalah `Mengagumi mata sebagai alat indra ciptaan Tuhan'. Untuk penilaian sikap, rubrik yang ditulis adalah `Menunjukkan ekspresi kekaguman terhadap mekanisme penglihatan mata manusia dan mata serangga dan/atau ungkapan verbal yang menunjukkan rasa syukur terhadap Tuhan'.

Rubrik tersebut sangat susah dimengerti penalarannya dan mengulangi apa yang tertulis dalam indikator, `ekspresi keka guman…’ untuk menjelaskan ‘kekaguman’ terindikasi tidak disusun dengan cermat dan tepat.

Jangan-jangan silabus dan indikator-indikator dari seluruh mata pelajaran dipresentasikan mirip dengan itu. Padahal, penilaian (assessment) adalah unsur sangat penting dalam proses mengajar-belajar, tetapi terkesan direncanakan secara terpaksa. Kurikulum 2013 sangat mengkhawatirkan karena sama sekali tidak mencerdaskan guru dan peserta didik.

Implikasi lebih lanjut akan mengena pada diri guru. Di antaranya, seperti saat menentukan strategi, proses mengajar-belajar, di dalam kelas akan sangat time-consuming, dan sangat rumit untuk memastikan ketercapaian indikator serta penilaian. Padahal harus diingat bahwa guru sendiri senantiasa memiliki persoalan keterbatasan waktu dalam menjalankan proses mengajarbelajar. Kecuali bila guru sekadar diminta untuk menjalankan silabus yang sudah dibuatkan orang lain. Apakah akan berlangsung ala kadarnya?

Backward Design

Oleh karena itu, penulis mengusulkan pengenaan pola pikir Backward Design (BD). BD adalah sebuah pola pikir penyusunan sebuah kurikulum dengan menentukan tujuan pembelajaran (goal), merancang bukti hasil belajar (evidence/assessment), dan merencanakan strategi pembelajaran (strategy) atau proses mengajar-belajar. BD sangat mengandalkan kesediaan guru untuk terlibat aktif dalam merancang kurikulum demi tercapainya tujuan yang dibutuhkan peserta didik. Jadi, kurikulum BD sangat kontekstual. Apalagi dengan alur penggarapan yang sangat jelas, beraturan, dan terencana alias curriculum by design (Jay Mc Tighe & Grant Wiggins, Understanding by Design).

Memang langkah kedua dan ketiga bisa dibalik serta hasilnya mirip. Itu namanya kebetulan (by chance). Hemat penulis, apabila kurikulum didesain dengan pola BD niscaya banyak keuntungan yang mencerdaskan akan dipetik sebagai pengganti pembengkokan nalar. Lantaran semua bukti ketercapaian yang menjawab kebutuhan peserta didik akan lebih terjamin untuk diukur atau dinilai.

Jadi, pola pikir itu lebih menjamin ketercapaian tujuan (KI, KD, indikator). Di samping itu, lebih menjamin kesesuaian antara strategi mengajar-belajar yang dipergunakan guru di dalam kelas dengan tujuan mengajar-belajar atau juga rancangan bukti belajar yang diinginkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar