Kurikulum yang konon akan dipaksakan berlaku mulai
tahun ajaran baru 2013-2014 adalah kurikulum yang menghebohkan.
Menghebohkan, lantaran hingga saat ini, daya nalar pemerhati pendidikan,
termasuk penulis, tak cukup untuk memahaminya. Yang tidak bermutu, konon,
bukan kurikulumnya, tetapi yang mengkritisi itulah yang tidak
memahaminya, demikian pendapat Mendikbud dan jajarannya saat menepis
catatan kritis Kurikulum 2013.
Bahkan tak jarang ungkapan ‘mengagetkan’ pun muncul dari
Kemendikbud/staf ahli, seperti saat ‘sosialisasi’ (searah tanpa dialog
seimbang) Kurikulum 2013 pada 28 Maret 2013, kirakira: “Jumlah pemain
inti pendidikan yang mendukung kurikulum 2013 banyak”, “Kami adalah ahli
karena mantan rektor PT”, “Niat baik kami untuk memperbaiki kualitas
pendidikan jangan dihalanghalangi”, “Kami yakin dengan kurikulum 2013
anak-anak Indonesia akan suka belajar”. Lalu, respons-respons pun
dibingkai dengan pernyataan bahwa ‘Kurikulum 2013 adalah kurikulum
terbaik di Indonesia yang pernah ada’. Bagaimana bisa?
Kurikulum
Mengkhawatirkan
Respons-respons
dari Kemendikbud/jajarannya sangat jauh dari tradisi akademis yang mengedepankan
logika lurus dan keterbukaan berdialog. Sebab, untuk menemukan yang baik
dan benar, hal itu diperlukan, terutama bila dibumbui dengan nuansa
emosional. Mestinya harus disadari bahwa kurikulum adalah milik publik. Catatan
kritis atas kurikulum 2013 yang mengemuka bukan lantaran tidak
menghendaki perbaikan kualitas pendidikan, melainkan karena kurikulum tersebut
sungguh dalam keadaan kritis dan
akan membuat kritis anak bangsa bila dipaksakan berlaku. Baik proses penyusunannya
maupun isinya berindikasi dipaksakan dan dalam ketergesaan sehingga penalarannya
susah dimengerti. Apalagi dengan penjelasan lisan yang penuh dengan
jargon-jargon mentereng yang meninabobokan, tanpa data yang bisa
dicermati.
Dari seluruh komponen kurikulum, Kompetensi Inti (KI) dan
Kompetensi Dasar (KD adalah hal yang paling perlu dicermati. Karena pada
kedua unsur itu, tertulis apa yang mesti dicapai peserta didik melalui
proses mengajar-belajar. Kualitas anak bangsa akan ditentukan KI/KD. Oleh
karena itu, seharusnya dan sewajibnya KI/KD yang digelar
Mendikbud/jajarannya ketika presentasi Kurikulum 2013 di hadapan khalayak
terkesan disembunyikan.
Nah, bila kita mengkritisinya, KI/KD sangat kental dengan nuansa
ideologis-spiritualistis (ada juga yang menyebutnya teokratis?) yang
menenggelamkan bobot edukatif-pedagogisnya. Selain itu, tingkat atau
bukti ketercapaiannya pun susah diukur. Kalaupun merupakan derivasi nilai
dari UUD, terkesan dipaksakan, dipas-paskan. Contoh, pertama, Ekonomi
kelas XI, KI: “Menghayati dan
mengamalkan agama yang dianutnya”; KD (1.1): “Melakukan kegiatan akuntansi berdasarkan ajaran agama.“
Kedua, IPA kelas VIII, KI: “Menanggapi
dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya“; KD: “Mengagumi keteraturan dan
kompleksitas ciptaan Tuhan tentang aspek fisik dan kimiawi kehidupan
dalam ekosistem dan peranan manusia dalam lingkungan serta mewujudkannya
dalam pengamalan ajaran agama yang dianutnya.“
KI/KD yang dipaksakan semacam itu sangat mengkhawatirkan. Apalagi
bila terlalu sering disuarakan bahwa kurikulum 2013 dengan KI/KD semacam
itu akan melahirkan anak bangsa yang toleran, mencintai Tuhan Allah dan
sesama, dan suka belajar. Kekhawatiran mendalam penulis adalah bahwa yang
akan terjadi di kemudian hari adalah yang sebaliknya!
Kerumitan Indikator
KI/KD semacam itu pada gilirannya akan sulit dirumuskan dalam
indikator-indikatornya. KI/KD perlu untuk dirumuskan dalam
indikator-indikator yang rumit dan sangat kompleks pula. Pada akhirnya
membuat pusing tujuh keliling dalam penilaiannya (assessment) lantaran diperlukan penilaian yang sangat
komprehensif untuk mengukur ketercapaian indikator.
Pertanyaan selanjutnya, apakah kurikulum 2013 memiliki penilaian
untuk mengukur hal tersebut? Terindikasinya kurikulum ini tidak memuat
konsep utuh perihal penilaian atau pengukuran keberhasilan belajar
peserta didik. Misal, KI/KD IPA kelas VIII di atas, indikator yang
tertulis adalah `Mengagumi mata sebagai alat indra ciptaan Tuhan'. Untuk
penilaian sikap, rubrik yang ditulis adalah `Menunjukkan ekspresi
kekaguman terhadap mekanisme penglihatan mata manusia dan mata serangga
dan/atau ungkapan verbal yang menunjukkan rasa syukur terhadap Tuhan'.
Rubrik tersebut sangat susah dimengerti penalarannya dan mengulangi
apa yang tertulis dalam indikator, `ekspresi keka guman…’ untuk
menjelaskan ‘kekaguman’ terindikasi tidak disusun dengan cermat dan
tepat.
Jangan-jangan silabus dan indikator-indikator dari seluruh mata
pelajaran dipresentasikan mirip dengan itu. Padahal, penilaian (assessment) adalah unsur sangat
penting dalam proses mengajar-belajar, tetapi terkesan direncanakan
secara terpaksa. Kurikulum 2013 sangat mengkhawatirkan karena sama sekali
tidak mencerdaskan guru dan peserta didik.
Implikasi lebih lanjut akan mengena pada diri guru. Di antaranya,
seperti saat menentukan strategi, proses mengajar-belajar, di dalam kelas
akan sangat time-consuming, dan
sangat rumit untuk memastikan ketercapaian indikator serta penilaian.
Padahal harus diingat bahwa guru sendiri senantiasa memiliki persoalan
keterbatasan waktu dalam menjalankan proses mengajarbelajar. Kecuali bila
guru sekadar diminta untuk menjalankan silabus yang sudah dibuatkan orang
lain. Apakah akan berlangsung ala kadarnya?
Backward
Design
Oleh
karena itu, penulis mengusulkan pengenaan pola pikir Backward Design
(BD). BD adalah sebuah pola pikir penyusunan sebuah kurikulum dengan
menentukan tujuan pembelajaran (goal), merancang bukti hasil belajar (evidence/assessment), dan merencanakan strategi pembelajaran
(strategy) atau proses
mengajar-belajar. BD sangat mengandalkan kesediaan guru untuk terlibat
aktif dalam merancang kurikulum demi tercapainya tujuan yang dibutuhkan
peserta didik. Jadi, kurikulum BD sangat kontekstual. Apalagi dengan alur
penggarapan yang sangat jelas, beraturan, dan terencana alias curriculum by design (Jay Mc Tighe & Grant Wiggins,
Understanding by Design).
Memang langkah kedua dan ketiga bisa dibalik serta hasilnya mirip.
Itu namanya kebetulan (by chance).
Hemat penulis, apabila kurikulum didesain dengan pola BD niscaya banyak
keuntungan yang mencerdaskan akan dipetik sebagai pengganti pembengkokan
nalar. Lantaran semua bukti ketercapaian yang menjawab kebutuhan peserta
didik akan lebih terjamin untuk diukur atau dinilai.
Jadi, pola pikir itu
lebih menjamin ketercapaian tujuan (KI, KD, indikator). Di samping itu,
lebih menjamin kesesuaian antara strategi mengajar-belajar yang
dipergunakan guru di dalam kelas dengan tujuan mengajar-belajar atau juga
rancangan bukti belajar yang diinginkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar