Tepat
8 April 2013, Pemprov DKI Jakarta memulai proses pendaftaran online bagi yang berminat
menduduki jabatan camat atau lurah di lingkungan DKI Jakarta. Kebijakan
seleksi terbuka atau yang dipopulerkan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur
DKI Jakarta, Jokowi-Ahok, dengan istilah lelang jabatan telah mem- beri
harapan pada masyarakat Jakarta untuk kinerja Pemda DKI Jakarta yang
lebih baik.
Ada
tiga hal yang baru dalam kebijakan tersebut: pertama, dilakukan secara
massal untuk 311 posisi camat dan lurah dengan insentif take home pay dan fasilitas yang
cukup menarik; kedua, dibukanya kesempatan bagi 6.063 PNS Pemprov DKI
Jakarta dari berbagai instansi untuk ikut berkompetisi, dan; ketiga, tim assessment yang
tidak saja berasal dari Pemprov DKI Jakarta melainkan juga dari Mabes
Polri dan akademisi (Republika, 5 April 2013).
Tulisan
ini menyajikan analisis terhadap efektivitas kebijakan tersebut dalam
konteks upaya Jokowi-Ahok men transformasi Kota Jakarta menjadi kota
modern. Dengan melihat kenyataan Jakarta saat ini, jelas diperlukan upaya
yang lebih serius untuk mentransformasi Jakarta menjadi kota modern.
Persoalannya, Jokowi-Ahok seringkali mengeluhkan kompetensi pegawai
Pemprov DKI dan secara khusus menilai camat dan lurah yang ada saat ini
belum bisa mengikuti irama kerja cepat mereka.
Adanya
seleksi secara massal untuk posisi camat dan lurah merupakan alternatif
yang dipilih guna memastikan proses transformasi bisa dilakukan dengan
efektif. Dalam konteks transformasi birokrasi di tengah persoalan
masyarakat yang semakin kompleks, kebutuhan SDM dengan skill yang tinggi adalah mutlak.
SDM di sektor lini seperti lurah dan camat dituntut untuk bisa cepat
memahami persoalan masyarakat dan birokrasi di lingkungannya serta bisa
mencari solusi yang tepat.
Secara
teori, proses seleksi yang kompetitif akan memberi kesempatan pada tim assessment untuk memilih orang
yang lebih baik bagi posisi yang akan diisi. Persoalannya, mekanisme
seleksi yang digunakan sejak awal sudah membatasi peserta seleksi pada
pegawai di lingkungan Pemda DKI saja minus tenaga fungsional dari
pendidikan dan kesehatan.
Kondisi
ini tentu saja mengurangi kesempatan para peminat yang memiliki skill tinggi, tapi bukan PNS di
ling kungan Pemprov DKI. Jika benar penilaian Jokowi-Ahok bahwa Pemprov
Jakarta mengalami kelebihan SDM yang tidak kompeten, berarti kemungkinan
besar seleksi juga akan diikuti oleh pe- serta yang tidak kompeten.
Dengan
asumsi bahwa proses seleksi berjalan secara kompetitif dan berhasil
memilih orang-orang terbaik, pilihan seleksi secara massal ini bisa menimbulkan
dampak negatif pada instansi asal SDM terpilih. Jika orang yang terpilih
adalah staf yang diandalkan pada unit kerja lamanya, ini berarti Pemprov
DKI kehilangan kesempatan menghasilkan kemajuan di unit kerja yang staf
andalannya keluar memperkuat lini kecamatan dan kelurahan.
Sekiranya
tidak ada mekanisme antisipatif, sangat mungkin kemajuan di level
kecamatan dan kelurahan harus dibayar dengan kemunduran di unit kerja lama
yang ditinggalkan oleh camat/lurah yang baru. Implikasinya, proses
transformasi birokrasi Pemprov DKI Jakarta secara keseluruhan akan
tersendat karena adanya ketimpangan antarunit kerja.
Kejelasan dan Transparansi
Hambatan
utama transformasi birokrasi tidaklah semata pada SDM, melainkan juga
pada sistem pengendalian yang digunakan untuk memastikan tercapainya
tujuan. Keinginan Jokowi-Ahok agar camat dan lurah bisa bergerak cepat
melakukan perubahan mewujudkan visi Jakarta perlu diikuti mekanisme
kontrol yang jelas dan transparan.
Dengan
asumsi, Jokowi dan Ahok telah merumuskan arahan umum yang tepat,
persoalan selanjutnya terletak pa da kecukupan sumber daya yang dialokasikan,
ketepatan indikator kinerja yang digunakan dan konsistensi evaluasi
terhadap kinerja masing-masing kecamatan dan kelurahan. Di samping juga
diperlukan adanya publikasi kepada masyarakat terhadap standar kinerja
yang ditetapkan dan hasil evaluasi terhadap kinerja mereka.
Dengan
adanya keterbukaan tersebut akan membuka kesempatan masyarakat luas dalam
melakukan kontrol dan memberikan umpan balik untuk perbaikan ke depan.
Berdasarkan penelusuran penulis ke portal resmi Pemprov DKI Jakarta,
www.jakarta.go.id/web, berbagai informasi yang relevan untuk dikomunikasikan
kepada masyarakat terkait kinerja Pemprov DKI sangatlah minim.
Harapan
penulis akan adanya informasi soal rencana kinerja periode lalu beserta
capaian serta analisis kegagalcapaiannya tidaklah terpenuhi. Untuk
proyeksi ke depan, penulis juga tidak menemukan dokumen baseline kinerja Pemprov DKI saat
ini dan target yang hendak dicapai untuk satu tahun ke depan dengan
anggaran yang telah disetujui. Kondisi ini tentu saja tidak sesuai dengan
semangat mentransformasi Jakarta menjadi kota modern.
Realitas
Pemprov DKI Jakarta yang masih rendah tingkat transparansi kinerjanya
ini, merupakan sisi lain yang perlu diperhatikan secara serius oleh Jokowi-Ahok.
Sangat mungkin, lambatnya birokrasi di lini camat dan lurah selama ini
lebih disebabkan karena tidak jelasnya target kinerja dan tidak adanya
mekanisme kontrol. Hal ini lebih diperparah dengan tidak adanya
komunikasi pemprov kepada publik tentang standar layanan di setiap unit
kerja dan tidak adanya mekanisme efektif bagi publik mengadukan ketidakpuasannya
terhadap layanan yang diterima.
Dengan
membayangkan bahwa setiap masyarakat terinformasi dengan baik tentang
standar layanan yang berhak mereka terima dan mereka punya akses 24 jam,
transformasi birokrasi Pemprov DKI Jakarta menjadi birokrasi yang modern
akan menjadi kenyataan. Akan tetapi, jika lelang jabatan hanya berhenti
pada pengisian orang baru untuk pos camat dan lurah, maka harapan warga
untuk adanya perbaikan kualitas hidup, sepertinya jauh. Aktivitas
blusukan Gubernur Jokowi tidak bisa sepenuhnya menjadi jaminan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar