Rabu, 10 April 2013

Lelang Jabatan


Lelang Jabatan
Rizal Yaya ;  Dosen FE-UMY, Sedang S-3 di University of Aberdeen, Skotlandia 
REPUBLIKA, 09 April 2013

  
Tepat 8 April 2013, Pemprov DKI Jakarta memulai proses pendaftaran online bagi yang berminat menduduki jabatan camat atau lurah di lingkungan DKI Jakarta. Kebijakan seleksi terbuka atau yang dipopulerkan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Jokowi-Ahok, dengan istilah lelang jabatan telah mem- beri harapan pada masyarakat Jakarta untuk kinerja Pemda DKI Jakarta yang lebih baik. 

Ada tiga hal yang baru dalam kebijakan tersebut: pertama, dilakukan secara massal untuk 311 posisi camat dan lurah dengan insentif take home pay dan fasilitas yang cukup menarik; kedua, dibukanya kesempatan bagi 6.063 PNS Pemprov DKI Jakarta dari berbagai instansi untuk ikut berkompetisi, dan; ketiga, tim assessment yang tidak saja berasal dari Pemprov DKI Jakarta melainkan juga dari Mabes Polri dan akademisi (Republika, 5 April 2013). 

Tulisan ini menyajikan analisis terhadap efektivitas kebijakan tersebut dalam konteks upaya Jokowi-Ahok men transformasi Kota Jakarta menjadi kota modern. Dengan melihat kenyataan Jakarta saat ini, jelas diperlukan upaya yang lebih serius untuk mentransformasi Jakarta menjadi kota modern.
Persoalannya, Jokowi-Ahok seringkali mengeluhkan kompetensi pegawai Pemprov DKI dan secara khusus menilai camat dan lurah yang ada saat ini belum bisa mengikuti irama kerja cepat mereka. 

Adanya seleksi secara massal untuk posisi camat dan lurah merupakan alternatif yang dipilih guna memastikan proses transformasi bisa dilakukan dengan efektif. Dalam konteks transformasi birokrasi di tengah persoalan masyarakat yang semakin kompleks, kebutuhan SDM dengan skill yang tinggi adalah mutlak. SDM di sektor lini seperti lurah dan camat dituntut untuk bisa cepat memahami persoalan masyarakat dan birokrasi di lingkungannya serta bisa mencari solusi yang tepat. 

Secara teori, proses seleksi yang kompetitif akan memberi kesempatan pada tim assessment untuk memilih orang yang lebih baik bagi posisi yang akan diisi. Persoalannya, mekanisme seleksi yang digunakan sejak awal sudah membatasi peserta seleksi pada pegawai di lingkungan Pemda DKI saja minus tenaga fungsional dari pendidikan dan kesehatan. 

Kondisi ini tentu saja mengurangi kesempatan para peminat yang memiliki skill tinggi, tapi bukan PNS di ling kungan Pemprov DKI. Jika benar penilaian Jokowi-Ahok bahwa Pemprov Jakarta mengalami kelebihan SDM yang tidak kompeten, berarti kemungkinan besar seleksi juga akan diikuti oleh pe- serta yang tidak kompeten.

Dengan asumsi bahwa proses seleksi berjalan secara kompetitif dan berhasil memilih orang-orang terbaik, pilihan seleksi secara massal ini bisa menimbulkan dampak negatif pada instansi asal SDM terpilih. Jika orang yang terpilih adalah staf yang diandalkan pada unit kerja lamanya, ini berarti Pemprov DKI kehilangan kesempatan menghasilkan kemajuan di unit kerja yang staf andalannya keluar memperkuat lini kecamatan dan kelurahan.

Sekiranya tidak ada mekanisme antisipatif, sangat mungkin kemajuan di level kecamatan dan kelurahan harus dibayar dengan kemunduran di unit kerja lama yang ditinggalkan oleh camat/lurah yang baru. Implikasinya, proses transformasi birokrasi Pemprov DKI Jakarta secara keseluruhan akan tersendat karena adanya ketimpangan antarunit kerja.

Kejelasan dan Transparansi

Hambatan utama transformasi birokrasi tidaklah semata pada SDM, melainkan juga pada sistem pengendalian yang digunakan untuk memastikan tercapainya tujuan. Keinginan Jokowi-Ahok agar camat dan lurah bisa bergerak cepat melakukan perubahan mewujudkan visi Jakarta perlu diikuti mekanisme kontrol yang jelas dan transparan. 

Dengan asumsi, Jokowi dan Ahok telah merumuskan arahan umum yang tepat, persoalan selanjutnya terletak pa da kecukupan sumber daya yang dialokasikan, ketepatan indikator kinerja yang digunakan dan konsistensi evaluasi terhadap kinerja masing-masing kecamatan dan kelurahan. Di samping juga diperlukan adanya publikasi kepada masyarakat terhadap standar kinerja yang ditetapkan dan hasil evaluasi terhadap kinerja mereka. 

Dengan adanya keterbukaan tersebut akan membuka kesempatan masyarakat luas dalam melakukan kontrol dan memberikan umpan balik untuk perbaikan ke depan. Berdasarkan penelusuran penulis ke portal resmi Pemprov DKI Jakarta, www.jakarta.go.id/web, berbagai informasi yang relevan untuk dikomunikasikan kepada masyarakat terkait kinerja Pemprov DKI sangatlah minim. 

Harapan penulis akan adanya informasi soal rencana kinerja periode lalu beserta capaian serta analisis kegagalcapaiannya tidaklah terpenuhi. Untuk proyeksi ke depan, penulis juga tidak menemukan dokumen baseline kinerja Pemprov DKI saat ini dan target yang hendak dicapai untuk satu tahun ke depan dengan anggaran yang telah disetujui. Kondisi ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat mentransformasi Jakarta menjadi kota modern.

Realitas Pemprov DKI Jakarta yang masih rendah tingkat transparansi kinerjanya ini, merupakan sisi lain yang perlu diperhatikan secara serius oleh Jokowi-Ahok. Sangat mungkin, lambatnya birokrasi di lini camat dan lurah selama ini lebih disebabkan karena tidak jelasnya target kinerja dan tidak adanya mekanisme kontrol. Hal ini lebih diperparah dengan tidak adanya komunikasi pemprov kepada publik tentang standar layanan di setiap unit kerja dan tidak adanya mekanisme efektif bagi publik mengadukan ketidakpuasannya terhadap layanan yang diterima.

Dengan membayangkan bahwa setiap masyarakat terinformasi dengan baik tentang standar layanan yang berhak mereka terima dan mereka punya akses 24 jam, transformasi birokrasi Pemprov DKI Jakarta menjadi birokrasi yang modern akan menjadi kenyataan. Akan tetapi, jika lelang jabatan hanya berhenti pada pengisian orang baru untuk pos camat dan lurah, maka harapan warga untuk adanya perbaikan kualitas hidup, sepertinya jauh. Aktivitas blusukan Gubernur Jokowi tidak bisa sepenuhnya menjadi jaminan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar