Senin, 08 April 2013

“Kecolongan” Inflasi


“Kecolongan” Inflasi
A Tony Prasetiantono ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
KOMPAS, 08 April 2013
  

Inflasi tiga bulan pertama 2013 benar-benar seperti pencuri. Tanpa diduga—ketika kita asyik berdebat tentang urgensi kenaikan harga BBM bersubsidi—tiba-tiba inflasi year on year (12 bulan terakhir) melejit ke 5,9 persen. Angka ini jauh di atas ekspektasi semua pihak. Pemerintah menargetkan inflasi 4,9 persen, sementara Bank Indonesia memproyeksikan maksimal 5,5 persen. Data inflasi tahun kalender (Januari-Maret 2013) sudah 2,43 persen, padahal tahun 2012 inflasi hanya 4,3 persen. Kali ini benar-benar ”kecolongan” inflasi.

Yang mencengangkan adalah penyebab inflasi, yakni melambungnya harga kelompok makanan, terutama produk hortikultura, yaitu bawang putih dan bawang merah serta cabai. Ini di luar dugaan karena dalam beberapa tahun terakhir ini produk-produk tersebut tidak menyumbangkan inflasi signifikan. Karena sektor ini harganya dianggap aman, pemerintah pun percaya diri melarang impor hortikultura.

Kebijakan ini sebenarnya bisa dipahami sebagai upaya menekan defisit perdagangan. Tahun 2012, kita menderita defisit neraca perdagangan 1,6 miliar dollar AS. Karena itu, logis jika pemerintah bertindak protektif agar secepatnya mengubah defisit menjadi surplus perdagangan. Sementara itu, niat ini kandas. Defisit perdagangan masih berlanjut, bahkan naik menjadi 402 juta dollar AS pada Januari-Februari 2013. Jika tren ini berlanjut, defisit perdagangan tahun ini akan mencapai 2,4 miliar dollar AS, atau lebih besar daripada defisit 2012.

Lalu, apa yang salah? Ada tiga kemungkinan. Pertama, sudah lama diketahui bahwa kita sering kesulitan mendapatkan data sektor pertanian yang valid dan terkini: berapa jumlah produksi, berapa jumlah konsumsi, berapa yang bisa diekspor, atau berapa yang masih harus diimpor.
Akibatnya, saat larangan impor hortikultura diberlakukan, ternyata pasokan tidak cukup tersedia sehingga harga melambung. Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pusat Statistik harus bekerja sama memperbaiki kualitas, akurasi, dan data. Tanpa data yang tepercaya dan up to date, kebijakan sektor pertanian dan perdagangan cenderung bias.

Kedua, kalaupun data pasokan dan permintaan nasional ada, masih harus disertai data persebarannya. Misalnya, bagaimana distribusi pasokannya? Jika terjadi kelebihan pasokan di Sulawesi, misalnya, tidak bisa serta-merta produknya dialirkan ke Jawa atau Sumatera yang minim pasokan. Distribusi barang menjadi hal krusial yang tidak bisa diselesaikan sekejap. Tenggang waktu (time lag) distribusi beberapa hari saja sudah cukup memicu kenaikan harga.

Ketiga, kelemahan distribusi barang kadang-kadang dimanfaatkan oleh sekelompok spekulan untuk menaikkan harga. Kesempatan dalam kesempitan (moral hazard) biasa terjadi di sektor pertanian. Hal ini tidak saja pada produk hortikultura, tetapi juga pada beras, gula, gandum, dan lain-lain.
Karena itu, kebijakan pelarangan impor hortikultura perlu diubah menjadi mengizinkan impor dengan tarif tertentu yang masih memungkinkan harga domestik tetap terjangkau. Agar tidak merugikan petani domestik, izin impor diberi kuota tertentu supaya harga tidak turun cepat. Kebijakan semacam ini dimungkinkan karena negara masih memerlukan ketahanan sektor pertanian. Bahkan, negara sekelas Jepang pun melakukan proteksi beras dalam rangka ketahanan pangan (food security). Mereka menetapkan harga dasar (floor price) beras untuk melindungi petani.

Selanjutnya, bagaimana prospek suku bunga jika inflasi year on year kini sudah 5,9 persen? Apakah suku bunga akan serta-merta naik? Dengan inflasi 5,9 persen, mestinya suku bunga acuan (BI Rate) seyogianya naik dari 5,75 persen menjadi 6 persen. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga agar suku bunga riil (real interest rate)—yakni selisih antara suku bunga simpanan dan inflasi— tetap positif. Jika tidak dijaga, para penabung berpotensi mengalihkan kekayaannya menjadi bentuk-bentuk portofolio lainnya: pembelian valuta asing, saham, emas, properti, dan seterusnya.

BI tampaknya cenderung akan mengamati dinamika pasar uang hingga menit-menit terakhir sebelum rapat penentuan BI Rate, pertengahan April ini. Jika pasar merespons negatif kenaikan inflasi, ekspresinya akan tecermin di pasar uang. Jika rupiah melemah signifikan dari posisi pekan lalu Rp 9.740 per dollar AS, kenaikan BI Rate tak terelakkan. Tes pasar juga dideteksi dari perkembangan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah. Jika imbal hasil naik, berarti pasar tak bisa menoleransi kenaikan inflasi, dan meminta kenaikan suku bunga.

Namun, jika respons pasar masih dalam batas kewajaran, artinya pelemahan rupiah dan kenaikan yield berada dalam kisaran sempit, BI bisa mempertahankan BI Rate 5,75 persen. Mengapa? Jika suku bunga naik, misalnya BI Rate 6 persen atau bahkan 6,25 persen, bisa berimbas negatif. Peristiwa ini bisa menghilangkan momentum bagi dua kebijakan penting: (1) pemangkasan subsidi energi dan (2) redenominasi rupiah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa kian ragu menaikkan harga BBM bersubsidi. Subsidi energi tahun ini bakal Rp 320 triliun, tahun depan Rp 360 triliun, dan tahun 2015 di atas Rp 400 triliun. Angka yang menakutkan bagi Presiden mendatang.

Bayang-bayang inflasi tinggi tahun ini sudah di depan mata. Persoalan paling mendasar harus segera dibenahi. Harus diakui bahwa konfigurasi geografis Indonesia dengan persebaran wilayah yang luas dan sulit dengan kendala infrastruktur membuat upaya stabilisasi harga komoditas pertanian menjadi sulit. Ini masalah lama yang seharusnya mulai dapat tertangani.

Upaya stabilisasi harga harus dimulai dari penyediaan data dengan reliabilitas tinggi. Berangkat dari data yang valid inilah kita bisa menentukan: kapan kita bisa swasembada, kapan mengekspor, kapan mengimpor, serta bagaimana distribusi dilakukan antardaerah dan antarpulau dengan baik. Tanpa pengelolaan hal-hal fundamental ini, inflasi akan berkembang liar tanpa kendali. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar