Inflasi tiga bulan pertama 2013 benar-benar seperti pencuri. Tanpa
diduga—ketika kita asyik berdebat tentang urgensi kenaikan harga BBM
bersubsidi—tiba-tiba inflasi year on year (12 bulan terakhir)
melejit ke 5,9 persen. Angka ini jauh di atas ekspektasi semua pihak.
Pemerintah menargetkan inflasi 4,9 persen, sementara Bank Indonesia
memproyeksikan maksimal 5,5 persen. Data inflasi tahun kalender
(Januari-Maret 2013) sudah 2,43 persen, padahal tahun 2012 inflasi hanya
4,3 persen. Kali ini benar-benar ”kecolongan” inflasi.
Yang mencengangkan adalah penyebab inflasi, yakni melambungnya
harga kelompok makanan, terutama produk hortikultura, yaitu bawang putih
dan bawang merah serta cabai. Ini di luar dugaan karena dalam beberapa
tahun terakhir ini produk-produk tersebut tidak menyumbangkan inflasi
signifikan. Karena sektor ini harganya dianggap aman, pemerintah pun
percaya diri melarang impor hortikultura.
Kebijakan ini sebenarnya bisa dipahami sebagai upaya menekan
defisit perdagangan. Tahun 2012, kita menderita defisit neraca
perdagangan 1,6 miliar dollar AS. Karena itu, logis jika pemerintah
bertindak protektif agar secepatnya mengubah defisit menjadi surplus
perdagangan. Sementara itu, niat ini kandas. Defisit perdagangan masih
berlanjut, bahkan naik menjadi 402 juta dollar AS pada Januari-Februari
2013. Jika tren ini berlanjut, defisit perdagangan tahun ini akan
mencapai 2,4 miliar dollar AS, atau lebih besar daripada defisit 2012.
Lalu, apa yang salah? Ada tiga kemungkinan. Pertama, sudah lama
diketahui bahwa kita sering kesulitan mendapatkan data sektor pertanian
yang valid dan terkini: berapa jumlah produksi, berapa jumlah konsumsi,
berapa yang bisa diekspor, atau berapa yang masih harus diimpor.
Akibatnya, saat larangan impor hortikultura diberlakukan, ternyata
pasokan tidak cukup tersedia sehingga harga melambung. Kementerian
Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pusat Statistik harus
bekerja sama memperbaiki kualitas, akurasi, dan data. Tanpa data yang
tepercaya dan up to date, kebijakan sektor pertanian dan perdagangan
cenderung bias.
Kedua, kalaupun data pasokan dan permintaan nasional ada, masih
harus disertai data persebarannya. Misalnya, bagaimana distribusi
pasokannya? Jika terjadi kelebihan pasokan di Sulawesi, misalnya, tidak
bisa serta-merta produknya dialirkan ke Jawa atau Sumatera yang minim
pasokan. Distribusi barang menjadi hal krusial yang tidak bisa
diselesaikan sekejap. Tenggang waktu (time
lag) distribusi beberapa hari saja sudah cukup memicu kenaikan harga.
Ketiga, kelemahan distribusi barang kadang-kadang dimanfaatkan oleh
sekelompok spekulan untuk menaikkan harga. Kesempatan dalam kesempitan (moral hazard) biasa terjadi di
sektor pertanian. Hal ini tidak saja pada produk hortikultura, tetapi
juga pada beras, gula, gandum, dan lain-lain.
Karena itu, kebijakan pelarangan impor hortikultura perlu diubah
menjadi mengizinkan impor dengan tarif tertentu yang masih memungkinkan
harga domestik tetap terjangkau. Agar tidak merugikan petani domestik,
izin impor diberi kuota tertentu supaya harga tidak turun cepat.
Kebijakan semacam ini dimungkinkan karena negara masih memerlukan
ketahanan sektor pertanian. Bahkan, negara sekelas Jepang pun melakukan
proteksi beras dalam rangka ketahanan pangan (food security). Mereka menetapkan harga dasar (floor price) beras untuk
melindungi petani.
Selanjutnya, bagaimana prospek suku bunga jika inflasi year on year kini sudah 5,9
persen? Apakah suku bunga akan serta-merta naik? Dengan inflasi 5,9
persen, mestinya suku bunga acuan (BI
Rate) seyogianya naik dari 5,75 persen menjadi 6 persen. Hal ini
perlu dilakukan untuk menjaga agar suku bunga riil (real interest
rate)—yakni selisih antara suku bunga simpanan dan inflasi— tetap
positif. Jika tidak dijaga, para penabung berpotensi mengalihkan
kekayaannya menjadi bentuk-bentuk portofolio lainnya: pembelian valuta
asing, saham, emas, properti, dan seterusnya.
BI tampaknya cenderung akan mengamati dinamika pasar uang hingga
menit-menit terakhir sebelum rapat penentuan BI Rate, pertengahan April
ini. Jika pasar merespons negatif kenaikan inflasi, ekspresinya akan
tecermin di pasar uang. Jika rupiah melemah signifikan dari posisi pekan
lalu Rp 9.740 per dollar AS, kenaikan BI Rate tak terelakkan. Tes pasar
juga dideteksi dari perkembangan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah. Jika imbal hasil naik, berarti
pasar tak bisa menoleransi kenaikan inflasi, dan meminta kenaikan suku
bunga.
Namun, jika respons pasar masih dalam batas kewajaran, artinya
pelemahan rupiah dan kenaikan yield
berada dalam kisaran sempit, BI bisa mempertahankan BI Rate 5,75 persen.
Mengapa? Jika suku bunga naik, misalnya BI Rate 6 persen atau bahkan 6,25
persen, bisa berimbas negatif. Peristiwa ini bisa menghilangkan momentum
bagi dua kebijakan penting: (1) pemangkasan subsidi energi dan (2)
redenominasi rupiah.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa kian ragu menaikkan harga
BBM bersubsidi. Subsidi energi tahun ini bakal Rp 320 triliun, tahun
depan Rp 360 triliun, dan tahun 2015 di atas Rp 400 triliun. Angka yang
menakutkan bagi Presiden mendatang.
Bayang-bayang inflasi tinggi tahun ini sudah di depan mata. Persoalan
paling mendasar harus segera dibenahi. Harus diakui bahwa konfigurasi
geografis Indonesia dengan persebaran wilayah yang luas dan sulit dengan
kendala infrastruktur membuat upaya stabilisasi harga komoditas pertanian
menjadi sulit. Ini masalah lama yang seharusnya mulai dapat tertangani.
Upaya stabilisasi harga harus dimulai dari penyediaan data dengan
reliabilitas tinggi. Berangkat dari data yang valid inilah kita bisa
menentukan: kapan kita bisa swasembada, kapan mengekspor, kapan
mengimpor, serta bagaimana distribusi dilakukan antardaerah dan
antarpulau dengan baik. Tanpa pengelolaan hal-hal fundamental ini,
inflasi akan berkembang liar tanpa kendali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar