PERJUANGAN pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten
Masduki, cagub-cawagub yang diusung PDIP dalam Pilgub Jabar 2013 akhirnya
kandas setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan mereka. Berdasarkan
penetapan KPU, duet Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar memenangi pesta demokrasi
regional itu dengan dukungan 32,29% suara, adapun Rieke-Teten
memperoleh 28,41% suara (suaramerdeka.com).
Pasangan Rieke-Teten mengusung optimisme tinggi bisa mengalahkan calon
gubernur incumbent, apalagi Gubernur DKI Jakarta Jokowi ikut berkampanye.
Selain di Jabar, PDIP juga memboyong Gubernur DKI Jakarta itu untuk
berkampanye dalam Pilgub Sumatra Utara 2013, mendukung pasangan Effendi
MS Simbolon-Jumiran Abdi (Esja) yang kemudian menempati posisi kedua
dengan 24,34% suara. Pasangan dari PDIP itu kalah dari duet PKS, Gatot
Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi yang dinyatakan menang dengan 33% suara .
Kekalahan pasangan PDIP dalam dua pilgub menjadi catatan tersendiri, di
tengah optimisme tinggi elite partai itu memenangi pilkada. Tak kurang
keterlibatan DPP, yang menugaskan Jokowi sebagai jurkam andalan. Petinggi
partai berharap ''Jokowi effect'' bisa sampai ke Jabar dan Sumut.
Popularitas tinggi Jokowi di DKI Jakarta --bahkan beberapa kali
survei capres menempatkan namanya pada urutan atas-- ternyata tidak
berlaku di daerah lain.
Jokowi yang sukses sebagai Wali Kota Solo, mendapat sambutan luar biasa
di Jakarta, terbukti dengan keberhasilan mengalahkan incumbent dalam
Pilgub DKI 2012. Tapi success story itu tidak bisa dibawa ke daerah lain
yang memiliki banyak perbedaan dari DKI. Terlebih, dia hanya punya
sedikit waktu untuk berkampanye bagi rekan separtai sehingga tidak
berdampak maksimal.
Waktu Lama
Cara kampanye model Jokowi efektif menarik simpati masyarakat untuk
memilih dirinya, bukan untuk mengajak memilih orang lain. Ketika
berkampanye untuk pasangan Rieke-Teten di Jabar dan Ganteng di Sumut,
Jokowi mendapat sambutan hangat dan dielu-elukan masyarakat. Artinya,
Jokowi sangat terkenal pada kalangan masyarakat bawah, tapi popularitas
itu tidak cukup untuk mengajak orang lain memilih rekan separtai.
Rupanya waktu yang diberikan untuk Jokowi dalam mengampanyekan rekan itu
sangat terbatas sehingga tidak banyak yang bisa disampaikan. Masyarakat
yang didatangi baru pada taraf mengagumi Jokowi, yang selama ini sudah
sangat mereka kenal melalui berbagai media.
Kendati menjadi pesohor, pesannya tidak sepenuhnya diterima masyarakat,
karena mereka hanya terpesona oleh keberhasilan dan kehebatan
Jokowi di Solo dan Jakarta. Bisa jadi kalau Jokowi punya waktu lebih lama
untuk berkampanye bagi rekannya, hasilnya akan berbeda. Tapi berharap
pada Jokowi effect dalam
kondisi seperti itu tampaknya terlalu berlebihan, apalagi kondisi yang
dihadapi masing-masing daerah berbeda.
Dua pilgub ini tampaknya mengandalkan Jokowi effect untuk mendulang suara
bagi calon PDIP dalam pilgub lain, harus dikaji ulang. Setelah Jabar dan
Sumut, Pilgub Jateng dan Jatim juga menyusul. DPP PDIP akan memberdayakan
Jokowi untuk berkampanye dalam Pilgub Jateng dalam waktu dekat ini.
Jateng akan menjadi test case baginya, apakah mampu mendulang suara di
tanah kelahiran bagi pasangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko.
Pada pilgub Jateng Jokowi harus bekerja lebih keras untuk mendongkrak
popularitas pasangan yang diusung PDIP, yang menggusur nama wagub
Rustriningsih yang jauh lebih populer tapi tidak mendapat rekomendasi
dari DPP. Kalau Jokowi diterjunkan lagi sebagai jurkam pada pilgub 26 Mei
2013 maka dia harus memiliki banyak waktu untuk mengenalkan pasangan ini
kepada khalayak, karena dari sisi popularitas masih kalah dari pesaingnya.
Sama seperti Jabar dan Sumut, di Jateng pasangan calon PDIP akan
berhadapan dengan incumbent. Incumbent Bibit Waluyo yang berpasangan
dengan Prof Dr Sudijono Sastroatmodjo, Rektor Unes Semarang, akan menjadi
lawan yang berat bagi kontestan lain.
Pasangan ini akan menjadi batu sandungan bagi calon yang didukung oleh
PDIP, karena lebih populer. Tapi semua bisa berubah melalui kampanye yang
efektif. Kalau Jokowi diharap mampu mendulang suara untuk pasangan PDIP,
dia harus diberi waktu lebih lama berkampanye. Pilgub Jateng mungkin
menjadi pengecualian karena Jokowi sudah sangat akrab dengan daerah ini,
terutama wilayah Solo dan sekitarnya.
Loyalitasnya kepada partai dengan menjadi jurkam di Jabar dan Sumut,
tidak diragukan lagi, dia akan melakukan hal yang sama di daerah yang
menjadi lumbung suara PDIP itu. Rivalitas Jokowi, saat masih menjadi wali
kota Solo, dengan Bibit Waluyo sebagai gubernur Jateng, akan menjadi
motivasi tersendiri untuk mengalahkan mantan atasannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar