Sebagai orang yang pernah studi
khusus tentang kurikulum dan pengajaran, membaca kompetensi inti dan
kompetensi dasar dalam Kurikulum 2013 saya seperti mengikuti sebuah alur
perjalanan pendidikan yang aneh.
Nalar saya tak dapat memahami
dan daya imajinasi saya tidak dapat membayangkan seperti apa praktik
pembelajaran Kurikulum 2013 ini di kelas, bagaimana sistem evaluasinya,
dan betapa sibuknya guru karena bingung menerapkan Kurikulum 2013 di
kelas. Saya coba menemukan di mana letak keanehan dan kecanggungan ini.
Akhirnya saya menemukan satu penjelasan resmi tentang mengapa Kurikulum
2013 memang terasa aneh, di mana kompetensi inti (KI) dan kompetensi
dasar (KD) sepertinya dipaksa-paksakan. Alasan ini ada dalam pilihan
filsafat yang melandasi Kurikulum 2013, yaitu filsafat eklektisisme!
Dalam buku penjelasan tentang KI
dan KD untuk sekolah dasar tertulis, ”filosofi
yang dianut dalam kurikulum adalah eklektik”. Selain menyebut
kehadiran filsafat eklektik, aliran filsafat lain juga disebutkan,
seperti perenialisme, esensialisme, humanisme, progresifisme, dan
rekonstruktifisme sosial.
Karena filosofi yang dianut
dalam kurikulum adalah eklektik, seperti dikemukakan di bagian landasan
filosofi, nama mata pelajaran dan isi mata pelajaran untuk kurikulum yang
akan dikembangkan tidak perlu terikat pada kaidah filosofi esensialisme
dan perenialisme.
Saya yakin, kalau kita tanya
kepada para guru tentang aliran-aliran filsafat yang disebutkan dalam
penjelasan KI dan KD Kurikulum 2013, dapat dipastikan mereka tidak banyak
tahu tentang aliran-aliran filsafat itu. Jadi, penyebutan berbagai macam
aliran filsafat di atas tidak akan memiliki banyak arti bagi guru karena
mereka sebagian jarang berurusan dengan pemikiran filosofis seperti di
atas.
Arus Pemikiran Pendidikan
Filsafat pendidikan perenialisme
atau tradisionalisme pada intinya ingin mengatakan bahwa prinsip-prinsip
pendidikan yang fundamental, yang ada sekarang ini, sesungguhnya telah
ada dari dulu. Prinsip ini berlaku sepanjang masa—di mana pun dan kapan
pun—sebab telah teruji keampuhannya bagi peradaban umat manusia.
Maka, tugas pendidikan
mewariskan prinsip-prinsip dasar pendidikan dan nilai-nilai kebajikan
yang berlaku universal kepada generasi kini dan yang akan datang agar
mereka dapat hidup secara bermartabat. Fakta-fakta akan berubah, tetapi
prinsip pendidikan tetap. Inilah yang harus diajarkan di sekolah.
Filsafat pendidikan esensialis
sebaliknya, yakni ingin mengajarkan hal-hal yang mendasar, tetapi tak fundamental,
melainkan esensial yang dibutuhkan peserta didik, berupa pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan agar mereka bisa hidup di dunia nyata.
Filsafat ini tidak mengutamakan isi pengetahuan, tetapi mengajarkan
keterampilan yang dibutuhkan. Dengan keterampilan ini, siswa dapat hidup
di masyarakat.
Filsafat humanisme merupakan
gerakan filsafat yang muncul pada abad ke-14. Filsafat ini ingin
mengembalikan dimensi manusia ideal yang ada dalam sastra klasik, di mana
pembelajaran kebudayaan dan bahasa klasik jadi salah satu sarana untuk
sampai pada pembentukan manusia ideal. Filsafat humanisme dalam
pendidikan tetap mengutamakan materi, program, guru, dan metode
pembelajaran sebagai bagian utama pendidikan.
Adapun filsafat pendidikan
progresif merupakan satu pendekatan yang menentang ketiga aliran di atas.
Filsafat progresif, yang mulai muncul abad ke-19 dengan tokoh antara lain
John Dewey, Ovide Decroly, dan Maria Montessori. Pendekatan ini oleh
Dewey disebut sebagai Revolusi Kopernikan dalam pedagogi. Pusat pedagogi
tradisional, seperti dalam perenialisme, humanisme, dan esensialisme
adalah program studi, guru, disiplin ilmu, dan metode. Dalam pedagogi
pendidikan baru ini terjadi perubahan pusat gravitasi, yaitu pada siswa.
Filsafat pendidikan progresif,
sering kali disebut juga dengan belajar melalui pengalaman langsung,
tidak jarang menuai kritik karena pendekatannya yang terlalu berpusat
pada anak sehingga melepaskan konteks hidup anak di masyarakat. Ia juga
melulu mengorientasikan pendidikan pada apa yang dibutuhkan anak.
Padahal, masyarakat akan menjadi
lebih baik kalau kita juga mempersiapkan peserta didik agar mampu
memperbarui tatanan masyarakat yang ada menjadi lebih baik. Inilah garis
besar filsafat pendidikan sosial rekonstruksionisme.
Filsafat pendidikan ini ingin
mengatakan bahwa masyarakat yang ada sekarang berada dalam keadaan krisis
sehingga model pendidikan mestinya melahirkan generasi pembaru sejarah.
Suatu generasi yang mampu melahirkan individu guna mengubah tatanan
masyarakat dengan pengetahuan, keterampilan, dan kekuatan kehendaknya.
Kita tak cukup sekadar membentuk individu jadi seorang yang cerdas dan
berakhlak mulia, tetapi juga seorang yang peduli, mau, dan mampu mengubah
tatanan masyarakat yang ada sekarang ini menjadi lebih baik, lebih adil,
lebih manusiawi, dan layak huni.
Kelemahan Eklektisisme
Filsafat eklektik pada
hakikatnya adalah ingin memilih yang terbaik dari banyak pendekatan.
Istilah ini secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu
eklektikos, yang artinya memilih atau menyeleksi. Eklektik adalah
menggabungkan hal-hal yang berbeda, yang sebenarnya tidak cocok satu sama
lain, jadi satu mosaik tersendiri. Pendekatan tidak melihat bahwa hal-hal
yang dipilih itu secara natural, fundamental, cocok dan dapat diintegrasikan,
tetapi sekadar menggabung-gabungkan apa yang baik menjadi satu kesatuan.
Karena itu, pendekatan eklektik sering kali dianggap sebagai pendekatan
yang tidak elegan, gabungan kompleks yang tidak jelas, jauh dari
kesederhanaan berpikir secara nalar, serta sering kali dianggap tidak
memiliki konsistensi dalam pemikiran.
Inkonsistensi pemikiran dan
pemaksaan sebuah ide dalam sebuah sistem besar Kurikulum 2013 adalah
sebuah keniscayaan karena pilihan pendesainnya bertumpu pada filsafat
eklektik. Karena itu, tidak heran ketika bunyi salah satu butir KD dalam
matematika adalah seperti ini: ”Menunjukkan
perilaku patuh, tertib, dan mengikuti aturan dalam melakukan penjumlahan
dan pengurangan sesuai secara efektif dengan memerhatikan nilai tempat
ratusan, puluhan, dan satuan.” Inilah integrasi antara pendidikan
karakter dan matematika!
Kerancuan pemikiran filosofis
dalam pendidikan, terutama saat mendesain kurikulum, akan berdampak besar
pada proses pembelajaran dan pengajaran, sistem evaluasi, serta tercapai
atau tidaknya proses pembelajaran seperti yang dipaparkan dalam KD dan
KI. Kita pasti tidak rela bila uang rakyat yang besarnya Rp 2,4 triliun
itu dipergunakan untuk sebuah perubahan kurikulum yang digagas dalam
ketergesaan, di mana potensi gagalnya lebih besar daripada berhasilnya.
Pilihan filsafat eklektik tak
lain adalah wujud kemalasan berpikir, simplifikasi persoalan, dan pilihan
jalan pintas paling gampang. Filsafat eklektik dapat jadi jalan pintas
rasionalisasi dan menghindar dari tanggung jawab ketika terjadi berbagai
macam persoalan; mulai dari pilihan materi pengajaran, metode, sistem
evaluasi, bahkan gagal dalam eksekusinya. Sebab, semua hal bisa
dijustifikasi dan dirasionalisasi melalui pendekatan eklektik! ●
|
thanks buat artikelnya sob :)
BalasHapus