Komite Etik telah menuntaskan
penelusuran dugaan pelanggaran etik atas bocornya draf surat perintah
penyidikan Anas Urbaningrum, Rabu (3/4). Alhasil, dua unsur pimpinan dan
satu sekretaris pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dianggap melanggar
kode etik.
Setelah bekerja selama lima
pekan, Komite Etik akhirnya merampungkan penelusuran atas bocornya draf
surat perintah penyidikan (sprindik) milik KPK yang beredar luas di
publik. Sebagai catatan, ini kali kedua KPK membentuk Komite Etik untuk
menelusuri dugaan pelanggaran etik yang dilakukan unsur pimpinan. Namun,
Komite Etik kedua ini dianggap lebih ”panas” dibandingkan dengan
sebelumnya karena diwarnai isu kudeta yang diembuskan salah satu pimpinan
KPK.
Komite Etik menemukan
pelanggaran yang dilakukan dua pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan
Adnan Pandu Praja. Keduanya diberi sanksi berupa teguran tertulis untuk
Abraham Samad, dan teguran lisan diberikan kepada Adnan Pandu Praja.
Namun, mereka berdua dianggap
bukanlah dalang di balik kebocoran dokumen KPK tersebut. Adapun pelaku
utamanya adalah Wiwin Suwandi, sekretaris Ketua KPK Abraham Samad. Wiwin terbukti
menyebarkan kopi draf sprindik kepada dua wartawan media cetak nasional.
Pembocoran informasi dan dokumen
oleh Wiwin disebutkan bukanlah yang pertama kali dilakukan. Dari
penelusuran Komite Etik, ditemukan sejumlah fakta yang cukup
mencegangkan. Yang bersangkutan juga turut membocorkan informasi terkait
perkara lain, yakni kasus Buol, kasus Korlantas, hingga kasus kuota
daging sapi impor (Kompas, 4/4).
Menjadi pertanyaan besar bagi
publik yang seharusnya ditemukan oleh Komite Etik, apa motivasi yang
bersangkutan menyebar dokumen-dokumen penting di KPK?
Karena berada di luar jangkauan
Komite Etik, Wiwin belum diberi saksi. Wewenang memberikan sanksi berada
di Majelis Dewan Pertimbangan Pegawai. Berkaca pada tindakan dan akibat
yang ditimbulkan, yang bersangkutan sudah selayaknya diberhentikan secara
tidak hormat dari KPK.
Dua Sisi
Belajar dari kasus Wiwin, KPK
harus melakukan evaluasi terhadap pola rekrutmen pegawai, khususnya
pegawai tidak tetap. Temuan Komite Etik menyebutkan, Wiwin menjadi
sekretaris Ketua KPK karena permintaan (by request) Ketua KPK Abraham
Samad pada waktu itu. Hal ini tidak boleh dilakukan lagi ke depan.
Singkat kata, jangan lagi ada jalur-jalur khusus dan orang ”titipan”
untuk menjadi pegawai KPK, terlebih lagi untuk posisi strategis yang kaya
dengan informasi penting.
Jika tidak, kebocoran-kebocoran
informasi yang sama sangat mungkin terulang lagi. Maka, KPK harus
konsisten dalam melaksanakan standar operasional prosedur perekrutan
seorang pegawai di lembaganya.
Hasil temuan Komite Etik ibarat
dua sisi mata uang. Satu sisi temuan tersebut berhasil meruntuhkan
tudingan yang dialamatkan kepada KPK terkait dengan penetapan status Anas
sebagai tersangka karena pesanan Istana. Maklum saja, di saat tensi
politik di internal Partai Demokrat meninggi, Anas dijadikan tersangka
oleh KPK karena kasus gratifikasi mobil Harrier.
Poin ke-28 fakta temuan Komite
Etik mementahkan tudingan tersebut. Hal ini karena penyelidikan terhadap
Anas sudah dimulai sejak Juli 2012 dan telah dilakukan tiga kali gelar
perkara atas kasus tersebut. Jika dipahami secara utuh proses yang telah
dilalui tersebut, tudingan kelompok pro-Anas terhadap KPK sesungguhnya
tidak beralasan.
Sisi lain dari temuan Komite
Etik memunculkan realitas problem komunikasi di level pimpinan KPK.
Problem tersebut dapat dilacak saat Abraham Samad justru tidak
menyampaikan kepada pimpinan lain terkait ekspose tim terkait kasus Anas.
Namun, pada saat yang bersamaan, yang bersangkutan justru intens
melakukan komunikasi dengan pihak-pihak eksternal KPK.
Hal tersebut merupakan persoalan
serius, terlebih lagi jika informasi-informasi penting justru sampai di
telinga orang yang sedang menjalani proses hukum di KPK, yang tentu
justru akan sangat mengganggu kerja-kerja penyidik. Karena itu, sudah tepat
apabila Komite Etik memandang hal ini sebagai kesalahan yang memberatkan
Abraham Samad.
Temuan dan sanksi yang diberikan
Komite Etik sudah selayaknya menjadi pelajaran serius bagi awak KPK,
khususnya para pimpinan. Jangan ada lagi sikap gegabah dalam penuntasan
kasus korupsi. Berharap cepat, justru menjadi lambat. Aturan harus
menjadi acuan agar tidak melenceng dari etik.
Kepemimpinan Kolektif
Hal yang dipahami, pola kerja
pimpinan KPK diikat secara kolektif. Pemaknaan bekerja secara kolektif
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 diartikan bahwa setiap
pengambilan keputusan harus disetujui secara bersama-sama oleh pimpinan
KPK. Maka, tidak ada yang paling hebat dan tidak ada pula yang paling
berjasa di KPK. Semua diletakkan secara sejajar agar tidak terjadi
atraksi satu orang (one-man show).
Karena itu, komunikasi antara
pimpinan KPK harus menjadi prioritas perbaikan ke depan. Komunikasi buruk
akan menjadi sumber konflik di internal lembaga ini. Kapal KPK bisa karam
akibat para nakhoda tidak saling berkomunikasi dan memberi komando dalam
berlayar.
Terlebih lagi, KPK sedang
mengarungi lautan kasus korupsi di negeri ini. Sebut saja kasus Bank
Century, kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia, kasus Hambalang, hingga
kasus simulator dan puluhan kasus korupsi lainnya. Mustahil semuanya akan
dituntaskan dengan komunikasi yang buruk.
Harus dipahami, penegakan etik
jangan sampai dipandang sebagai upaya saling sikut untuk merebut jabatan,
melainkan sebagai cara untuk merawat integritas setiap individu-individu
di KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar