Danu kawan saya yang mencela
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV dalam memaknai ateis (baca
kolom ini pada 19 Juni 2009) kini kembali melontarkan cercaan serupa.
Yang disasar kali ini: arti agamadan frasa-frasa yang terbentuk dari lema
utama itu.
Seperti saat mengkritik makna
ateis versi KBBI, di kesempatan ini Danu memperlihatkan kecempengan
kamus domestik itu dengan bersandar pada Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English.
”Dalam mengartikan agama, Kamus Oxford langsung ke esensi. Kamus
Besar menjauh dari inti, mendekat ke fitur ragawi sebuah agama,”
kata Danu.
Inilah penjelasan selanjutnya:
menurut Kamus Oxford, kata kunci agama adalah iman atau kepercayaan. Iman
pada apa? Ke- beradaan kekuatan adikodrati yang mencipta semesta. Bagi
KBBI, kata kuncinya ajaran. Ajaran apa? Ajaran yang mengatur tata cara
keimanan. Wow, alangkah penting tata cara alias upacara ritual.
Mengikuti logika Kamus Oxford,
saya beragama berarti saya beriman/percaya pada Sang Pencipta. Mengekor
nalar Kamus Besar, saya beragama berarti saya ber(pegang pada) ajaran
yang mengatur tata cara keimanan. Betapa lebar jurang makna keduanya.
Yang pertama secara tersurat menghadirkan Sang Ada, yang kedua mengedepankan
tata cara.
Sekarang ihwal frasa-frasa hasil
bentukan lema agama. Kamus Oxford hanya menurunkan satu frasa: the great
religions of the world, agama-agama besar. Disebutlah tiga contoh:
Kristen, Islam, Buddha. KBBI membentuk lima frasa: agama abrahamik, agama
budaya, agama langit, agama samawi, agama timur, dan agama wadi. Membaca
frasa-frasa bentukan KBBI ini, pengguna kamus bukannya makin
berpengetahuan, tetapi malah jadi bertanya-tanya. Soalnya: pekamus
bekerja semau gue, tak sistematis. Ada frasa yang diberi contoh, ada yang
dibiarkan tanpa contoh. Pembaca dipaksa mencari sendiri contoh untuk
agama budaya yang disepadankan dengan agama wadi.
Meskipun tak menjelaskan secara
eksplisit makna frasa agama budaya/agama wadi, penyusun KBBI secara tersirat
hendak mengatakan bahwa agama-agama yang masuk dalam kategori frasa itu
tak lain dan tak bukan adalah agama yang bersumber pada selain wahyu
ilahi. Pertanyaannya: lalu wahyu apa?
”Setiap penganut agama, agama apa
pun, yang di dunia ini jumlahnya ratusan, menganggap agamanya bersumber
pada wahyu ilahi,” kalimat ini Danu dengar dari pemikir yang bestari.
Ketika Siddharta Gautama memperoleh pencerahan di bawah pohon tempat dia
bersemedi, oleh kaum Buddhis momen itu dimaknai sebagai lintasan turunnya
wahyu ilahi.
Penganut agama Kaharingan di
suku Dayak pun beranggapan serupa dengan kaum Buddhis dalam memandang
asal mula kemunculan religinya.
Jika direnungkan lebih dalam,
penyusun Kamus Oxford lebih hati-hati dalam mengelola lema agama. Hanya
frasa yang bisa di- maknai secara ilmiah, relatif terukur, yang layak
dibaca pengguna kamus. Makna frasa agama-agama besar bisa dipertanggungjawabkan
secara kuantitatif. Meski demikian, AS Hornby tak hendak masuk dalam
kontroversi dengan mencantumkan frasa anto- nimnya: agama-agama kecil.
Frasa ini menimbulkan rasa tak nyaman buat penganut yang religinya
dijadikan contoh di sana.
Lebih dari semua itu, dengan
tidak mengenal frasa-frasa yang terbentuk dari lema agama sebagaimana
yang dibeberkan KBBI, penyusun Kamus Oxford menyampaikan pesan perdamaian
di antara pengikut agama-agama. Pandangan sang pekamus setara dengan visi
Huston Smith, penulis The Religions
of Man. Mereka bersimpati pada semua pemeluk agama-agama di Bumi yang mengagungkan
sumber segala sumber yang bertakhta di Langit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar