Jumat, 05 April 2013

Agama dalam Kamus


Agama dalam Kamus
Mulyo Sunyoto ;   Magister Pendidikan Bahasa
KOMPAS, 05 April 2013



Danu kawan saya yang mencela Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV dalam memaknai ateis (baca kolom ini pada 19 Juni 2009) kini kembali melontarkan cercaan serupa. Yang disasar kali ini: arti agamadan frasa-frasa yang terbentuk dari lema utama itu.
Seperti saat mengkritik makna ateis versi KBBI, di kesempatan ini Danu memperlihatkan kecempengan kamus domestik itu dengan bersandar pada Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. ”Dalam mengartikan agama, Kamus Oxford langsung ke esensi. Kamus Besar menjauh dari inti, mendekat ke fitur ragawi sebuah agama,” kata Danu.
Inilah penjelasan selanjutnya: menurut Kamus Oxford, kata kunci agama adalah iman atau kepercayaan. Iman pada apa? Ke- beradaan kekuatan adikodrati yang mencipta semesta. Bagi KBBI, kata kuncinya ajaran. Ajaran apa? Ajaran yang mengatur tata cara keimanan. Wow, alangkah penting tata cara alias upacara ritual.
Mengikuti logika Kamus Oxford, saya beragama berarti saya beriman/percaya pada Sang Pencipta. Mengekor nalar Kamus Besar, saya beragama berarti saya ber(pegang pada) ajaran yang mengatur tata cara keimanan. Betapa lebar jurang makna keduanya. Yang pertama secara tersurat menghadirkan Sang Ada, yang kedua mengedepankan tata cara.
Sekarang ihwal frasa-frasa hasil bentukan lema agama. Kamus Oxford hanya menurunkan satu frasa: the great religions of the world, agama-agama besar. Disebutlah tiga contoh: Kristen, Islam, Buddha. KBBI membentuk lima frasa: agama abrahamik, agama budaya, agama langit, agama samawi, agama timur, dan agama wadi. Membaca frasa-frasa bentukan KBBI ini, pengguna kamus bukannya makin berpengetahuan, tetapi malah jadi bertanya-tanya. Soalnya: pekamus bekerja semau gue, tak sistematis. Ada frasa yang diberi contoh, ada yang dibiarkan tanpa contoh. Pembaca dipaksa mencari sendiri contoh untuk agama budaya yang disepadankan dengan agama wadi.
Meskipun tak menjelaskan secara eksplisit makna frasa agama budaya/agama wadi, penyusun KBBI secara tersirat hendak mengatakan bahwa agama-agama yang masuk dalam kategori frasa itu tak lain dan tak bukan adalah agama yang bersumber pada selain wahyu ilahi. Pertanyaannya: lalu wahyu apa?
”Setiap penganut agama, agama apa pun, yang di dunia ini jumlahnya ratusan, menganggap agamanya bersumber pada wahyu ilahi,” kalimat ini Danu dengar dari pemikir yang bestari. Ketika Siddharta Gautama memperoleh pencerahan di bawah pohon tempat dia bersemedi, oleh kaum Buddhis momen itu dimaknai sebagai lintasan turunnya wahyu ilahi.
Penganut agama Kaharingan di suku Dayak pun beranggapan serupa dengan kaum Buddhis dalam memandang asal mula kemunculan religinya.
Jika direnungkan lebih dalam, penyusun Kamus Oxford lebih hati-hati dalam mengelola lema agama. Hanya frasa yang bisa di- maknai secara ilmiah, relatif terukur, yang layak dibaca pengguna kamus. Makna frasa agama-agama besar bisa dipertanggungjawabkan secara kuantitatif. Meski demikian, AS Hornby tak hendak masuk dalam kontroversi dengan mencantumkan frasa anto- nimnya: agama-agama kecil. Frasa ini menimbulkan rasa tak nyaman buat penganut yang religinya dijadikan contoh di sana.
Lebih dari semua itu, dengan tidak mengenal frasa-frasa yang terbentuk dari lema agama sebagaimana yang dibeberkan KBBI, penyusun Kamus Oxford menyampaikan pesan perdamaian di antara pengikut agama-agama. Pandangan sang pekamus setara dengan visi Huston Smith, penulis The Religions of Man. Mereka bersimpati pada semua pemeluk agama-agama di Bumi yang mengagungkan sumber segala sumber yang bertakhta di Langit. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar