Sabtu, 07 Juli 2012

Pelajaran dan Pembakaran Buku


Pelajaran dan Pembakaran Buku
Geger Riyanto ; Alumnus Sosiologi Universitas Indonesia, Editor dan Penerjemah
KORAN TEMPO, 07 Juli 2012


Kata orang, itu buku cetakan mereka. Suka-suka merekalah mau buku itu disobek, dibuang, atau, seperti yang sudah kejadian, dibakar. "Lagi pula kamu pada dasarnya tak terlalu tertarik dengan isi buku tersebut, kan? Jadi apa urusanmu?" kata suara apatis yang saya imajinasikan di benak saya sendiri. Tapi sayang, seandainya saja semua memang sesederhana itu.

Boleh saja ada yang berpikir bahwa pembakaran buku saban hari merupakan buah dari kesepakatan mutualistis dua pihak dan apalah urusan pihak-pihak lain untuk ikut mencampurinya. Namun, mau dikatakan apa pun, ancaman tetaplah ancaman. Bila kita hidup di negara hukum, ia adalah sebuah perbuatan kriminal. Kalaupun pihak penerbit mengaku tidak diancam dan pembakaran tersebut merupakan inisiatif perusahaan untuk mengoreksi kekhilafannya, saya kira saya mewakili para pekerja pengetahuan ketika mengatakan bahwa pemusnahan buku Lima Kota Paling Berpengaruh di Dunia menodongkan ancaman kepada kami semua.

Cukup dalam hitungan menit setelah peristiwa itu, setiap pekerja buku yang memiliki BlackBerry mengetahuinya. Seperti yang bisa Anda duga, ada yang mengutuk tindakan tersebut, ada yang menyesalkan kebungkaman pemerintah, ada yang sekadar menyatakan keprihatinan. Tetapi di antara beragam tanggapan yang mencuat, cepatnya penyebaran informasi itu punya satu pesan gamblang tersendiri: ini adalah situasi darurat bagi mereka yang bergiat di dunia buku.

Dan benar. Para penyalur buku memperingatkan penerbit-penerbit, jangan mencetak buku bertema sensitif. Menyayat? Jelas. Namun lebih jauh, adegan tersebut mencangkokkan pada benak mereka bayangan mencemaskan didatangi gerombolan pria berjubah--perasaan yang, ironisnya, berpadanan dengan kerisauan para jurnalis di rezim-rezim otoriter membayangkan kantornya diketuk oleh pria berseragam. Dan lagi, dengan ikut melaporkan penerjemah dan penyunting buku karangan Douglas Wilson ke polisi, pihak pelapor sudah membantu membangun kesadaran bahwa kerja mengolah naskah pun bisa jadi identik dengan kejahatan.

Apa pun motif pelakunya, entah membela keyakinan, entah mengoreksi pihak yang mereka anggap keliru, asap dari pembakaran ini adalah sinyal besar yang bisa dilihat oleh semua: jangan macam-macam, ini wilayah kami. Mengingat buku adalah produk dari aktivitas pikiran, berarti lebih tepatnya kecaman itu berbunyi, jangan berpikir macam-macam. Dan sialnya, garis-garis kekuasaan yang bahkan tak pernah diperoleh mereka secara legal ini kian dipertegas lewat kebergemingan aparat hukum, entah ada kesepakatan apa di baliknya. Bila para penegak keamanan sipil itu sudah menetapkan sasaran, rasanya sudah menjadi pengetahuan yang sangat umum bahwa sang korbanlah yang justru akan diperlakukan sebagai pelaku kejahatan itu sendiri oleh negara.

Apa lagi yang bisa kita tafsirkan dari pengkambinghitaman yang demikian vulgar selain ia adalah upaya untuk menjejalkan ke benak kita bahwa otoritas para penguasa kekerasan tersebut memang sah serta mesti diindahkan? Mengalami perlakuan tak menyenangkan lantaran mengolah pengetahuan yang merupakan rutinitas keseharian kami, bahkan setelahnya kami diancam dikriminalisasi, apa lagi yang bisa kami artikan dari hal ini selain kami sedang dipaksa untuk mengakui bahwa kebenaran tidaklah adil--hanya milik segelintir yang cukup kuat untuk menegakkannya?

Belum lama ini, ada sebuah kasus yang tak banyak mendapat sorotan, namun sekadar membayangkannya saja, lidah rasanya kelu; seorang sosiolog, akibat kesaksiannya di pengadilan, dihukum adat oleh sebuah organisasi kesukuan. Di samping dituntut untuk membayar denda yang sangat besar, penelitiannya bahkan diperintahkan untuk dimusnahkan karena dianggap mencemarkan nama suku tertentu. Ya, Anda tidak salah dengar, sebuah temuan riset dipaksa untuk dimusnahkan seakan ia narkotik, pornografi, DVD bajakan, atau barang-barang haram lainnya. Dan seperti biasa, negara bergeming. Kali itu tidak hanya membiarkan pembayar pajaknya menjadi korban yang sekaligus pihak yang bersalah, tapi juga mempersilakan irasionalitas dirayakan.

Pada masa mendatang, seperti apa yang kita harapkan bila logika mendapat tempat yang sedemikian rendah, jauh di bawah kapasitas untuk mengasari orang lain? Bila konstitusi sebagai aturan main tak lebih nyata dari kebuasan? Masa depan distopis yang diproyeksikan George Orwell dalam novelnya 1984? Dalam salah satu bagian dari novel tersebut, interogator dari partai yang berkuasa bertanya kepada tahanannya, berapa dua tambah dua. "Empat," jawab Winston. "Tidak selalu," ujar O'Brien, sang petugas interogasi. Bisa jadi lima, katanya, kalau partai menghendakinya demikian. Dan O'Brien pun melanjutkan menyiksa Winston sampai ia menjadi waras berdasarkan standar partai.

Kalau, ya, kita mendambakan masa depan di mana 2 + 2 = 5, maka biarkan saja apa yang terjadi sekarang terus berlarut-larut. Biarkan kebenaran terus-menerus ditentukan oleh perangai liar dan destruktif. Mengutip slogan presiden kita sekarang ini sewaktu berkampanye tempo hari, "lanjutkan!" Biarkan lidah kami kelu. Biarkan tangan kami terkekang oleh ketakutan. Biarkan bernalar menjadi aktivitas yang tabu.

Bakarlah buku-buku. Kecamlah pemikiran dengan parang. Bungkamlah pernyataan-pernyataan seseorang yang didasari bukti empiris yang kokoh dengan pengadilan yang tak mungkin dimenangkannya. Biarkan mereka yang memenangkan kebenaran dengan kekerasan terus menikmati kebenarannya, dan luruskanlah kami yang mendayagunakan pikiran kami ke dalam barisan penganut kebenaran tersebut. Kerasilah kami agar melupakan metode berpikir rasional dan meyakini pandangan dunia Anda tanpa perlu kami renungkan.

Maka bersiap-siaplah menyambut Indonesia yang tegak di atas reruntuhan sesuatu yang dulu pernah dikenalnya dengan nama akal sehat. Apa, toh, kuasa kami untuk mencegahnya? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar