Senin, 09 Juli 2012

Kamera dan Sepak Bola, Kesaksian Bersama


Kamera dan Sepak Bola, Kesaksian Bersama
Halim HD ; Networker Kebudayaan, Solo
KORAN TEMPO, 08 Juli 2012


Kebenaran dari apa yang pernah dinyatakan pada beberapa dekade yang lalu oleh filsuf Piere Teilhard de Chardin, penemu Homo pekinensis, dalam salah satu bukunya tentang fenomena manusia, adalah ketika dia mengungkapkan bahwa, dengan dan melalui teknologi, manusia di jagat ini dijadikan "umat". Manusia tak lagi hanya sendiri-sendiri di dalam menghadapi masalah, dan sekaligus merasakan berbagai persoalan yang dihadapinya.

Peperangan, penderitaan akibat gempa, konflik sosial, luapan suka-duka kemenangan sebuah tim olahraga atau seorang atlet yang mencapai finis, juga berita suka-duka seseorang kepada lainnya--semuanya dihantarkan oleh sarana teknologi yang kian canggih yang menjadi basis perkembangan sistem transportasi dan media massa, cetak dan elektronik, serta berbagai bentuk sarana komunikasi yang bersifat personal, yang dalam beberapa detik mengirim semua peristiwa ke berbagai penjuru jagat.

Singkat kata, secara dramatis bisa digambarkan bahwa, dari detik ke detik, melalui sistem teknologi komunikasi yang memasuki ruang-ruang personal dan sosial menciptakan getaran kelenjar saraf yang paling halus yang ada di dalam diri kita dalam berbagai ekspresi, dari ketegangan, kemarahan, haru-biru, suka-duka, sampai luapan kebahagiaan, seketika kita rasakan, dan hal itu dihantarkan oleh sistem komunikasi. Dunia begitu kecil, seolah-olah sebuah desa, demikian seperti diungkapkan filsuf komunikasi, Marshall Mc Luhan, yang menyatakan bahwa ruang geografis diisi oleh mereka yang saling tahu dan mengenal yang dihubungkan oleh sistem teknologi komunikasi.

Dan kini kita kembali digetarkan oleh kebenaran itu melalui kamera TV yang menyalurkan pertandingan sepak bola. Tak ada suatu titik pandang pun yang tak ter/di-rekam dan tersalurkan ke hadapan publik: kedipan mata Cristiano Ronaldo pada World Cup yang lalu, dan ekspresi pura-pura jatuh pada final Piala Raja antara Real Madrid dan Barcelona, di samping rekaman kelincahan kaki pemain termahal ini, kita menyaksikannya melalui kamera, seakan-akan kita berada di depan pertandingan, ikut menyaksikannya secara langsung. Sama seperti kita melihat bagaimana "kaki terbang" Roy Keane, pemain kawakan Manchester United, yang bagaikan kijang berloncatan di padang rerumputan.

Betapa memukaunya tiki-taka Messi, Iniesta, dan Xavi yang lincah dan akurat menerobos barisan lawan dalam setiap laga. Tentu setiap pertandingan selalu ada protes, lewat kamera kita menyaksikan debat dan keteguhan wasit mempertahankan keputusan, memberikan hukuman di antara argumen pemain, serta bagaimana wajah pemain terhukum dengan ekspresi kemarahan atau kekecewaan yang mendalam.

Dengan rasa humor yang tinggi, kamerawan membidik sasaran penonton yang berpakaian unik, ekspresi yang lucu, wajah penuh ketegangan, berdoa, dan segala tingkah polah, di antara gemuruh ledakan energi penuh harapan, atau sebaliknya, kekecewaan. Dan tentu saja, wajah-wajah cantik dan molek pun menjadi sasaran kamerawan yang jeli memilih, dan dapat menghibur kita. Di samping dorongan semangat pendukung tim dalam paduan suara yang menggetarkan hati.

Semuanya itu tak mungkin kita alami pada setengah abad yang lampau, kecuali siaran auditif melalui radio-transistor, dan itu pun masih sangat terbatas.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang didukung oleh sistem satelit dengan dukungan komputerisasi berkembang pesat dalam dua-tiga dekade terakhir ini, khususnya menjelang pergantian abad, seperti yang telah diramalkan oleh Theodore Rozack beberapa dekade yang lalu tentang masyarakat elektronik (technotronic society), yang akan memasuki masyarakat serba komputer (computerized society). Dan hal itu kuat kaitannya dengan politik ekonomi global, khususnya di wilayah negeri-negeri industri dengan penyebaran kapital ke dalam dunia olahraga khususnya sepak bola, dan mengukuhkannya dalam pengembangan klub-klub profesional.

Dalam konteks itulah kita menyaksikan kompetisi bukan hanya sistem dan manajemen yang mengatur taktik-strategi, tapi juga persaingan antar-klub untuk saling "membajak" para pemain dengan iming-iming gaji dan kontrak yang nilainya membuat kita tercengang karena jumlah angka yang sulit kita bayangkan. Kritik yang terjadi di sini, politik ekonomi dan industri olahraga, ikut menggeser ikatan sosial dan digantikan oleh kekuatan kapital: yang paling kuat memiliki modal bisa membeli pemain siapa saja dan mengontrak pelatih yang paling top. Namun kita juga menyaksikan bagaimana akademi-akademi bola seperti yang dimiliki oleh Barcelona dan Ajax dengan jitu memanfaatkan perkembangan politik ekonomi dan industri sepak bola untuk mengembangkan lembaga pendidikannya menjadi lebih canggih, dan hal itu menjadi bisnis yang ikut mendukung klub.

Kita menyaksikan pergeseran ideologis yang sangat menarik. Dahulu, sepak bola diikat oleh "nasionalisme" dan "komunitas sosial" suatu wilayah atau kota. Kini, dengan makin berkembangnya klub dan masuknya kapital, sebuah klub belum tentu dimiliki oleh warga setempat. Misalnya saja Chelsea, yang dimiliki oleh pengusaha Rusia, Manchester United dikuasai pengusaha Amerika, serta Manchester City dimodali pengusaha Abu Dhabi. Inilah konsekuensi logis dari politik ekonomi global yang secara ideologis disebut global capitalism.

Dalam konteks global capitalism itulah terbentuk global sportism yang menciptakan sejenis "partisipasi" publik. Jenis "partisipasi" ini bukan hanya sekadar "tukang keplok-sorak" belaka. Dari perspektif politik ekonomi, jenis "partisipasi" ini ikut pula di dalam menguatkan posisi klub dan kehidupan dunia sepak bola melalui perdagangan tiket, cendera mata dan berbagai bentuk merchandise dan tentu saja pemasukan dari siaran televisi. Dan ujung tombak pencitraan ini dipegang oleh kekuatan teknologi komunikasi-informasi, televisi. Di sinilah kamera menjadi begitu penting: menjadi kepanjangan penglihatan publik yang bisa ikut menjadi "wasit": bisa menilai pemain terburuk sampai dengan terbaik, secara teknikal maupun moral, kesaksian bersama, solidaritas sejagat yang mengikat manusia menjadi "umat" melalui sepak bola dan kamera. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar