BRIN,
Sebuah Sisi Pandang Bambang Kesowo ; Ketua Pokja Regulasi dan
Insentif, Komite Inovasi Nasional 2010-2014 |
KOMPAS, 04 Juni 2021
Sisi pandang kali ini
bukan ihwal dan seluk-beluk riset itu sendiri. Bukan tentang substansi dan
bagaimana melaksanakan riset. Itu urusan para cerdik pandai di dunia
tersebut. Di perguruan tinggi,
jumlah mereka banyak. Di lembaga-lembaga pemerintahan juga banyak dan asalnya
pun sebagian besar dari perguruan tinggi pula. Perdebatan tentang rasio
tenaga periset yang rendah terhadap jumlah penduduk, sudah sering terdengar.
Sama halnya dengan standardisasi dan kualifikasi tenaga riset atau kriteria
dan mana yang layak disebut periset. Begitu pula debat tentang
dana riset yang jauh dari cukup dan dalil sekitar rasio terhadap produk
domestik bruto (PDB) yang masih jauh dari ideal, juga telah bertahun-tahun
didengar. Pokoknya bukan soal menu dapur riset ataupun para chef berikut cara
kerja mereka. Tulisan ini lebih ke aspek pengelolaan kebijakan dan kebutuhan
lingkungan yang diperlukan. Riset
apa? Setelah bolak-balik
berganti dalam kelembagaan, mungkin pertanyaan yang relevan dan terpenting:
mau riset apa? Jelasnya strategi riset apa dan mana yang diperlukan. Mengapa
demikian? Sekian lama ibarat silih berganti kapal riset dan nakhoda, ujungnya
juga tidak ke mana-mana dan tidak ada apa-apa. Sekarang ada BRIN (Badan
Riset dan Inovasi Nasional). Dari sisi kelembagaan, akankah BRIN menjadi
otoritas penentu arah, pilihan, dan prioritas riset sehingga kegiatan riset
berjalan secara konkret dan efektif? Ataukah sekadar seperti Dewan Riset atau
kementerian di masa sebelumnya sebagai penghimpun usulan rencana dan program,
yang ujung-ujungnya hanya berkutat dalam birokrasi dan kertas, tetapi tidak
jalan ke mana pun? Menyimak dasar pemikiran
pada Bab Menimbang Huruf b dan Pasal 1 Angka 1 Perpres Nomor 33 Tahun 2021,
kesannya BRIN sekadar ”baju baru” lembaga dan mekanisme lama. Ketentuan Pasal
3 perpres tersebut menampilkan BRIN sebagai lembaga pelaksana, pengawas,
pengendali, dan juga koordinator kegiatan penelitian. Rumusan tugas Pengarah
pada Pasal 6 juga mengacu tugas BRIN sebagai perumus kebijakan penelitian dan
lain-lain. Baru ketika menyimak
struktur organisasi pelaksana dalam Pasal 9, lingkup fungsi dan tugas BRIN
menjangkau riset hampir di semua bidang, bahkan humaniora. Dengan setting
ini, pertanyaan tadi belum terjawab. Selain ”baju baru”, alih-alih berpikir
tentang ”reformasi” riset, pembentukan BRIN lebih tampil sebagai upaya
perampingan kelembagaan riset dan mungkin birokrasinya. Kecuali BPPT,
pengintegrasian beberapa lembaga riset, seperti LIPI, Lapan, Batan ke dalam
BRIN (Pasal 62 jo 69 Perpres) juga hanya membuat jawab pertanyaan tadi kian
kabur. Selain itu, melebur kelembagaan tadi ke dalam BRIN, jangan-jangan
hanya membuat persoalan lebih kompleks. Belum lagi banyak aspek lain lagi
yang membuat perlunya Presiden waspada terhadap ekses yang timbul dari
pemikiran dan langkah peleburan itu. Lantas, bagaimana dengan
pertanyaan dan dambaan tadi? Setelah sekian lama berjalan dengan banyak
pengalaman dalam soal riset, pertanyaan sekitar kelahiran BRIN yang perannya
digadang dalam pembangunan ke depan adalah: riset di bidang apa? Dengan
pengaturan dalam pasal-pasal tadi, tampaknya pertanyaan tersebut belum
terjawab. Yang dihadirkan hanya ”baju baru” BRIN dengan tempelan lembaga
”pengarah”. Singkatnya, kelahiran BRIN
belum memberikan kejelasan soal reformasi dan strategi riset itu sendiri.
Kebutuhan akan adanya otoritas penentu arah, kebijakan, dan prioritas
kegiatan riset sangatlah penting untuk membuat kegiatan riset itu sendiri
konkret dan efektif. Otoritas yang benar-benar menentukan arah, fokus, dan
prioritas riset. Ada kejelasan riset bidang apa yang mesti dilakukan,
fokusnya, dan prioritasnya. Secara politik, otoritas di bidang riset ke depan
sebaiknya jelas. Dan, BRIN awalnya menjadi dambaan. Soal posisi ini sangat
perlu dipertegas. Perjalanan dan pengalaman panjang dalam soal ini
menunjukkan, koordinasi dan pengendalian bidang riset senyatanya bukan
perkara yang sederhana. Adanya otoritas riset yang memegang kendali politik
tentang kebijakan, arah, fokus, dan prioritas menjadi penting. Bilamana lelah dengan
berputarnya wacana dan benar-benar ingin membuat riset ini secara konkret
mampu mendorong kehidupan dan kemajuan ekonomi, mesti ada keberanian politik
untuk bersikap. Bukankah dengan segala keterbatasan saat ini, dengan dana
yang harus diakui cekak, pilihan arah, fokus dan prioritas riset juga
sepantasnya ada? Pastilah banyak dalam tubuh pemerintahan yang sangat tahu
soal ini. Mengherankan, jika semua tampak beku menyikapinya. Justru kalaupun
pegangan pembentukan BRIN adalah UU Cipta Kerja, yang namanya pilihan
tersebut tetap perlu. Bukan lagi riset sapu jagat. Determinasi
politik Bilamana perlu yang
namanya determinasi politik, Presiden sebaiknya menegaskan bahwa riset di
bidang industri mesti menjadi arah, fokus, dan prioritas. Industri di bidang
pangan, kesehatan, ataupun manufaktur lainnya, termasuk kemampuan alutsista
pertahanan, adalah untuk mewujudkan kemandirian ataupun meningkatkan daya
saing dan itu menjadi kebutuhan dalam pembangunan. Salah sedikit tidak apa,
tetapi yang penting memulai secara benar. Nanti diperbaiki. Bukankah itu pula
yang merupakan bagian penting dari komitmen Presiden untuk membangun bangsa
dan negara dengan basis kemampuan manusia dan iptek? Bagian dari komitmen
Presiden untuk membangun a knowledge based nation. Dengan instrumen
kebijakan, penggunaan sumber daya dan kemampuan riset yang ada di
lembaga-lembaga riset yang dimiliki negara ataupun dunia swasta, didorong
lebih terarah dan optimal. Semangat berdikari juga dapat ditegakkan. Dengan pilihan tersebut,
berbagai rencana, program, dan kegiatan riset yang berbau kebijakan, tidak
perlu diurus BRIN. Biarlah soal itu ditangani badan litbang di kementerian
atau lembaga yang ada. Riset yang bersifat dasar termasuk soal-soal sosial,
politik, kemasyarakatan atau budaya, biarlah dijalankan dan berkembang dengan
inisiatif kampus. Presiden menetapkan kebijakan nasional di bidang riset baik
arah, fokus, dan prioritasnya. Kalau harus dituangkan dalam pengaturan pun
hal itu dapat dipertimbangkan. Dengan menimbang liku-liku
kebijakan dan program riset selama ini, ketegasan sikap dan kepastian arahan
ini tampaknya bukanlah hal yang berlebihan. Determinasi politik dalam konteks
ketegasan sikap dan kepastian arahan itu yang perlu. Konsentrasi BRIN dalam
membuat jabaran kebijakan dan program riset menjadi lebih jelas dan fokus,
tanpa harus bertumpuk dengan program riset lembaga-lembaga lain ataupun
kampus. Riset
dan insentif Dalam konteks arah, fokus
dan prioritas pula, yang namanya keteguhan dan kejelasan sikap politik juga
dibutuhkan bagi penciptaan iklim yang kondusif bagi kegiatan riset. Bukan
rahasia lagi, yang diperlukan dalam dunia riset ini adalah insentif yang
nyata dan efektif. Dengan ungkapan dan bentuk yang bagaimanapun, inilah salah
satu core problem yang melingkupi. Di mana pun. Konkretnya insentif
fiskal. Baik untuk riset yang dasar ataupun (dan apalagi) terapan. Di masa
lalu yang belum terlalu jauh, Presiden mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan
Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi
Teknologi. Akan tetapi, jika disimak
dengan tenang dan sabar, PP tersebut sesungguhnya sulit untuk
dioperasionalkan. Bukan saja prosedurnya panjang dan berliku, realisasinya
juga sangat bergantung pada tafsir dan kemurahan hati Menteri Keuangan dan
jajaran fiskus. Dari sudut aturan perpajakan, pemberian insentif tersebut
sangat bergantung pada makna frasa ”dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan”
(Pasal 11 PP). Walau rumusan tersebut
standar, pelaksanaannya, besar kecilnya, bergantung ke soal tafsir di
kalangan aparat yang terkait. Menerapkan apa adanya pun, apalagi kalau salah
tafsir dan menerapkannya, jajaran fiskus sering khawatir dengan ancaman
dakwaan merugikan negara atau tindak korupsi. Keengganan yang
menyelimuti soal tersebut, bagaimanapun telah mewarnai ketidakefektifan PP
Nomor 35 Tahun 2007 tadi. Di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono,
Komite Inovasi Nasional sekitar tahun 2013 pernah merekomendasikan perbaikan
ke arah penyederhanaan prosedur dan konkretisasi insentif tadi. Namun,
tampaknya hal itu belum sempat terjamah. Kawalan
politik Sisi pandang lainnya
adalah secepatnya menjernihkan isu politik yang melingkupi keberadaan BRIN.
Ketimbang nantinya melihat BRIN tumbuh lemah karena prasangka politisasi yang
menyelimutinya, bagus juga ditegaskan sekitar fungsi Pengarah BRIN yang ada
dalam Pasal 6 Perpres Nomor 33 Tahun 2021. Kalau kata kuncinya kebijakan
pokok, sebaiknya soal itu dikembalikan kepada Presiden. Realitas politik riset
yang bagai benang kusut selama ini, apalagi kalau menyangkut arah, fokus, dan
prioritas riset sebaiknya diberikan oleh Presiden. Menjaga aspek politik dan
ideologis dengan begitu telah ”inheren” dalam proses penyusunan kebijakan nasional
yang telah ditetapkan Presiden. Fungsi institusi Pengarah lebih pada
peneguhan, memastikan dan pengamanan jabaran program sesuai kebijakan
Presiden. Bagaimanapun langkah ini
akan meredam spekulasi bahwa keberadaan institusi Pengarah dalam BRIN akan
memolitikkan riset ataupun membebani riset dengan soal-soal ideologis
lainnya. Pada saat yang sama, langkah tersebut dapat menjernihkan maksud yang
sebenarnya bahwa fungsi lembaga pengarah justru menjadi penjaga sekaligus
pengawas agar riset berlangsung sesuai arah, kebijakan, dan prioritas yang
ditetapkan Presiden. Bahwa semua program dan
kegiatan riset benar-benar fokus bagi pembangunan ekonomi serta dipastikan
demi kemandirian, kemajuan, dan kesejahteraan kehidupan bangsa. Bangsa ini memiliki
kemampuan besar untuk memahami bahwa soal politik dan ideologi, terutama soal
Pancasila, telah diterima dan disepakati bangsa lewat mekanisme nasional yang
dimilikinya. Kawalan terhadap soal ini juga berlangsung dengan tata cara dan
lewat lembaga-lembaga negara dan kemasyarakatan yang secara konstitusional
dibentuk serta dimiliki bangsa Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar