Kamis, 13 April 2017

Energi Berkeadilan

Energi Berkeadilan
Pri Agung Rakhmanto  ;   Dosen di FTKE Universitas Trisakti;
Pendiri ReforMiner Institute
                                                        KOMPAS, 13 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo kerap menekankan bahwa tidak ada visi misi kementerian yang berjalan sendiri-sendiri. Yang ada hanya visi misi Presiden.

Di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hal ini sangat terasa, terutama sejak dipimpin Ignasius Jonan. Sejak itu, sependek yang saya cermati, tema utama yang diangkat Kementerian ESDM dalam menjalankan perannya sebagai penyelenggara negara di dalam pengelolaan energi dan sumber daya mineral di Tanah Air hingga saat ini tampaknya adalah energi berkeadilan.

Keharusan efisiensi

Sementara bagi pelaku dan investor, terminologi energi berkeadilan itu tampaknya belum terlalu diperhatikan karena mungkin hanya dianggap sebagai jargon. Jonan tampaknya tidak main-main menjalankan kata-kata energi berkeadilan itu. Serangkaian kebijakan dan peraturan yang sejak Oktober lalu diterbitkan tidak lain dan pada tingkatan tertentu merupakan manifestasi dari tema energi berkeadilan itu.

Beberapa di antaranya yang menonjol adalah: (1) Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2016 tentang Percepatan Pemberlakuan BBM Satu Harga; (2) Peraturan Menteri ESDM Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penurunan Harga Gas; (3) Peraturan Menteri EDSM Nomor 37= Tahun 2016 tentang Penawaran Participating Interest 10 Persen pada Wilayah Kerja Migas; (4) Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split; (5) Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Listrik; dan (6) Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Kebijakan dan peraturan di atas, meski bidangnya beragam dan tidak selalu sama persis, seluruhnya mengarahkan agar produsen dan pemasok energi di Tanah Air meningkatkan efisiensi dan mengakomodasi kepentingan publik (konsumen) di dalam memproduksi dan menyediakan energi. Secara lebih spesifik, bentuk peningkatan efisiensi yang diinginkan adalah menurunkan biaya produksi. Sementara pengakomodasian kepentingan publik diarahkan melalui kesediaan produsen berbagi margin keuntungan dengan publik, baik melalui instrumen harga yang diatur untuk diturunkan maupun melalui pengikutsertaan publik dalam hak pengelolaan.

Dari perspektif produsen, serangkaian kebijakan dan peraturan di atas dapat dikatakan tidak cukup bersahabat karena cenderung memberikan tekanan di sisi pengembalian investasi.

Saya menangkap dan melihat ada sinyal dan argumen yang cukup kuat yang kemungkinan melatarbelakangi kebijakan semacam itu. Tema pengelolaan energi berkeadilan tampaknya dilatarbelakangi adanya semacam ketidakpercayaan kepada produsen dan pemasok energi di Tanah Air bahwa mereka selama ini telah melakukannya dengan cara yang (paling) efisien.

Dalam beberapa kesempatan, Jonan berulang kali membandingkan ExxonMobilyang dianggapnya sebagai perusahaan migas terbesar di dunia yang sudah ada sejak lama, tetapi nilai kapitalisasi pasarnya ternyata lebih kecil ketimbang Facebook yang baru ada kurang lebih 10 tahun lalu. Ada semacam ketidakpercayaan pada industri energi secara umum, dan khususnya yang ada di Tanah Air, bahwa mereka tidak cukup efisien dan tidak cukup kompetitif dibandingkan dengan sektor atau industri lain.

Hal ini secara langsung kemudian berimplikasi terhadap tidak dipercayanya hitungan-hitungan dan angka-angka yang berkaitan dengan biaya produksi, keuntungan, kerugian, ataupun hargayang bersumber dari produsen atau investor energi. Dengan kata lain, ada semacam pandangan: industri energi selama ini telah cukup atau terlalu lama menikmati margin keuntungan yang terlalu besar. Jadi, sudah sewajarnya saat ini hal itu dibagi dengan publik atau konsumen dengan cara harga yang diturunkan atau dengan memberi publik hak pengelolaan tertentu.

Selain itu, tampaknya ada semacam pesan tersirat bahwa pemerintah juga tidak khawatir atau tidak (lagi) bergantung pada produsen atau investor di sektor energi. Di sektor hulu migas, misalnya, pemerintah tampaknya terlihat tidak terlalu risau makin kecilnya kontribusi penerimaan negara di APBN dari hulu migas (saat ini kurang dari 5 persen) dan semakin mengecilnya cadangan dan produksi migas nasional. Semakin kecilnya kontribusi penerimaan migas terhadap penerimaan negara di APBN justru dilihat sebagai indikator bagus, yang berarti sektor lain berkembang dengan baik. Sementara penurunan cadangan dan produksi migas nasional sepertinya dilihat tidak terlalu jadi masalah selama negara masih memiliki daya beli yang kuat untuk menyubstitusinya melalui impor.

Antisipasi dan jalan tengah

Terlepas apakah serangkaian kebijakan dan peraturan di atas memang cenderung memberikan tekanan kepada produsen di sisi pengembalian investasi, dan apakah sinyal ketidakpercayaan yang tertangkap di atas memang seperti itu adanya atau tidak, saya melihat perlu bagi pemerintah untuk mengantisipasi segala potensi dampak (negatif) yang mungkin timbul. Mengedepankan efisiensi tentu positif, tetapi terlalu menekan produsen di sisi pengembalian investasi tentu juga akan jadi disinsentif bagi investasi yang pada gilirannya dapat membahayakan ketersediaan pasokan energi itu sendiri.

Impor energi tidak selalu dapat jadi solusi karena energi adalah komoditas strategis. Impor energi yang tinggi bagi negara kita yang memiliki beragam sumber energi, selain kurang pantas, juga hanya akan menambah ketergantungan ketahanan energi kita pada pihak lain. Dalam kondisi di mana kita sering kali mengambil posisi tidak bersedia mengeluarkan investasi dan menanggung risiko sendiri untuk mencari, memproduksi dan memasok energi, tetap harus ada ruang negosiasi, fleksibilitas, kompromi, dan jalan tengah menang-menang antara pemerintah dan investor.

Pendekatan yang mengedepankan regulasi yang bersifat generalisasi dan mengharuskan (top down) mesti diimbangi dengan pendekatan fasilitatif yang lebih ramah kepada investasi. Jangan sampai tujuan mulia energi berkeadilan justru menjadi bumerang bagi ketahanan energi kita di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar